Berakhirnya Begal Darsum (Bagian dua)

Penulis: Rohmat Sholihin*

Baca juga: [Berakhirnya Begal Darsum]

Kedua mata itu masih sigap mengawasi keadaan. Sesekali, kedua tangan kekar memainkan belatinya. Rambutnya tersapu angin malam, berurai-urai. Suara jangkrik terus mengerik mengisi malam yang semakin mencekam. Dari jauh seberkas cahaya terlihat dari lampu motor, suara deru mesinnya semakin jelas.

“Ada mangsa datang, aku harus segera menghentikannya,” celetuk Darsum sambil menggunakan cadarnya seperti ninja, cadar dari kain sarung.

Dengan cekatan ia taruh sebatang pohon di tengah jalan. Lalu bersembunyi di balik pohon jati besar. Tangannya tetap memegang belati. Tak lama pengendara motor pun mengurangi laju kecepatan, bahkan sampai berhenti. Tengok kanan-tengok kiri memastikan keadaan sekitar. Apakah kejadian ini disengaja atau tak disengaja,?

“Ah sial, kerjaan siapa ini?,” desisnya pelan. Baru saja akan turun dari motornya, ada rasa janggal dan sedikit perih pada perut belakangnya. Dia juga merasakan ada tangan kekar mengapit leher.

“Serahkan dompet dan uangmu jika ingin aman!,” bentak seseorang dari belakang.

“Maaf, aku tak punya uang,”

“Bohong,”

“Serahkan! Cepat! Sebelum belati ini merobek perutmu,”

“Aku tak punya uang, Bang,”
“Sekali lagi bohong, mati kau!,”

“Silahkan ambil dompet dibelakang bang, jika tak percaya,”

Diambil juga dompet di saku belakang celananya. Ia buka. Tak ada uang pun di dalam dompet dekil itu. Tapi Darsum tak perduli.

“Serahkan motormu!,”

“Jangan Bang, ini motor dibelikan bapakku Bang,”

“Halah, siapa peduli. Dibelikan mbahmu, kakekmu, pacarmu, serahkan saja motormu!,”

Pengendara motor mulai gugup, pikirannya melayang-layang membayangkan motornya dibawa orang. Mau dijual Bapaknya saja tak boleh, apalagi dibawa kabur orang. Pikirannya mulai mencari cara untuk bisa lolos dari kesialan. Namun, otaknya semakin bingung tak menemukan cara apapun. Lebih baik aku nekat kabur saja. Dengan keadaan terjepit, ia pun mencoba melawan dan kabur.

“Lepaskan, lepaskan aku, tolong lepaskan aku. Tak sudi aku menyerahkan motor ini padamu,” pinta pengendara motor dengan meronta-ronta mencoba melepaskan tangan pembegal.

“Silakan jika kau bisa lari dariku,”

“Lepaskan!,”

“Tak Bisa,”

“Bangsat,”

“Ku Bunuh kau!,”

“Bunuhlah, lebih baik mati daripada menyerahkan motor padamu,”

“Nekat kau!,”

Tak lama kedua manusia itu pun bergumul saling ingin melukai. Tapi apa daya, usaha ingin bebas dari terkaman singa yang lapar pun sia-sia. Belati yang telah dibawa pembegal itupun berhasil merobek perutnya, darah keluar dari perut pengendara motor dengan posisi masih dijepit kuat-kuat oleh pembegal. Tak lama tubuh pengendara motorpun lemas dan tak bergerak lagi.

“Mampus kau,” Kata pembegal dengan mencampakkan tubuh itu ke pinggir jalan dengan posisi tengkurap. Dengan cepat mayat itupun diseret ke semak-semak belukar.

Kemudian kabur dengan membawa motor milik pengendara yang telah menjadi mayat.

