Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan
blokTuban.com – Kedungjambe merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban. Desa Kedungjambe dahulu terbagi menjadi 5 dusun namun sekarang hanya tersisa 4 dusun saja antara lain yakni Dusun Krajan, Dusun Jambean, Dusun Galoh dan Dusun Nganget.
Desa Kedungjambe memiliki penduduk sekitar 2.977 Jiwa yang terdiri dari 1.097 Laki – laki dan 1.880 Perempuan dengan jumlah KK 1.180 yang mana masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani.
Desa Kedungjambe berbatasan langsung dengan Desa Mulyorejo di sebelah Utara, Desa Saringembat di sebelah Selatan, Desa Tunggulrejo di sebelah Barat dan Desa Ngawun Kecamatan Parengan di sebelah Timur, Desa Kedungjambe sekarang dipimpin oleh Anshori selaku Kepala Desa.
Mengenai sejarahnya tersendiri yang disampaikan oleh Chamim (59) selaku Kaur Tata Usaha dan Umum yang diambil dari RPJM desa menjelaskan bahwa Dongeng atau cerita mengenai sejarah Desa Kedungjambe yang paling populer adalah pada zaman Belanda. Asal mula Kedungjambe adalah tergabungnya 2 desa yakni Desa Kedungpelem dan Desa Jambean dikarenakan sering terjadinya sebuah pertikaian dan mengingat jumlah penduduk di masing – masing desa tersebut terbilang sedikit. Maka waktu dalam kepemimpinan Kepala Desa Rustamaji (Jrabang) terjadilah penggabungan antara kedua desa tersebut menjadi satu Desa yang mana kemudian diberi nama Desa Kedungjambe.
“Untuk meringkas antarane jabatan diringkas berdirinya kan kebanyakan to makanya hanya di wilayah timur juga alas tok di Jambean dan ini Kedungpelem ini sendiri, terus untuk meringankan beban kan dijadikan satu menjadi Kedungjambe yang terdiri dari Jambean dan Kedungpelem, karna banyak di sini dulu banyak pohon jambe (Pohon Pinang) akhire dinamakan Kedungjambe. Banyak di sungai – sungai pun banyak jambe,” tutur pria berusia 59 tahun tersebut. Minggu (5/11/2023)
Dibahas mengenai tradisinya sendiri masyarakat Desa Kedungjambe masih terdapat sebuah tradisi sedekah bumi yang dilakukan di makam – makam maupun di punden – punden yang mana salah satunya yang masih aktif yakni berada di Dusun Galoh, yakni dengan adanya sebuah makam yang konon menjadi sesepuh dan tokoh penting desa yang bernama Nyai Kandangan yang biasanya dilaksanakan pada sekitar Bulan Suro.
Selain itu di Desa Kedungjambe juga terdapat sebuah tempat pertapaan yang terdapat di sebuah Gunung yang bernama Gunung Ali. Tempat tersebut dibuat bertapa dan menyepi oleh yang konon seorang ksatria penunggang kuda putih anak buah dari Pangeran Diponegoro yang bernama Ali Basyah yang mana lebih dikenal dengan pertapaan Mbah Ngali.
Masih berkaitan dengan Mbah Ngali sendiri, di Desa Kedungjambe pun memiliki sebuah mitos atau kepercayaan yang mana penduduk desa tidak diperbolehkan untuk memiliki kuda yang mana konon kalau nekat untuk memelihara kuda maka kudanya tidak berselang lama pasti akan mati.
“Sejarahnya memang ada hubungannya dengan Mbah Ngali jadi setiap ada kuda itu paling kuat satu malam apalagi kalau Laki – laki kudanya pasti lebih cepet matinya. Kata orang – orang ya kudanya Mbah Ngali itu gelut (Bertengkar). Dulu pernah pas kecil ya kalau mau ke Nganget kalau pakai dokar (delman) pasti kembali ga berani kudanya, saya tau sendiri itu nyata orang Mergosari kan rombongan mau mandi di sungai Nganget itu pakai dokar itu kudanya mencal – mencal terus kembali, itu yang gelut ya kuda antar kuda, kudanya Mbah Ngali katanya orang tua dulu begitu terus gara – gara itu sampai sekarang enggak ada (yang memelihara kuda),” Ujar Chamim.
Desa Kedungjambe juga terkenal dengan Ikon Pemandian air hangat Nganget yang memang banyak dikunjungi oleh warga luar daerah seperti dari Bojonegoro hingga Pati banyak yang berkunjung disini dikarenakan dipercaya bisa menyembuhkan penyakit kulit seperti gatal – gatal, pegal linu dan sebagainya.
Adapun Chamim pun menuturkan tentang asal mula adanya sebuah sumber air panas tersebut beliau menjelaskan bahwa air tersebut tercipta dari tancapan tongkat Sunan Bonang.
“Menurut cerita kan sejarahnya kan perangnya Sunan Bonang sama Brajak Ngilo itu kan dulu kan Brajak Ngilo kan orang dari pasukan Buddha, kemudian dikejar itu ambles itu cerita orang – orang tua lho, ambles terus tongkatnya ditarik akhirnya keluar sumbernya itu, ceritanya orang – orang dulu itu keluare air panas itu,” Ujarnya. [Naw/Ali]