Reporter: Savira Wahda Sofyana
blokTuban.com - Dalam kegiatan yang diadakan oleh KP Ronggolawe yang dilakukan pada Selasa (14/12/2021), AKBP Yashinta yang berkesempatan menjadi pembicara, menyampaikan tentang upaya yang dilakukan oleh Polri terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Untuk menangani kasus itu, Yashinta mengatakan pihak penegak hukum tidak bisa bekerja sendiri, dan membutuhkan peran dari masyarakat atau stakeholder bertanggung jawab bersama.
"Masa pandemi kita tahu bersama bahwa banyak masyarakat yang terdampak karena Pandemi secara finansial atau ekonomi. Tetapi masih ada juga kekerasan seksual yang masih muncul di antara masyarakat yang sudah terdampak hal itu sangat miris," ungkapnya.
Ia melanjutkan untuk bisa meminimalisir akan hal tersebut maka setiap orang perlu memiliki iman yang benar-benar baik kepada Tuhan, sehingga rasa takut akan muncul ketika hendak melakukan sesuatu yang menyimpang hukum, karena setiap tindak pidana terjadi ketika ada niat dan juga kesempatan.
"Kasus kekerasan seksual terus meningkat dengan modus pelaku yang semakin kompleks. Bukan hanya pelaku yang tidak dikenal oleh korban saja, akan tetapi pelaku yang dikenal saat ini juga terus saja meningkat. Baik itu orang tua, guru, dan sebagainya," tuturnya.
Ia menilai, kasus kekerasan yang terjadi disebabkan karena belum diaturnya undang-undang, termasuk hukuman bagi pelaku sehingga belum menimbulkan efek jera. Akibatnya banyak perempuan yang berumur 18 tahun ke atas yang melaporkan kepada polisi bahwa dia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnya sendiri.
"Sehingga banyak kaum perempuan yang di atas 18 tahun yang melakukan pelaporan ke kantor polisi bahwa diperkosa dan lain-lain. Ketika dilakukan penyelidikan ternyata dia adalah korban dari pacarnya. Hal tersebut tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum, karena belum adanya payung hukum yang jelas," bebernya.
Perempuan berambut pendek tersebut menuturkan bahwa ketika pihaknya mendapat laporan, maka penegak hukum terlebih dahulu melihat tempat kejadian perkara dilakukan di mana. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap UU yang akan diterapkan ketika masyarakat saat membuat laporan.
"Kita bagi menjadi dua yaitu ketika tindak pidana terjadi dalam lingkup rumah tangga maka undang-undang nya sudah jelas yaitu UU no 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT," katanya.
Ia menambahkan jika kejadiannya terjadi di luar lingkup rumah tangga maka undang-undang yang mengatur di luar rumah tangga, seperti KUHP, UU perlindungan anak dan lain sebagainya. Kekerasan sendiri merupakan segala bentuk perbuatan terhadap anak yang menimbulkan penderitaan secara fisik, mental seksual, psikologis termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat.
Untuk menangani segala bentuk kekerasan tersebut upaya yang dilakukan oleh Polri yaitu mengacu pada kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan seperti undang-undang maupun Perkap. Sekaligus menggerakkan sumber daya manusia seperti melakukan pelatihan tentang psikologi dan gender ataupun semacamnya.
Selain itu juga menyediakan sarana prasarana seperti meningkatkan pembangunan ruang pelayanan khusus, baik di Polda maupun di polres. Kemudian melakukan koordinasi intensif dengan instansi baik pemerintah pusat ataupun pengada layanan lainnya yang memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Yashinta juga mengatakan beberapa tantangan yang harus dihadapi selama menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak yaitu kasus yang semakin kompleks dan meningkat akibat pengaruh globalisasi dan internet.
"Selain itu juga perbedaan persepsi antara APH dan UU, pembuktian ilmiah yang relatif mahal, kondisi korban trauma/disabilitas sehingga sulit untuk diminta keterangan, minimnya sarana prasarana pengamanan terhadap saksi dan korban, kemudian berkembangnya transnasional crime dan juga belum semua penyidik PPA sensitif gender," katanya.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan yaitu dengan meningkatkan potensi spesialisasi penyidik PPA, melalui dikbangspes, pelatihan dan sosialisasi termasuk pelatihan melalui sensifitas gender dalam penegakkan hukum. [sav/lis]