Degup jantung Darsum turun naik. Satu nyawa telah ia cabut dengan paksa. Pisau yang masih berlumuran darah ia sarangkan kembali. Perlahan-lahan Ia atur napasnya. “Motor ini harus aku bawa pulang, aku ambil suku-suku cadangnya dan aku bisa jual otekan, bisa carburatornya, rodanya, skoknya, tangkinya, lampunya, dan rangkanya. Tapi, bagaimana mayat itu, apakah aku biarkan ditempat itu, atau...?” bisik hatinya kecut. “Huh...jika aku biarkan saja, besok tempat ini akan menjadi ramai dan gempar. Ada orang dibunuh dan akan menjadi perbincangan banyak orang. Polisi tentu akan segera mencari pelakunya. Huh, persetan...biarkan saja, biarkan semua berjalan seperti biasa,” kebimbangan hati mulai menghantui Darsum. “Lebih baik aku pulang saja,” Darsumpun memutuskan segera pulang.

Sesampai di rumah hari masih gelap. Malam semakin mencekam, dingin dan menusuk hati. Tak ada seorangpun yang masih menghabiskan malam, semua telah terlelap dalam tidurnya. Darsum segera mengetuk pintu. Kegugupan membuat ia ingin segera masuk rumah, menyembunyikan motor hasil jarahannya kedalam tempat yang aman.

Tok, tok, tok, bunyi ketukan pintu terdengar keras.

“Mak, mak, bukakan pintu, ini aku Kang Darsum,” Suara Darsum memecah malam.

“Mak, mak, mak, cepat bukakan pintunya, di sini dingin,” Darsum ulangi lagi suaranya.

“Iya Kang, sebentar.” Suara dari dalam menjawab dengan lantang dan bergegas pintu terbuka. Dengan masih mengantuk istri Darsum tak banyak tanya, hanya sesekali ia melihat motor anaknya di depan.

“Mana si Galeh? Motornya kok masih didepan itu, Kang?” Tanya bini Darsum.

“Ah motor Galeh, mana motor Galeh mak?,” Darsum balik tanya.

“Lha itu motor Galeh,” Tunjuk Bini Darsum.

“Galeh belum pulang toh?, ini motor aku pinjam teman kerja, besok pagi harus aku bawa lagi balik ke tempat kerjaan mak. Salah lihat kali mak, matamu masih mengantuk. Sudah sana tidur lagi,” Bicara Darsum dengan hati yang mulai gemetar. Ada sebongkah batu besar yang seakan-akan menindih hatinya, dadanya sesak, kepalanya menggelayut pening, matanya yang ngantuk kembali nanar dan semburat syarafnya kembali menegang dan terkejut.

“Apa? Motor Galeh...apa yang baru aku lakukan ini,? apa Ia benar-benar Galeh, anakku,?” seribu tanya Darsum mulai menikam hatinya. “Oh tidak, tidak, dia bukan Galeh anakku, bukan???” bisik Darsum meyakinkan hatinya. Ia pandangi motor itu yang masih saja diam, tenang. Namun, seakan-akan dari lampunya menerawang ingin mengabarkan,

“Kau bodoh Darsum! Bodoh! Kau baru membunuh darahmu sendiri. Mencoba merampas tulangmu sendiri dan kau baru saja robohkan generasi penerusmu yang bisa membuatmu menjadi manusia, bukan iblis.” Mata Darsum tak kuat memandang lampu motor itu, tertunduk, lesu. “Tidaaaaaaak...” Darsum berlari keluar rumahnya lagi, lalu menutup pintunya, dan menunggangi motor itu kembali ke Hutan Krawak.

Hampir sepanjang jalan pikirannya selalu mengingat anaknya, Galeh. Ia berharap semoga yang baru saja ia habisi bukanlah buah hatinya. Ia ingin pastikan mayat itu orang lain dan bukan anaknya. Tak sabar, secepat kilat ia tancap gas motor rampasan itu. Sampailah ia di tempat kejadian tadi. Dengan cepat ia melompat dari motor dan menuju semak-semak, ia cari-cari mayat itu, semak-semak disibak dengan cekatan,dan Darsum pun menemukan mayat yang masih memakai helm dalam keadaan tengkurap.

