Oleh: Mohammad Iqbal *)
Di pesisir pantai Rembang, di akhir abad ke-19, ada kampung yang masyarakatnya hampir semuanya berkerja sebagai nelayan. Kampung tersebut disebut Kampung Nelayan. Di kampung itu ada seorang gadis berumur 14 tahun, anak pasangan suami istri yang hidup miskin, menjadi tokoh utama dalam novel ini. Gadis Pantai sebutannya.
Gadis Pantai dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang priyayi di kota. Orang tuanya berharap kehidupannya agar lebih baik setelah itu. Di rumah seorang Bendoro, suami Gadis Pantai, ia tinggal. Keadaan yang sangat berbeda dengan kampungnya yang dulu. Tanpa hangatnya pasir pantai. Tanpa terik matahari pagi. Tanpa pekerjaan yang biasa ia lakukan, membantu orang tuanya menjala. Karena sekarang ia menjadi seorang yang lebih dihormati, seorang wanita utama, bukan sebagai orang kebanyakan. Wanita utama mendapat panggilan Mas Nganten oleh penghuni rumah Bendoro.
Ditemani seorang yang mengajarkan pengalaman kehidupan, dia tinggal di rumah Bendoro. Gadis Pantai menjadi tahu tentang apa itu kehidupan yang sebenarnya. Nenek tua itu menemani, menceritakan pengalaman hidupnya. Waktu semakin bergulir, Gadis Pantai akhirnya menyadari bahwa dia bukan wanita utama untuk Bendoro. Posisinya semacam perempuan yang dinikahkan hanya untuk latihan. Pada waktunya, Bendoro akan meninggalkan Gadis Pantai dan akan menikah yang dianggap sebenarnya yaitu dengan wanita yang sederajat. Dengan wanita keturunan sederajat dari golongan priyayi, bangsawan Jawa.
Selang beberapa waktu, sekitar tiga tahun, setalah ia bisa beradaptasi, Gadis Pantai dianugerahi seorang anak. Anak perempuan yang dilahirkan olehnya dan terkesan Bendoro kurang begitu senang.
Selain itu, saat ini adalah waktu dimana Bendoro harus menikah. Menikah dalam arti yang sebenarnya dengan wanita yang sederajat. Kira-kira setelah bayinya berumur tiga setengah bulan, tiba pada waktunya, akhirnya Gadis Pantai diceraikan. Dipulangkan dengan paksa. Dengan diberi beberapa materi. Tetapi tanpa Bayi.
***
Buku ini berhasil ditulis oleh Pramoedya Ananta Tour karena terinspirasi oleh kisah neneknya sendiri. Buku ini bisa dikatakan buku sejarah, sejarah yang mungkin tidak banyak orang yang tahu dan dikemas oleh Penulis secara apik. Novel ini menceritakan unsur feodalisme di tanah Jawa pada akhir abad ke-19. Sebuah kekuasaan yang dipegang oleh para priyayi ini diceritakan di pesisir Rembang. Kaum priyayi ini bertindak semena-mena, mempergunakan posisinya mempermainkan kaum kebanyakan. Yaitu kaum miskin dari kampung.
Sebuah pernikahan dini juga diungkit dalam novel ini, digambarkan oleh tokoh Gadis Pantai. Diceritakan sebagai seorang yang begitu polosnya sebagai korban pernikahan percobaan. Pembaca bisa dibuat sakit hati membayangkannya karena kisah-kisah yang sekarang bisa dikatakan mencederai hak asasi manusia.
Penulis memberikan gambaran kejadian cerita di akhir abad ke-19 memasuki abad ke-20 dengan bagus, mulai dari menyebutkan baru dibangunnya Jalan Raya Pos oleh Deandles hingga menceritakan Bupati Jepara yang akan menikah lagi karena meninggalnya ibu R.A. Kartini.
Novel ini sebenarnya trilogi dari dua novel lainnya, sangat disayangkan naskah lanjutan dari cerita ini tidak ditemukan, dikatakan hilang akibat ganasnya rezim Orde Baru. Roman Gadis Pantai ini mungkin tidak akan ditemukan jika mahasiswa Australia—Savitri P. Scherer—tidak membuat tesis tentang kepengarangan Pram dan akhirnya mengirimkan dokumentasinya. Sangat disayangkan Pram tidak mencoba menuliskan kembali kisah lanjutannya.
Identitas Buku
Judul: Gadis Pantai I Penulis: Pramoedya Ananta Toer I Penerbit: Lentera Dipantara I Tahun: September 2011 I Tebal: 272 halaman
*) Peresensi adalah Mahasiswa Jurusan Sastra UIN Sunan Ampel Surabaya juga jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas