Oleh : Andriana Wahyu Hartanti
blokTuban.com - Outdoor learning adalah aktifitas pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa belajar langsung tentang obyek yang sebenarnya secara nyata sehingga pembelajaran dapat lebih bermakna dan mudah dipahami siswa, Selasa (28/5).
Salah satu kegiatan outdoor learning yang dilakukan siswa kelas dua SD Katolik Santo Petrus Tuban pada bulan Mei 2024 adalah belajarked Kelurahan Karang, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Sesuai dengan tema pembelajaran hari ini pada mata pelajaran seni rupa yaitu belajar kerajinan seni tanah liat.
Kelurahan Karangadalahd wilayah yang mata pencaharian penduduknya sebagai pengrajin gerabah. Mbah Somi dan mbah Jasmi, beliau berdua asli penduduk Karang dan sudah menjalanni hidup sebagai pengrajin gerabah secara turun temurun hingga sekarang.
Dari beliau berdua inilah anak-anak SDK belajar bagaimana proses pembuatan gerabah. Dengan telaten dan sabar mbah Jasmi menjelaskan kepada anak-anak sambil memperagakan memberikan contoh proses pembuatan gerabah.
Anak-anak pun sangat antusias untuk ikut memperagakan atau belajar langsung praktek membuat gerabah.
Lempung atau tanah liat sebagai bahan baku pembuatan gerabah ini didatangkan dari Desa Penambangan, sedangkan pasir laut sebagai bahan campurannya didatangkan dari Kecamatan Jenu.
Proses pembuatan gerabah ini sebetulnya tidaklah mudah karena selain lempung sebagai bahan dasarnya juga ada beberapa bahan campuran lainnya, seperti pasir laut, kulit kacang, dan serabut kelapa.
"Sebelum dibentuk lebih dahulu lempung dicampur dengan pasir laut kemudian diaduk/diuleni dengan cara diinjak-injak memakai kaki, setelahnya melalui proses pencucian dan penyaringan tujuannya agar kerikil-kerikil kecil yang ada di campuran adonan tidak ikut teraduk karena akan mempengaruhi bentuk gerabah menjadi tidak rata/halus," tutur Mbah Jasmi.
Setelah mendengarkan penjelasan seputar proses pengerjaan gerabah, anak-anak SD Katolik Santo Petrus dengan tertib duduk bersimpuh di depan perbot (semacam dulang berbentuk lingkaran).
Sekepal adonan tanah liat di genggaman tangan, diletakkan di tengahnya. Sebelah kaki kemudian mengais pinggiran perbot, sehingga benda tersebut berputar pada porosnya. Kedua tangan membentuk adonan lempung/tanah liat yang ikut berputar.
Sesekali tangan dicelupkan ke ember berisi air, lalu kembali memutar adonan lempung lagi agar terbentuk gerabah. Tak lama kemudian, lempung di tengah perbot itu menjelma menjadi kuali kecil.
Untuk mengambilnya dicongkel dari perbot menggunakan lidi dari bambu, lantas dijemur di emperan rumah. Gerabah yang sudah jadi dan dijemur ini akan mengalami proses berikutnya yaitu pembakaran sebelum dapat digunakan.
Karena perbotnya hanya ada tiga buah maka anak-anak bergantian sesuai urutan absensi untuk memperagakan cara membuat gerabah tersebut.
Sebanyak duapuluh tujuh siswa mendapat giliran untuk membuat gerabah sesuai petunjuk dan contoh dari mbah Jasmi. Keceriaan dan keriangan mereka yang tadinya merasa jijik karena harus bermain dengan lempung berubah menjadi gelak tawa manakala lempung yang telah terbentuk menjadi gerabah tiba-tiba penyok karena terlalu keras tekanan tangan saat membentuk sehingga anak harus mengulang dari awal kembali.
Meskipun hasil karya anak-anak tidak sesempurna buatan tangan mbah Jasmi, namun mereka merasa senang dan bangga karena berhasil membuat berbagai macam gerabah sesuai bentuk yang diinginkan.
Ada yang membuat vas bunga, guci, cowek, piring, dan bentuk kuali kecil. Hasil karya anak-anak boleh dibawa pulang dan disimpan di sekolah sebagai bukti bahwa mereka telah benar-benar membuat karya gerabah.
Nantinya karya tersebut akan dipamerkan saat gelar karya di akhir tahun ajaran 2023-2024 bersamaan dengan penerimaan rapor kenaikan kelas. (*)