Segera ia pegang mayat yang sudah kaku dan dingin itu, ia buka helmnya dan, ”Galeh, Galeeeeeeh, kenapa bisa kau Leh, kenapa bisa kauuuu,? Maafkan aku Galeh, aku tak tahu jika itu kau, bodohlah aku, gobloklah aku, bunuhlah aku juga, Galeeeh. Bangun Nak, bangun. Kau tidak boleh mati,” isak tangis dan jerit Darsumpun memecah kesunyian malam. Tak ada yang datang untuk mendekat. Hanya nyamuk-nyamuk yang berani mendekat untuk mencuri dan menghisap darah segarnya. Mayat itu masih saja dipegangi dan ia ratapi dengan penuh penyesalan yang tak tanggung-tanggung. “Kenapa kau Nak,? Kenapa Kau,?” jerit Darsum histeris.

Tak ada yang bisa dilakukan Darsum kecuali menangis, menjerit, meratap ucap, menyesal, dan bingung setengah mati. Apa hendak dikata, makanan telah dimuntahkan, minuman telah ditumpahkan, dan ibarat nasi telah menjadi bubur. Sudah terlanjur tak kan mungkin ditarik lagi, kejadian telah terjadi, dan risiko harus berani dihadapi.

Darsum benar-benar gegabah. Tubuh Darsum pun lunglai tak berdaya, matanya hanya bisa memandang kosong kegelapan malam di Hutan Krawak. Napasnya tersengal-sengal, pikirannya kacau, hatinya kelu. “Ahhh, aku tak tahu lagi apa yang terjadi, kelamku adalah hidupku, anakku kubunuh sendiri hanya karena ingin memenuhi keinginan-keinginanku. Aku telah menjadi manusia terlaknat di bumi ini, melebihi iblis sekali pun. Kebodohanku adalah kebejatan-kebejatan pada nuraniku yang kering. Tak ada guna aku hidup, hidup hanya materi kosong tiada isi, lebih baik aku mampus saja,” tubuh Darsum masih memeluk Galeh, anaknya yang baru saja ia habisi.

Malam semakin terkikis pada kepekatannya untuk terus menggelayut pergi dengan seksama. Sebentar lagi matahari akan menyapu bersih gelapnya, dan Darsum masih saja beku dengan rasa sesalnya. “Aku harus menyerahkan diri ke kantor polisi sekarang juga,” Gumam Darsum.

Esoknya, matahari memenuhi janjinya untuk menyapu bersih gelap malam. Pagi-pagi beberapa kentongan bertalu-talu, hiruk pikuk kabar terbunuhnya Galeh menjadi berita gempar di manapun juga. Beberapa polisi telah siaga penuh di rumah Darsum. Orang-orang di warung kopi terkesima melihat ketidakpercayaan terhadap apa yang telah Darsum lakukan. Ketidakpercayaan bercampur kebencian. “Oh uiblis Darsum, anaknya sendiri kok dibunuh, gila, gila,” umpat teman-temannya di warung kopi.

“Ya Kang, namanya juga musibah, kesialan,” sahut orang disampingnya.

“Gak habis pikir, setan mana yang telah merasukinya, anaknya sendiri digasak.”

“Bininya Darsum langsung pingsan tadi pagi ketika ada kabar dari polisi, sekarang masih dibawa ke Puskesmas. Tak tahu lagi bagaimana keadaannya,”

“Ah, kasihan bininya,”

“Iya Kang,”

“Itulah perempuan, Jika kekurangan tak ada kesabaran. Tak mau bersabar barang sebentar. Maunya rezeki harus selalu datang dalam jumlah banyak. Kurang pasti marah-marah. Darsum itu pernah bercerita padaku, jika beberapa minggu kemarin tak punya uang penghasilan, bahkan tak ada kerjaan. Dan, istrinya suka marah-marah, akhirnya ngutang untuk mencukupi kebutuhannya,” Jelas temannya lagi.

