Reporter : Sri Wiyono
blokTuban.com - Undang-Undang nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah disahkan . dan peraturan presiden juga sudah disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagian menganggap UU tersebut merupakan angin segar bagi pondok pesantren (ponpes) yang merupakan lembaga pendidikan tertua di negeri ini.
Hanya keberadaan pesantren selama ini seolah dinafikan, kurang diperhatika oleh pemerintah, sehingga kurang mendapat dukungan pendanaan maupun fasilitas. Namun, ada angin segar untuk dunia pesantren setelah UU pesantren tersebut disahkan. Hanya, di masyarakat masih terjadi pro kontra.
Dana abadi pesantren, merupakan salah satu item penting yang diatur dalam UU tersebut. Sehingga ke depan pondok pesantren memungkinkan untuk menerima dana tersebut dari pemerintah. Bagaimana peluang dan tantangan pondok pesantren setelah UU tersebut diberlakukan?
Itulah yang dibahas dalam sarasehan UU Pesantren yang digelar oleh Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, Sabtu (6/11/2021). acara yang dihelat di auditorium gedung KH Hasyim Asy’ari kompleks IAINU Tuban itu menghadirkan narasumber KH.Dr. Abdul Ghofur Maimoen, pengasuh pondok pesantren Al Anwar 3, Sarang, Rembang Jawa Tengah.
Intelektul muda dan akademisi Islam muda ini dikenal dengan keilmuan dan wawasannya yang luas. Selain itu hadir juga Hj.Umi Kulsum M.PdI, Plt Kasi Pondok Pesantren Kantor Kementerian Agama Tuban serta H.Akhmad Zaini, S.Ag, M.Si, Rektor IAINU Tuban.
Dalam paparannya Gus Ghofur begitu putra ulama kharismatik almaghfurlah KH Maemun Zubaer tersebut menyebut terkait dengan pelaksanaan UU tersebut, yang harus dipersiapkan adalah pesantren kita ke depan akan seperti apa.
‘’UU pesantren lahir tak lepas dari kekuatan politik, saat ini nuansa NU di pemerintahan sangat kental termasuk di dunia pendidikan. Yalal Wathan dinyanyikan di mana-mana, UIN Jogjakarta dan perguruan tinggi lain menyanyikan Yalal Wathan,’’ ujarnya.
Hanya yang haru disiapkan adalah pesantrennya sendiri. Sebab, diberlakukannya UU tersebut banyak tantangan yang harus dihadapi. Selain tentu saja ada peluang yang bisa ditangkap. Hanya peluang-peluang itu juga tak lepas dari konsekuensi yang harus diterima.
‘’Pesantren juga ada kemungkinan diakreditasi, baik kurikulum, tenaga pengajarnya, fisik pesantrennya dan aspek-aspek lain. Ini akan menjadi merepotkan, karena ada pesantren yang secara administratib tidak rapi, bahkan tidak jelas. mereka tidak ingin diakui, dan tidak mau diakui, ini kan repot,’’ urai Gus Ghofur.
Hal lain yang kemungkinan masuk adalah soal sistem pendidikan nasional. Karena pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah diakui, maka sistem pendidikan nasional sangat mungkin diterapkan juga di pesantren.
Salah satunya dalam rangka penjaminan mutu. Nanti pemerintah akan membentuk Majelis masyayikh untuk penjaminan mutu pesantren. Pesantren juga harus membentuk dewan masyayikh di pesantrennya untuk menjamin mutu pesantren yang bersangkutan.
Juga terkait dengan pendanaan. Misanya, pesantren mendapat dana dari mana semua harus tercatat jelas. siapa yang menyumbang, jumlahnya berapa, tujuannya apa semua harus ditulis. Sedangkan, kebanyakan pesantren menerima sumbangan atau bantuan dana tidak pasti waktu dan jumlahnya. Bakal ada pemantauan dan evaluasi pendanaan pesantren.
‘’Karena nanti, santri juga kemungkinan juga akan menerima semacam BOS, semua ini harus tertata perlaporannya. Jadi, ini menjadi tantangan,’’ katanya.
Narasumber lain, Rektor IAINU Akhmad Zaini, M.Si membahas soal sejarah. Pada sebelum abad 17 adalah masa kegelapan untuk nonislam, namun cerah bagi islam, lalu abad 17 masa pencerahan nonislam dan islam menurun. Pada 1760-1850 masuk revolusi industri sehingga peran tenaga manusia banyak digantikan mesin, namun juga butuh banyak orang yang mengelola , dan butuh lembaga pendidikan yang membentuk SDM untuk siap kerja.
Termasuk pada 1901 adapolitik etis Belanda, yang kemudian Belanda mendirikan lembaga pendidikan modern di Indonesia. Lembaga pendidikan itu mencetak calon-calon pekerja, calon karyawan dan teknokrat.
‘’Karena itu, lulusan pendidikan modern yang berfikir kerja di mana, melakukan apa dan sebagainya, tak lepas karena sejarah memang lembaga pendidikan dibentuk karena untuk menyediakan tenaga kerja. Ini beda dengan pesantren,’’ urainya.
Karena itu, Zaini berharap pesantren tetap utuh dan kokoh untuk mencetak para calon ulama yang mengawal moral dan pendidikan keagamaan secara utuh.
‘’Bagaimanapun adanya UU pesantren ini harus disyukuri. Karena sampai kebanyakan lulusan pesantren masih dianggap belum terdidik, karena tak pendidikan formal, padahal mereka juga cakap. Harapan saya tetap ada pesantren yang mendidik calon ulama, jangan semua tercebur pada pendidikan umum,’’ harapnya.
Sedang Umi Kulsum menjelaskan sesuai UU nomor 18 tahun 2019, di Tuban semula 180 pondok pesantren yang layak dan memenuhi unsur aturan. Setelah diverifikasi lagi tinggal 151 lembaga, kemudian menyempit menjadi 135 lembaga hingga hanya tinggal 125 lembaga.
‘’Dari 125 ini tinggal 121 pesantren yang memenuhi syarat. Rerata penyebabnya karena tidak mendaftarkan ke data pesantren,’’ ungkapnya.
Lembaga tersebut, ada berbentuk pesantren salafiyah, ada yang modern, ada yang kombinasi.
‘’Jadi pesantren nanti harus memahami dan melaksanakan sesuai dengan UU yang ada tersebut,’’ tandasnya.
Sedang KH.Kasduri mewakili PCNU Tuban mengatakan, Kabupaten Tuban menyambut baik, UU tersebut.
‘’Tuban sedang menyiapkan perda pesantren. Bagaimana seharusnya UU pesantren ini bisa meningkatkan kualitas pesanren, tidak justru membuat pesantren menjadi tidak produktif, kajian dan belajar kitab kuning terganggu atau dan sebagainya,’’ katanya.[ono]