Penulis: Aida Aminiatur Rosikhoh*
Namaku Aida. Sebagai perempuan, aku mendambakan petualangan dalam hidup dan menikmati segala sesuatu yang kualami. Tak ada romantisme tertentu, semuanya berjalan apa adanya mengalir seperti air. Orang-orang menganggapku sebagai gadis pingit, jarang keluar rumah. Paling-paling menampakkan diri di pelataran rumah, taman atau sekedar bercanda dengan tetangga sebelah. Itu tak jadi masalah besar untukku, karena mereka tak tahu apa yang sebenarnya kulakukan. Seperti angin mengabarkan warta tak jelas, itulah mereka.
Desember ini kelabu, hujan baru saja dimulai. Aku sudah bercengkrama dan menyibak vitrase. Hingga jendela bebas memaparkan pemandangan dari luar. Menatap rintik air yang basahi daun lalu jatuh ke tanah. Tidak puas, kulangkahkan kaki mengayun keluar, mata lebih leluasa memandang. Terbesit getir dalam rinai, itu tampak pada genangan air di lubang jalan. Di sana terlihat seraut wajah nestapa yang selama ini terselip dalam senyuman. Simpul senyum menawan yang mampu menyejukkan setiap mata memandang: aku.
Aku tinggal di desa, tapi tak jauh dari kota. Rumahku tepi jalan raya, setiap saat bebas melihat lalu lalang kendaraan dan hamparan sawah di sebelah rel. Kali ini hujan memainkan dawainya dengan nada berbeda, menambah kepiluan. Bagaimana tidak? Hujan sering bertandang pada sore, dan menggeser panorama senja yang hanya terjadi sekejap mata sebelum petang datang. Senja yang menjadi bagian hidup, raib karenanya. Matematika mengajarkan perbandingan, dan aku lebih menyukai senja dibanding hujan.
Hidupku biasa-biasa saja dengan kegiatan yang luar biasa, menurutku: meneliti senja. Pekerjaan yang aneh bukan menurutmu? Tapi itulah nyatanya. Pekerjaan romantis, menghitung serat-serat jingganya, mengukur diameternya bertambah lebar atau malah lebih sempit dari kemarin, kemudian mencatat sekaligus membuatnya menjadi sebuah laporan. Hal itu mampu menghilangkan kepedihanku, gadis sebatang kara.
Tinggal sendiri di sebuah rumah panjang, membuatku jenuh. Ibu sudah meninggal tiga bulan yang lalu, beliau sakit memikirkan keadaan ayah dan keluarga kami. Saking perhatiannya pada kami, beliau tak mempedulikan kondisi kesehatan. Semakin lama semakin kurus, asupan makanan jarang bahkan tak beliau kunyah. Sakit tak pernah dihiraukannya, berobat hanya beberapa kali. Bisik-bisik tetangga pun semakin memperburuk kondisinya.
Ingatan itu, layaknya tusukan sembilu tajam di dada. Mereka tak punya hati. Tak luput sedetik pun dari memoriku saat bersama ibu dan ayah. Apalagi percakapan dengan ibu sebelum ajal menjemputnya pada suatu sore. Sesak sekali ya Allah.
“Nduk, Ayahmu sekarang makan apa ya? Tidurnya bagaimana dan hari-harinya diisi dengan kegiatan apa saja?” Nada gelisah suara serak ibu membuat geming.
“Ndak tahu pasti, Bu. Sewaktu Aida besuk, ayah bilang baik-baik saja. Makan, lauknya ndak jauh beda dengan di rumah. Setiap hari membersihkan bui bersama napi lainnya dan mendapat wejangan untuk hidup lebih baik.”
“Ayahmu itu orang baik, jujur tapi ajur. Ibu ndak mau kamu mengalami nasib sama dengannya. Jadilah orang baik, jujur, tapi waspada sama orang, jangan asal percaya supaya ndak kena tipu!”
“Nggih, Bu. Sekarang minum obat dulu supaya lekas sembuh!”
“Ndak usah khawatir, Ibu apik-apik wae! Sholatmu yang tepat waktu, kusyuk, doakan ayah lan ibumu! Doa anak sholeh sholehah itu amal jariyah untuk orang tuanya.”
“Nggih, Bu.”
Aku masih punya ayah. Beliau mendekam di balik deruji besi karena ulah paman Nugik. Manusia picik itu tak tahu diri, selama ini dia menggantungkan hidup pada keluarga kami tapi tak tahu balas budi. Pemalas, waktunya hanya untuk judi. Ayah dan ibu selalu menasehatinya untuk mencari pekerjaan layak, tapi hanya dianggap angin lalu. Ayah ditangkap ketika sedang menemui paman yang asyik berjudi. Beliau ada di sana mengabarkan rekannya membutuhkan supir pribadi, lalu menyarankan paman mau jadi supir, sehingga tidak menjadi pengangguran lagi. Tapi na’as paman kabur, ayah yang jadi kambing hitam.