“Tidak semua perempuan Kang. Tergantung, perempuan bisa membantu suami dengan kerja apa saja yang penting menghasilkan dan halal. Bisa jualan di pasar, buka usaha warung kopi seperti aku ini,” jelas Mbok Rah si pemilik warung kopi yang tak mau kalah untuk membela kaum perempuan. Jadilah perbincangan di warung kopi yang seru.

“Betul Rah, bini Darsum hanya mengandalkan penghasilan Darsum yang tak seberapa itu. Jika kurang, pasti akan marah-marah, setiap hari selalu cek-cok, kurang ini dan kurang itu. Makanya tak heran Darsum selalu menambah utang, karena penghasilannya tak sebanding dengan pengeluarannya. Kasihan Darsum,” Jelas temannya lagi.

“Ah, Darsum, nasibnya harus membegal ke orang lain,”

“ Ya, nekat, karena terjepit dengan situasi keluarga yang kian sulit,”

“Anaknya sendiri bahkan sampai jadi korbannya. Benar-benar ngawur Darsum,”

“Bukan ngawur, mungkin Darsum tak tahu jika itu anaknya,”

“Anaknya sendiri kok sampai tak tahu ya?,”

“Anaknya pakai helm,”

“Sekarang masih dimana Darsum?,”

“Kantor Polisi,”

“Menyerahkan diri,”

“Iya,”

Obrolan-obrolan di warung kopi Mbak Rah semakin asyik. Hampir awal sampai akhir selalu tentang Darsum. Ditambahi, dibumbui, dikurangi, dijatuhkan, dibela, bahkan

diumpat-umpat, Darsum telah menjadi biang gosip seantero kampungnya.

Sedangkan Darsum sendiri meringkuk di balik jeruji sel kantor polisi, tubuhnya lemas, pikirannya kosong. Merasakan hal gila yang baru saja ia lakukan. Penyesalan yang dalam sungguh membuat ia terpukul berat. Tak ada semangat lagi dalam hidupnya. Apa yang ia cari dalam hidup selama ini telah sia-sia. Anak sebagai generasi penerusnya ia tikam sendiri. Dengan tangan dan tenaganya sendiri.

“Tak ada guna, tak ada guna aku hidup lagi.” Dalam hati Darsum.

“Ya, tak ada guna, lebih baik aku ikut mati saja.” Tambahnya.

Tak terasa waktu terus terlewati, segala kisah akan menjadi lembayung senja dan berlalu dengan segala hati dan perasaan yang terus berkecamuk. Segala kisah akan

terekam dalam dinding-dinding ingatan yang terkadang luruh juga. Begitu juga kisah pembunuhan Darsum terhadap anaknya sendiri yang telah berlalu dengan seiring

waktu. Sudah tidak menjadi gosip dan bahan pembicaraan banyak orang, Istri Darsum kembali menjadi manusia yang harus berani dan tabah menanggung dirinya sendiri dan anak-anaknya. Tidak lagi menggantungkan hidupnya pada suaminya. Bekerja siang dan malam untuk meraih harapan bahwa hidup bukan hanya merengek dan menangis tapi hidup adalah berteriak bahwa aku ini ada maka aku harus berpikir dan berbuat.

Baru saja tersadar dari kesedihan yang menghebat dan menjalani sebagaimana hidup yang harus dijalani. Baru saja melupakan sejuta pilu di hati, istri Darsum

harus menanggung lagi musibah berikutnya yang juga membuatnya semakin menjadi batu karang di laut, kuat, meski diterjang ombak laut yanng terus datang bertalu-talu... . Rumah Darsum kembali didatangi polisi dan ambulans yang membawa jenazah Darsum karena mati bunuh diri. Selesai.

Kali Kening, 5 Agustus 2016.

Rohmat Sholihin.
Tinggal di Bangilan. Aktif dan anggota di Komunitas Kali Kening. Penulis bisa dihubungi di email. rohmat.sholihin@yahoo.com.