Penulis: M. Zainudin
blokBojonegoro.com - Di ruang-ruang kuliah, ada pemandangan yang hampir selalu sama ketika dosen menuliskan simbol-simbol matematika di papan tulis: sebagian mahasiswa menatap penuh konsentrasi, sebagian lagi mulai gelisah, bahkan tak jarang ada yang langsung kehilangan semangat. Rasa takut terhadap matematika seolah menjadi fenomena klasik yang terus berulang, dari bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa hal ini begitu sulit hilang?
Sebagian besar rasa takut itu berakar dari pengalaman masa lalu. Matematika sering diajarkan dengan cara yang kaku, penuh hafalan rumus, tanpa dikaitkan dengan kehidupan nyata. Alih-alih melihat keindahan logika di balik angka, banyak mahasiswa hanya mengingat perasaan tertekan saat ujian, coretan merah di kertas jawaban, atau teguran ketika salah mengerjakan soal sederhana. Trauma kecil ini lama-lama menjadi bayangan besar yang membuat matematika dipandang sebagai momok.
Di sisi lain, matematika memang menuntut kesabaran. Ia tidak bisa dikuasai dalam sekali baca, melainkan harus disentuh berulang kali dengan latihan dan pemahaman mendalam. Sayangnya, budaya instan yang semakin mengakar di kalangan mahasiswa membuat proses belajar yang membutuhkan ketekunan ini sering dianggap membebani. Saat jawaban tak kunjung ditemukan, frustrasi pun muncul dan ketakutan semakin menguat.
Padahal, matematika sejatinya adalah bahasa logika yang membentuk cara berpikir kritis. Ia mengajarkan bagaimana menyusun argumen secara runtut, menganalisis masalah, hingga menemukan solusi dengan dasar yang kuat. Jika dilihat lebih dekat, matematika bukan sekadar angka yang membingungkan, melainkan cermin bagaimana dunia bekerja secara teratur. Persamaan diferensial yang rumit, misalnya, pada dasarnya hanya berusaha menjelaskan fenomena sehari-hari: pergerakan populasi, laju pertumbuhan tanaman, atau dinamika sebuah sistem.
Rasa takut terhadap matematika tidak sepenuhnya salah mahasiswa. Sistem pendidikan yang masih menekankan hasil ketimbang proses turut memperkuat ketakutan itu. Banyak yang lebih sibuk mengejar nilai akhir ketimbang menikmati proses memahami. Dalam suasana seperti ini, matematika semakin terasa sebagai beban, bukan sebagai sahabat yang membuka jendela pengetahuan.
Namun, selalu ada jalan untuk mengurangi rasa takut itu. Kuncinya adalah mengubah cara pandang. Ketika mahasiswa mulai melihat bahwa matematika hadir di setiap aspek kehidupan dari teknologi yang mereka gunakan, algoritma media sosial yang mereka nikmati, hingga pola keuangan yang mereka kelola maka matematika tak lagi terasa asing. Ia justru menjadi teman yang membantu memahami dunia dengan lebih dalam.
Pada akhirnya, matematika bukanlah monster yang menakutkan, melainkan sebuah seni berpikir yang menunggu untuk diapresiasi. Jika saja mahasiswa diajak untuk merasakan keindahannya, bukan sekadar menaklukkan rumus, mungkin rasa takut itu akan berganti menjadi rasa ingin tahu. Dan siapa tahu, suatu saat nanti, matematika bukan lagi menjadi mata kuliah yang ditakuti, melainkan ruang belajar yang dinanti.
*Dosen IKIP PGRI Bojonegoro.