Oleh: Usman Roin*
Ramadan yang telah usai menjanjikan banyak janji. Salah satunya banyak orang berjanji saat ramadan usai tak usai semangat ibadah. Nyatanya, usai pula semangat ubudiyah yang dilakukan intensif ramadan.
Ada kesan seakan-akan bahwa ibadah yang lalu dirasa cukup, sudah bisa dibanggakan untuk menuju kepada kemenangan, yakni idul fitri. Padahal ukuran bertambahnya ketakwaan itu akan terlihat pasca ramadan usai melalui tambahnya ketakwaan. Yakni bagaimana menjaga lisan, hati, perasaan dan saling menghormati sebagai implementasi perintah hablum minan nas, lalu secara kualitatif menjadikan ubudiyah lima waktu sebisa mungkin dijalankan dengan berjamaah.
Fakta lain, masjid dan musala yang sebelumnya ramai di bulan ramadan dengan aktivitas ubudiyah, pasca ramadan menjadi lengang. Mungkin karena sudah berbuka (makan atau minum) hingga menjadikan malas dan memilih tenang, diam duduk di rumah sebagai bagian orang tua yang lumrahnya didatangi banyak orang.
Selain itu, ada kesan cukup lewat medsos saja ucapan minta maaf dilakukan tanpa harus datang. Cukup dicari meme yang menarik atau kata-kata yang indah kemudian dibubuhi nama dan keluarga lalu dishare ke semua kontak yang dipunya.
Alhasil, hari raya yang baru berjalan satu hari sudah dirasa cukup dan purna. Adapun hari raya kedua, tiga dan selanjutnya sudah seakan tak dinamakan hari raya. Pertanyaannya, siapa yang mempersepsikan demikian? Penulis pun coba memberikan jawaban, 'kita semua'. Kita semua yang seharusnya memelihara tradisi halal bi halal agar meriah, namun malah menjadi sepi. Itu terlihat dari semangat silaturrahim yang turun, lebih memprioritaskan pada kekeluargaan dan menafikan pada ketentanggaan.
Padahal, bukan demikian yang seharusnya dilakukan. Melainkan coba disemarakkan suasana silaturrahim secara merata, yang tidak sekadar ketemu dan berjabat tangan lalu selesai, melainkan juga menambah dengan suasana keakraban lainnya yang lebih intensif bisa dengan memakan aneka jajanan yang suguhkan atau saling bertanya, bahkan saling bertukar pikiran dari ruang lingkup pekerjaan, pengalaman hingga keilmuan.
Hal tersebut tentu agak lama namun punya dampak psikologis positif. Yakni, bukan sekadar kunjung dan berjabat tangan sebagai peringkas silaturrahim yang terjadi setahun sekali hingga menjadi penyebab hari raya namun minus perayaan.
Untuk itu, perlu upaya konkrit untuk menghapuskan hal tersebut, diantaranya dengan: Pertama, meyakini secara individu bahwa upaya silaturrahim yang hakiki adalah tak sekadar ketemu dan berjumpa, melainkan memperluas maknanya dengan semangat saling ingin mengetahui antar kedua tamu dan yang ditamui dalam term Jawa secara intensif. Sehingga keakraban dan ketersambungan bisa berjalan dengan baik.
Kedua, secara konkrit perlu upaya simultan bahwa silaturrahim itu perlu untuk semua dan bukan untuk tertentu. Sehingga bila ini terjadi maka akan menjadi pemicu menurunnya semangat silaturrahim secara massal baik dari individu dan keluarga.
Dan ketiga, melalui khutbah, kultum bahkan opini di media dipertegas akan eksistensi silaturrahim sesungguhnya. Tujuannya agar tergerak bahwa halal bi halal di hari raya mau tidak mau harus berjalan, meriah hingga bisa terjadi berhari-hari.
Sebagai bukti, walau modernitas menggempur kita dari berbagai sisi namun semangat silaturrahim yang hangat tidak lekang oleh zaman dan tak pupus oleh waktu.
Sebagai penutup, semoga silaturrahim kita tak jadi minus perayaan, dan selamat hari raya penulis ucapkan.
*Warga Dukuh Ngantulan, Balen yang menempun Magister PAI di UIN Walisongo Semarang.