Reporter: Dina Zahrotul Aisyi
blokTuban.com - Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh dan bisa mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) apabila infeksi HIV sudah berada di tingkat yang parah.
Penularan HIV dapat terjadi melalui jarum suntik, hubungan seksual tanpa pengaman, kehamilan, dan menyusui, karena virus tersebut ditemukan dalam cairan tubuh penderita, seperti darah, cairan sperma, cairan vagina dan ASI.
Penderita HIV merupakan kelompok yang rentan, terlebih jika itu perempuan. Ayu Oktarini, pendamping kasus HIV Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengungkapkan, perempuan yang hidup dengan HIV adalah korban dari tidak adanya informasi kesehatan seksual reproduksi sebagai pencegahan HIV sejak dini.
“Kemudian perempuan menjadi korban untuk yang kedua kalinya karena status HIVnya menjadikan mereka rentan pada stigma dan kerap kali mendapatkan diskriminasi, baik dari pasangan, keluarga, bahkan layanan kesehatan,” paparnya.
Angka penderita HIV perempuan berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di tahun 2019 sebesar 132.147 kasus yang diantaranya adalah ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya.
“Banyak orang yang melihat konteks HIV hanya dari segi moralitas, padahal banyak sekali teman-teman di lingkaran HIV ini sebenarnya korban, baik laki-laki atau perempuan,” tegasnya.
Menurut data penelitian yang dihimpun IPPI terdapat 64% kasus kekerasan kepada perempuan dengan HIV, termasuk di dalamnya kekerasan seksual, psikologis, dan yang paling ekstrem terkait dengan pemaksaan sterilisasi.
Pemaksaan sterilisasi masuk ke dalam jenis kekerasan seksual yang dapat dipidanakan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Pendamping IPPI tersebut menjelaskan terkait banyaknya prespektif tenaga kesehatan yang masih mengatakan bahwa sebaiknya perempuan dengan HIV tidak perlu memiliki anak lagi sehingga mengharuskan untuk disteril.
“Dari kasus yang pernah kami dampingi, memang ada beberapa upaya pemaksaan yang secara sistematis, seperti salah satunya jika tidak mau steril maka tidak akan dioperasi. Asumsi-asumsi nakes tentang perempuan HIV, dan haknya yang diambil,” jelasnya.
Ayu melanjutkan, saat ini pedoman PPIA yang ada di Kemenkes sudah ada aturan keras untuk larangan sterilisasi paksa, namun masih banyak pula nakes yang mendorong penawaran-penawaran sterilisasi pada perempuan HIV yang hendak melahirkan.
Untuk itu, Forum Pengada Layanan (FPL) dalam konferensi pembahasan urgensi RUU TPKS yang melindungi korban mengajak masyarakat tetap mengawal proses pembahasan RUU tersebut agar suara fraksi-fraksi di DPR RI mampu mewakili suara masyarakat khususnya pada korban kekerasan seksual dan pendamping korban.
Desakan FPL kepada DPR RI selain untuk segera mengesahkan RUU TPKS, mengakomodir 5 bentuk kekerasan seksual yang belum tercantum dalam RUU adalah untuk melakukan perbaikan substansi yang mengakomodir kerentanan korban kekerasan seperti perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan korban pelacuran paksa, perempuan korban di pedesaan atau kepulauan. [din/mu]