Penundaan Pemilu : Dalam Perspektif Masyarakat

Oleh: Suhendra Mulia, M.Si.

blokTuban.com - Indonesia adalah negara yang berdaulat atas hak-hak dan kebebasan bangsanya. Sesuai yang dimuat dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.

Amanah proklamasi kemerdekaan tertuang di dalam pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Di dalam negara yang berdemokrasi semua rakyat bebas dapat memberikan pandangan atau pendapatnya. Tidak terkecuali juga dengan para tokoh masyarakat yang memberikan pendapatnya tentang penundaan pemilu. 

Seperti, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang melontarkan wacana untuk penundaan pemilu atau perpanjangan periode jabatan presiden (liputan6.com, Februari: 2022). 

Wacana tersebut disampaikan berdasarkan hasil analaisis big data perbincangan di media sosial, dimana dari 100 juta akun media sosial, sebanyak 60 persen atau 60 juta di antaranya mendukung pemilu 2024 ditunda. Sementara sisanya, 40 persen menolak. 

Wacana yang dilontarkan Muhaimin Iskandar di wacanakan juga oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (nasional.tempo.co, Februari: 2022). Zulkifli memastikan partainya akan setuju apabila jadwal Pemilihan Umum 2024 dipertimbangkan untuk diundur. 

Menurut Zulkifli, setidaknya ada empat alasan yang  mendasari Pemilu perlu ditunda. Pertama, situasi pandemi yang masih berlangsung dan memerlukan perhatian khusus. Kedua, kondisi perekonomian belum stabil sehingga pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat perlu melakukan pemulihan untuk kembali bangkit. 

Ketiga, adanya perkembangan situasi konflik global yang perlu diantisipasi, antara lain perang Rusia-Ukraina dan tidak menentu-nya harga minyak dunia. Keempat, anggaran pemilu yang justru membengkak dari rencana efisiensi, lebih baik dikonsentrasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

Usulan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden ini menuai polemik. Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil setiap lima tahun sekali, taat kepada ketentuan dan asas konstitusional. 

Pandangan Prof. Yuliandri Guru Besar Ilmu Perundang-undangan  Universitas Andalas (gramedia.com, 2022) mengungkapkan bahwa konstitusi dan konstitusionalisme merupakan dua bentuk kata yang memiliki hubungan keterkaitan dan bisa saling meneguhkan eksistensi.Konstitusionalisme sendiri adalah sebuah paham yang sangat perlu untuk dijaga melalui pembentukan konstitusi. 

Hal itu sama halnya bahwa konstitusi merupakan sarana agar paham konstitusionalisme dapat diimplementasi dalam sebuah negara.

Yuliandri, juga berpendapat bahwa konstitusi memuat ketentuan pokok tentang lembaga dan kekuasaan yang hendak menjalankan aspek formil atau biasa disebut kewenangan negara. Tidak hanya itu, konstitusi juga mengandung ketentuan pokok mengenai kekuasaan dan lembaga terkait adanya jaminan terhadap aspek materiil atau hak asasi manusia.

Konstitusi merupakan suatu acuan ketaatan dalam berdemokrasi di Indonesia. Sebuah negara yang menganut paham konstitusionalisme adalah sistem negara yang menjadikan konstitusi sebagai perwujudan hukum tertinggi. Indonesia merupakan negara yang menganut paham tersebut. 

Dalam sistem negara Indonesia, para pendiri negara membentuk UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. UUD 1945 adalah hasil dari sebuah kesepakatan oleh para pendiri negara Republik Indonesia yang berangkat dari berbagai macam latar belakang daerah dan beragam disiplin ilmu. UUD 1945 dapat dikatakan lahir melalui sebuah mekanisme yang demokratis dengan kompromi dari semua pihak.

Pandangan yang sama disampaikan oleh  Prof. Firman Noor Peneliti Pusat Riset Politik-BRIN (2022), bahwa dalam menyikapi usulan penudaan pemilu mengatakan bahwa ada beberapa indikasi mundurnya kehidupan politik bangsa saat ini yang ditandai dengan hadirnya ide penundaan pelaksanaan pemilu. 

Dalam perspektif hukum, ide itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran serius terhadap konstitusi, yang secara terang benderang menyatakan bahwa masa jabatan presiden selama 5 tahun. 

Firman Noor mengutip dan menyampaikan perkataan dari seorang Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie dengan gamblang menyebut ide itu sebagai sebentuk “pengkhianatan terhadap negara”.

Secara umum kita sepakat bahwa Amandemen Konstitusi memang mungkin untuk dilakukan. Namun amandemen secara fundamental sifatnya harus memperkuat substansi kenegaraan yang menjadi rasion d’etre eksistensi sebuah bangsa. Amandemen yang dilakukan bilamana merujuk pada makna yang positif pada dasarnya mengarah pada substansi penguatan nilai-nilai kebangsaan dan karakter pemerintahan yang diyakini bersama. 

Sebaliknya ide penundaan pemilu yang tengah diwacanakan adalah justru melawan hakekat dari Reformasi. Hampir seperempat abad lalu bangsa ini bersuka cita dengan tumbangnya Orde Baru karena esensi kekuasaannya yang berkepanjangan. 

Dan itulah esensi Reformasi, pembatasan bukan perpanjangan kekuasaan. Namun justru penundaan pemilu, yang berarti memperpanjang kekuasaan setidaknya hingga dua tahun, malah diutarakan kembali dan akan dilakukan didahului dengan amandemen konstitusi.

Tendensi kemunduran politik yang ditandai dengan hadirnya tokoh populis dan hilangnya rasa malu untuk menabrak rambu-rambu kepatutan dan etika politik terlihat telah menggejala di tanah air.  

Gejala kemunduran yang lain adalah cara pandang yang mendahulukan kepentingan tertib sosial dengan memberangus hak-hak politik demokratik. Perspektif politik semacam ini merupakan khas rezim-rezim otoriter, termasuk Orde Baru, yang dalam upaya membangun dan menyusul ketertinggalan atau memantapkan ekonominya lebih mendahulukan stabilitas politik.

Sedangkan pandangan dari masyarakat tentang penundaan pemilu banyak yang tidak setuju, seperti diutarakan oleh Meidy Mamonto (TV-one, Maret: 2022) bahwa Pemimpin yang terlalu lama berkuasa itu biasanya tidak baik karena akan berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya/sebagian menjadi tiran dan diktaktor, dan sudah pasti kekuasaan akan digunakan sewenang-wenangnya.

Serta hal tersebut akan mengakibatkan demokrasi menjadi mati atau hak rakyat pasti akan di kebiri. Dan juga pendapat masyarakat lainnya Bagas bahwa kita memerlukan tatanan pemerintahan yang baru agar lebih fres, karena pemerintahan saat ini masih belum memuaskan masyarakatnya. 

Harapan masyarakat terhadap wacana ini sekiranya dapat dipertimbangkan kembali untuk tidak dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan konstitusi bangsa ini, dan juga cita-cita reformasi yang berkeinginan bangsa ini menjadi negara yang berdemokrasi agar dapat terwujud. 

Dengan dukungan segenap seluruh rakyat Indonesia, kita dapat berkeyakinan menjadikan bangsa yang demokrasi, berkeadilan dan menuju kearah kesejahteraan.[*]