Pengirim: Joyo Juwoto
Ketupat (kupat) adalah makanan tradisional yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda atau dikenal dengan nama janur yang dianyam sedemikian rupa hingga menbentuk model-model tertentu sesuai dengan kebutuhan. Ada model kupat pasar, kupat bawang, kupat luwar, kupat sungu dan lain sebagainya. Namun biasanya kupat yang sering dibuat masyarakat adalah model kupat pasar dan kupat bawang. Kupat biasanya disajikan dengan opor ayam atau sambal bumbu dari parutan kelapa dan akan terasa lebih nikmat jika bumbu itu dipadukan dengan ikan teri.
Setelah perayaan hari raya Idul Fitri masyarakat Jawa khususnya memiliki tradisi hari raya lagi yaitu kupatan. Menurut Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Agama Jawa, kupatan dilaksanakan tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Pada mulanya tradisi perayaan kupatan ini dianjurkan bagi keluarga yang memiliki anak kecil yang telah meninggal dunia. Biasanya kupatan dilaksanakan pada pagi hari sekitar jam tujuh, selaian dipakai selametan kupat juga ada yang digantung di pintu-pintu masak agar supaya arwah sianak kecil tadi bisa pulang dan menikmati makanan kupat tanpa perlu mempedulikan siapapun yang ada di dalam rumah.
Pendapat Geertz mungkin merujuk pada prosesi selamaten yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, tanpa meneliti lebih mendalam tentang sebuah prosesi kupatan. Geerrtz hanya berhenti pada sebuah pengertian bahwa kupatan adalah upacara untuk memberi makan arwah anak kecil. Tampaknya Geertz ia tidak begitu paham akan proses akulturasi yang terjadi pada sebuah nilai kupatan yang telah digagas oleh Walisongo khususnya Sunan Kalijogo. Ini terbukti Geertz di dalam bukunya sama sekali tidak menyinggung makna dari kupatan itu sendiri.
Disadari atau tidak kemungkinan Geertz memang sengaja ingin meninggalkan dan membiarkan polemik di tengah masyarakat tentang sebuah ritual kupatan. Karena Geertz sendiri juga punya misi untuk memisahkan dan membuat kesenjangan dengan membuat istilah santri abangan dan santri putihan. Jika kupatan dihubungkan dengan pemberian makan terhadap arwah tentu hal ini akan dianggap sebagai perbuatan bid’ah menurut santri putihan, sehingga diharapkan akan terjadi kesenjangan antara santri abangan sebagai pelaku dari ritual kupatan dengan santri putihan yang berusaha melindungi ajaran Islam dari perilaku bid’ah tadi.
Oleh karena itu kita harus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan paham akan sebuah nilai dari tradisi kupatan. Jangan sampai kita selalu diadu domba oleh sebuah kepentingan untuk merusak ukhuwwah dan persatuan umat Islam. Ada baiknya umat Islam menyadari akan upaya orang-orang yang tidak suka dengan Islam sehingga berusaha memperuncing perbedaan faham diantara kita. Termasuk diantaranya adalah pelintirisasi terhadap perayaan kupatan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Walisongo dengan dakwahnya berusaha mengikat dan mempersatukan masyarakat dalam jalinan persaudaraan dan silaturrahim diantara sesama dengan berbagai cara yang sangat unik dan tentu cara itu mencontoh serta meneladani ajaran Rasulullah SAW. Seperti ajaran silaturrahmi, ajaran saling memaafkan, ajaran saling tolong menolong, serta ajaran sedekah. Hal ini pula yang terkandung dalam tradisi kupatan yang diadakan pasca hari raya Idul Fitri. Mungkin secara bahasa Walisongo tidak mengatakan hal seperti itu namun nilai-nilai dakwah walisongo jelas-jelas mencerminkan ajaran yang sangat mulia.
Jika ada yang mengatakan bahwa perayaan kupatan adalah bid’ah, sesat, dholalah, an-naar, dan lain sebagainya, kayaknya kita perlu duduk bersama sambil menyeruput secangkir kopi dan menikmati sajian kupat di hari idul fitri, sambil bersama merendahkan hati untuk saling memahami dan saling memaafkan. Saya kira semua tahu makna dari bid’ah itu sendiri, berbagai dalil juga telah dijelaskan bahwa bid’ah itu sesat dan tempatnya di neraka. Lalu jika kupatan itu tidak pernah diajarkan Rasulullah dan tidak pernah beliau contohkan mengapa hal itu kok masih dilakukan dan tidak segera saja ditinggalkan ?
Kupat sebenarnya bukan sebagai produk agama, namun hanya sebagai produk budaya suatu masyarakat yang diinisiasi dengan nilai-nilai religi khususnya ajaran Islam, jadi kita jangan hanya memandang perayaan kupatan ansich yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kita harus melihat kesejatian dari kupatan tadi, jadi jangan hanya terjebak pada nilai-nilai profan semata dan melupakan hakekat. Perayaan kupatan adalah profan sedang nilai kesejatian dari kupatan adalah sebagaimana yang saya ungkapkan di atas Seperti ajaran silaturrahmi, ajaran saling memaafkan, ajaran saling tolong menolong, serta ajaran sedekah. Lalu manakah yang bid’ah dari perayaan kupatan ini ?
Jadi menurut saya yang tidak mau kupatan monggo, yang kupatan ya monggo saja yang terpenting kita tidak saling olok-mengolok dengan tuduhan-tuduhan yang tendensius dan tidak berdasar, apalagi sampai merenggangkan tali silaturrahim dan perpecahan diantara umat Islam. Jika kita mau membuka wawasan berfikir kita dan tidak selalu sumbang dalam menyanyikan koor bid’ah...bid’ah...bid’ah maka persoalan itu akan selesai. Ayo bersama rendahkan hati belajar dan mencoba memahami dengan seksama dawuhnya para Rasul dan ulama terdahulu. Menurut As-Syaikh as-Sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya ‘al-ihktifal bidzikro mualidin nabi beliau menyatakan :
قال الإمام الشّافعي رضي الله عنه : ما أحدث وخالف كتابا أو سنّة أو إجماعا أو أثرا فهو البدعة الضّالة, وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك غهو المحمود.
Artinya : Imam Syafi’i berpendapat : Bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’ shahabat, atau atsarut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dhalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat hal tadi, maka hal tersebut termasul hal yang terpuji.
Dari pendapat yang diuraikan oleh Imam Syafi’i ini Sayyid Alawi menyimpulkan bahwa setap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syariat serta tidak mengandung kemungkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama).
Begitu pula nilai-nilai yang terkandung dari perayaan kupatan sama sekali tidak menyelisihi dari ajaran mulia baginda Rasulullah SAW seperti ajaran silaturrahmi, sedekah, saling memaafkan dan tentu dalam rangka menjalin persaudaraan dan ukhuwwah islamiyah. Itulah kelebihan dan keunggulan walisongo dalam menerjemahkan bahasa nubuwwah ke dalam bahasa kearifan lokal masyarakat nusantara sehingga tidak mengherankan jika dalam jangka waktu yang tidak lama Nusantara bersinergi dan dengan sukarela memeluk ajaran Islam.