Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?

Reporter: -

blokTuban.com - Dalam satu minggu ini santer gonjang ganjing kasak kusuk di arena advokasi pangan bayi dan anak internasional yang katanya kena imbas kebijakan politik Amerika.

Sang presiden terpilih di sana konon punya tombol khusus di meja kerjanya demi segelas soda, serta terang-terangan menyantap makanan cepat saji kebanggaan tahun 80-an yang telah terbukti membawa banyak korban dan kini merambah negara-negara berkembang.

Yang amat mengejutkan, oleh pembaca Indonesia berita semacam itu dianggap ‘cermin kesederhanaan’ Presiden negri adikuasa – mengingat murahnya makanan cepat saji – ketimbang dampaknya di kemudian hari.

Rendahnya kesadaran akan keamanan pangan masih ketinggalan sekian puluh tahun rupanya.

Saat di negara-negara maju orang sudah meributkan residu antibiotika dan vaksin pada daging yang akan dikonsumsi atau efek pangan transgenik terhadap risiko kanker dan kesehatan reproduksi, di sini kita masih bicara soal makanan yang enak dan mengenyangkan, asal tidak bikin diare.

Sekian kurun waktu lamanya manusia berlomba mencari uang, menunjukkan kebolehan intelegensia, kecanggihan teknologi dan ekonomi seakan itu semuanya rupa supremasi kesuksesan dan kemakmuran. Kesehatan selalu paling belakang.

Bahkan masih ada yang berkilah, sakit itu tak terelakkan – karenanya masa tua harus kaya, agar bisa berobat kemana pun.

Sakit tak masalah, karena teknologi kedokteran akan mereparasi semuanya, kalau perlu perabot tubuh bisa diganti baru dan kinclong lagi.

“Normalitas baru” alias the New Normality tentang pola makan, gaya hidup dan kebutuhan berobat muncul secara global.

Sekian puluh tahun orang Jawa sarapan dengan roti. Sekian puluh tahun kita dijejali cara hidup praktis. Sekian puluh tahun kita akhirnya terbiasa dengan paradigma berobat jika sakit.

Sakit diandaikan kerewelan tubuh yang harus ditumpas, ketimbang pernyataan protes tubuh karena didera, tanpa diberikan hak-haknya.

Ketika datang saatnya kita diminta merefleksikan diri tentang penyebab semua masalah sakit, tiba-tiba kita terhenyak.

Di momen yang sama pun bermunculan hasil-hasil penelitian kedokteran teranyar yang membuktikan bahwa kembali ke fitrah bukan cuma lebih murah tapi juga lebih masuk akal.

Sekali pun di luar sana berjejalan informasi tandingan tentang ampuhnya obat-obatan muktahir yang membuat kecanduan baru dan memperkaya industri farmasi.

Rasa bersalah mestinya bermunculan dimana-mana. Mulai dari pemilik tubuh yang mendzolimi dirinya sendiri, para promotor makanan minuman jadi-jadian, hingga para pemangku kebijakan yang meloloskan semua perijinan promosinya.

Hal yang mengenaskan, alih-alih rasa bersalah, justru ada ibu yang merasa bebas beban tanpa perlu ke pasar apalagi buka kompor, hanya mengaduk bubuk dan air panas – lalu siaplah adukan itu disuapkan ke bayinya. Bukan rasa bersalah yang timbul.

Hal di atas sudah merupakan keruwetan yang begitu kompleks without guilty feeling – yang pada akhirnya ketika paradigma mengobati digeser menjadi pola pikir preventif dan promotif – semua terkaget-kaget bahkan masyarakat marah.

Orang tidak terbiasa menabung kesehatan tubuh, apalagi berjaga-jaga bila badai datang.

Saya tadinya berpikir, apakah itu ciri-ciri kepribadian masyarakat yang tinggal di bagian terkaya bumi ini, yang benih apapun siap tumbuh, matahari dan bulan teratur bersinar, tanpa deraan musim yang dingin menggigit atau panas nylekit.

Saya juga sempat menuduh tentang faktor kemalasan, yang membuat kaki nampak invalid dan tukang ojek begitu ramah berhenti di depan pagar rumah – padahal saat tinggal di negri orang, kaki nampak fungsional mulai dari terminal bis hingga tangga apartemen.

Saya juga sempat mencurigai para penjajah, yang diam-diam menebarkan hoax sejak lama bahwa makan kelapa parut membuata anak jadi cacingan, ikan biang keladi luka tak mau sembuh dan terong bikin laki-laki loyo.

Hingga kini kebiasaan menebar berita bohong dan pemecah belah kian marak dan makin seru, bukannya mereda.

Siapakah yang mengambil untung dari ini semua dengan tanpa rasa bersalah? Dan apakah kita begitu frustrasinya untuk meluruskan segala sesuatunya dan memberi informasi imbangan penetral racun gaya hidup itu? Faktanya, satu masalah belum selesai, muncul masalah baru.

Barangkali kita juga bersalah dengan kebiasaan menerapkan prioritas. Itu sebabnya ketika prioritas ditujukan untuk kerja demi uang, badan habis.

Sebaliknya, saat memulihkan badan kembali, uang yang telah sekian puluh tahun dikumpulkan, ludes.

Di area kehidupan lain pun sama saja, jika permainan prioritas masih dilakukan. Saat prioritas difokuskan demi karir, perkawinan berantakan. Waktunya perkawinan diselamatkan, promosi jabatan hilang...

Salah kaprah yang telah berlarut-larut perlu ditata ulang dengan menempatkan semua masalah di jajaran yang setara tanpa prioritas. Kita sudah tidak punya waktu lagi.

Dengan mengentaskan gizi buruk di perkotaan dan di pelosok misalnya, tidak bisa hanya dengan tongkat ajaib gizi – yang membuat rakyat hanya sebagai pihak yang tergantung dengan bantuan tanpa pemberdayaan.

Bersamaan dengan penanganan akut, program darurat segera yang juga perlu adalah pendekatan keluarga berupa contoh pola asuh, penghargaan atas pangan lokal, aktualisasi pandangan masyarakat tentang gizi, dan keberpihakan profesi maupun kesantunan pedagang industri pangan yang harus diatur.

Tanpa perlu menunjuk siapa yang salah di tengah kisruhnya masalah, rasa bersalah sebetulnya adalah panggilan untuk semua orang, untuk bekerja dengan rakyat sebagai tujuan. Bukan rakyat sebagai sarana.

*Sumber: www.kompas.com