Ayahku seorang guru di instansi pendidikan swasta. Beliau adalah lakilaki bertanggung jawab dan sholeh. Menjadi guru idola dan ayah yang dicintai keluarga. Tapi penggrebekan itu membuat citra beliau tercoreng. Ayah, aku rindu Kau. Kapan ayah pulang? Allah, jaga selalu beliau untuk tetap baik terhadap semua, tidak berubah kasih sayangnya kepada hamba meski waktu memisahkan kami, saat ini...
Hujan berhenti, hujan dari mata belum juga reda. Bau tanah basah masih tajam tercium. Lembek, sama dengan hatiku. Aku iri melihat dua kodok melompat cepat untuk sampai di tempat berteduh mereka, seperti lomba karung 17 Agustusan saja. Mereka melompat sambil bersuara, seperti tak ada beban yang ada hanya keceriaan.
Meliha kedua kodok itu, aku jadi ingat dengan seseorang. Seseorang yang aku cinta sejak masa putih abu-abu. Dia menawan, cerdas, dan santun. Kami tidak pernah satu sekolah tapi dia tinggal tak jauh dari desaku. Aku mengenalnya dalam suatu even. Manis bila mengingat dia. Sudah satu tahun lebih aku tak melihat batang hidungnya. Tak tahu dia melanjutkan pendidikan di mana. Rindu selalu merasuki relung jiwa ini jika berkenaan dengannya.
Bara namanya. Dia dan aku memiliki kesamaan unik. Menyukai senja dan menelitinya. Dulu setiap sore kami sering melihat senja di taman dekat rumah, indah dan mengesankan. Sekarang hanya aku yang melihat dan memperhatikannya. Orang-orang yang melihatku, menganggap gila. Mereka iba karena hidup sebatang kara dan pekerjaanku hanya memperhatikan senja. Senja yang menurut mereka saat yang ditunggu untuk segera pulang bertemu keluarga dan istirah, tak perlu dilihat bentuknya apalagi diukur diameternya. Karena kebiasaan itu, mereka menyebutku gadis penunggu senja. Setiap sore jelang petang aku muncul, berlalu ketika adzan magrib berkumandang. Saat itulah mereka menjumpaiku, dan terkadang berpapasan ketika aku membesuk ayah di bui.
Tiba-tiba ponselku bergetar ada pesan masuk. Da, mana laporanmu tentang senja kemarin dan sekarang? Itu pesan dari Mbak Nadia, dia adalah koordinator agen senja. Aku kenal dia dari Bara sewaktu hunting foto di pantai. Oh iya, pasti kamu bertanya agen senja? Ya agen senja, aku sudah lama bergabung dengan Dinas Penelitian Senja atau disingkat DPS. Dulu sebelum ayah mendekam di bui, aku suka berpetualang dari pantai satu ke pantai lain untuk meneliti senja bersama Bara. Pantai tempat yang tepat untuk mencermati senja. Karena kondisi, untuk saat ini aku hanya bertugas meneliti senja di daerahku.
--Maaf Mbak Nadia baru bisa telepon, kemarin senja rada malu tampak. Mungkin dia segan dengan langit yang mulai galau. Diameternya kecil, tapi masih bisa dilihat kok. Sekarang senja tidur pulas, hujan membuatnya malas menampakkan pesonanya.-- --Saat ini hujan memang naik daun, tapi ada kabar baik, Da. Kawan lama akan segera bergabung kembali dengan kita.-- --Siapa, Mbak?-- --Ditunggu saja kedatangannya, Bye bye Aida!-- Tut tut tut Mbak Nadia memutus teleponku.
Kawan lama akan kembali bergabung? Siapa dia? Mbak Nadia membuatku penasaran. Mencoba mengingat satu per satu agen senja, otakku tak dapat menebaknya. Yasudahlah aku tak tahu, siapapun dia pastinya sangat membantu memberi info keadaan senja di tanah air ini.
“Assalamualaikum, Mbak Aida.”
“Waalaikumsalam, ada apa Dik Salsa?”
“Ini Mbak ada surat dari polres, tadi dititipkan di rumahku karena pintu rumah Mbak tertutup rapat.”
“Makasih, Dik.”
“Sama-sama, Mbak.”
Kubuka surat dari polres, tertulis pemberitahuan atas meninggalnya ayah dalam bui sebab dihajar preman satu sel dengannya. Hancur rasanya mendapati kabar itu. Dengan gontai aku datang ke bui, meminta keterangan dan melihat jenazah ayah. Polisi memberi tahu ketika ayah sholat ada seorang napi yang memaksa beliau untuk memijat tubuh napi itu, ayah melayani permintaannya lalu sholat lagi tapi napi itu memaksa kembali namun tak digubris ayah. Ayah dihajar, sempat ada perlawanan tapi kalah.
Pedih, ingin sekali aku memukuli napi itu, menjambak rambut gondrongnya hingga rontok tak berambut. Aku meminta polisi bertindak adil, memberikan ganjaran setimpal kepada napi itu. Karena selama ini keadilan tidak berpihak pada ayah. Beliau tak bersalah, tapi menghabiskan sisa umur sampai mati di bui.
Jenazah ayah masih diotopsi, aku melihat proses itu. Kuperhatikan cermat bibir ayah tersenyum, tampak bersinar wajahnya meski tubuh berlumur darah. Ya Allah, tempatkan ayah dan ibu di surgaMu. Airmataku menderas mengalahkan hujan Desember. Rangkaian proses dari polisi sekaligus pemandian dan sholat jenazah selesai, ayah dimakamkan di sebelah makam ibu. Pesan ibu selalu terngiyang, doa anak sholeh sholehah adalah amal jariyah untuk orang tuanya. Setiap selesai sholat kukirimkan doa dan bacaan surat yaasiin untuk ayah dan ibu supaya terang kuburan mereka.
*****
Seminggu berlalu, hambar rasanya. Kukira tak berjumpa dengan ayah hanya sementara, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia menjemput ayah untuk menemani ibu di alam sana, sedang aku sekarang benar-benar sebatang kara. Kuatkan aku, Rabb menjalani hidup ini!
Hai gadis penunggu senja, jangan murung kau! Senja mulai muncul, kenapa kau tak muncul menyambutnya? Sudah jangan larut dalam kesedihan, doakan orang tuamu dan hiduplah dengan baik! Oh iya kawan lama yang aku ceritakan tempo lalu sudah datang. Dia bakal mewarnai hidupmu dengan semburat jingga.
Tak kubalas pesan dari mbak Nadia. Kubaca ulang, kata-katanya menyentuh. Benar tak seharusnya aku begini, hidup tetap berjalan karena waktu tak bisa diajak kompromi. Memulai hari dengan optimis dan berbagi. Lantas siapa kawan lama itu? Mewarnai hidupku?
*****
Hari ini langit cerah, secerah diriku yang memulai menata hidup. Kau tahu senja sore ini merah seperti gaun ke pesta. Senja merona, diameternya lebih lebar kali ini, sekitar 7cm bertambah ke samping. Badan senja hangat. Aku bertanya mau ke manakah kamu, senja?
Dari belakang ada yang menepuk pundakku. Kau tahu siapa dia? Dia, ya dia yang diceritakan mbak Nadia. Kawan lama yang akan kembali bergabung dan mewarnai hidupku. Dia menyapaku, aku pun menolehkan wajah ke arahnya.
“Gadis penunggu senja masih setia dengan agen senja?”
“Alhamdulillah ndak bosan, aku. Kamu ke mana saja, Bar?”
“Aku pendidikan, Da. Turut berduka atas meninggalnya ayah ibu. Maaf nggak bisa menemanimu menjalani masa-masa sulit.”
“Ndak apa, kamu ikut pendidikan militer?”
“Akademi Kepolisian, Da. Alhamdulillah sekarang sudah ditempatkan di polda, jaraknya nggak jauh-jauh amat dari rumah.”
“Po...po...polisi?”
“Iya, kenapa kamu gagap gitu?”
“Aku benci sama kamu, Bar. Ndak usah temui aku lagi!”
“Da, apa salahku? Apa karena aku nggak pernah mengabarimu atau...?”
Aku berlalu meninggalkan Bara tanpa membalas perkataannya. Getaran intuitif yang berdebar di ulu hati berubah menjadi kejengkelan. Kejengkelan terhadap tindakan polisi-polisi yang memborgol ayah tanpa ada keterangan jelas. Kejengkelan karena tidak ada pengamanan dan kenyamanan di sel hingga ayah mati dihajar napi. Ayah tidak pernah mendapat keadilan dari penegak hukum, aku benci polisi! Kejengkelan yang selama ini kudiamkan pada aparat-aparat itu kini beralih pada sosok yang kucintai. Bara, aku benci kau jadi polisi ! Senja yang sedari tadi kuamati, lamat-lamat menghilang bersama datangnya petang. Seolah senja itu bahagiaku dia sekejap lenyap, dan petang adalah kesedihanku ketika Bara mengatakan siapa dia sekarang.
Babat, 151213.
Keterangan:
• Warta (bahasa Jawa) berarti berita atau kabar
• Nduk sebutan untuk perempuan yang lebih muda; Mbak sebutan untuk perempuan yang lebih tua atau baru dikenal
• Nggih berarti iya
• Ndak berarti tidak
• Ajur berarti hancur
• Apik-apik wae berarti baik-baik saja.
• Hunting (bahasa Inggris) berarti berburu
*Aida Aminiatur Rosikoh, lahir di Lamongan, 25 Juni 1994. Penulis adalah mahasiswa semester 8 Program Pendidikan (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas PGRI Ronggolawe Tuban. Selain kuliah, gadis yang berdomisili di Babat tersebut juga aktif di Komunitas Sanggar Sastra (Kostra) PBSI Unirow.
Ilustrasi: siapagembonk.tumblr.com