Reporter: Dina Zahrotul Aisyi
blokTuban.com- Limbah biasanya dinilai tidak berharga bagi kebanyakan orang karena merupakan sisa-sisa hasil produksi ataupun dari kegiatan manusia yang sudah dianggap tidak berguna. Namun ternyata, limbah jika diolah dengan kreatifitas tertentu bisa menjadi sebuah inspirasi ide yang memunculkan peluang bisnis.
Seperti halnya Rifat Almajid yang memanfaatkan limbah kayu untuk dijadikan sebagai bahan kerajinan aksesoris. Produk usaha yang dijual pemuda Tuban ini meliputi berbagai macam aksesoris seperti gelang, kalung, anting, dan gantungan kunci.
Ia memulai bisnis kerajinan aksesoris tersebut sekitar satu setengah tahun yang lalu ketika Pandemi Covid-19 masih berlangsung. Pemuda 23 tahun tersebut mengatakan bahwa awal menemukan ide membuat kerajinan tersebut dari internet, kemudian mulai penasaran dan mencobanya secara otodidak.
Pada waktu tersebut di kampusnya terdapat sebuah event entrepreneurship dan mencoba mengikutkan produknya yang ternyata berhasil lolos.
“Karena lolos akhirnya saya lanjutkan saja, terlebih waktu itu dapat bantuan modal usaha sehingga lebih diseriusin,” ujarnya saat ditemui blokTuban.com di tempat produksinya pada Kamis (4/11/21).
Pada awal memulai usahanya ia hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti kikir, dan gergaji. Saat ini, ia sudah memiliki berbagai macam alat yang lebih modern sehingga bisa mempercepat proses produksi dan mampu membuat bermacam-macam model yang lebih rumit. Rifat mengaku dalam sehari biasanya mampu mengerjakan 3-5 aksesoris.
Bahan baku yang dibuat untuk aksesorisnya selain limbah kayu adalah resin. Rifat mengatakan limbah yang digunakan bebas, bekas kayu apapun bisa digunakan, mulai dari bekas kayu bakar, bekas kayu bangunan, bahkan kayu dari gagang sapu bekas.
Dalam proses pembuatan aksesoris hal pertama yang dilakukan adalah membentuk pola sesuai dengan permintaan dari pelanggan, kemudian dipotong-potong, dan dihaluskan dengan amplas.
Menurutnya proses penghalusan adalah yang memakan waktu paling lama karena harus melalui pengamplasan beberapa kali agar hasilnya bisa terlihat jernih.
Rifat juga mengaku butuh waktu satu tahun untuk belajar sebelum berani menjual produk-produknya.
“Dulu belum tahu takaran perbandingan antara resin dan katalis, jadi sering kebakar, nggak bisa nyatu, dan nggak jadi,” terangnya.
Meskipun aksesoris tersebut berbahan baku dari sisa-sisa hasil produksi, produk yang dihasilkan memiliki keunikan tersendiri sehingga menarik banyak peminat.
“Kita sebenarnya nggak hanya menjual aksesorisnya, tapi dari sisi keunikannya karena setiap aksesoris yang dibuat meskipun warnanya berbahan dasar sama hasilnya pasti akan berbeda. Istilahnya limited stock,” jelasnya.
Produk-produk aksesoris yang dijualnya dipasarkan secara online melalui platform instagram @lilikari.id. Ia mengaku belum memasarkan di platform lain karena selama ini model-model aksesoris yang dijualnya menggunakan sistem pre-order, sehingga tidak dijual secara masal.
“Orang-orang biasanya kustom soalnya, mau model yang seperti apa, warnanya bagaimana, mau ukuran yang seberapa,” jelasnya.
Karena awal membuka usaha saat pandemi, ia pun tidak terlalu berharap banyak karena barang yang dijualnya bukanlah bahan-bahan pokok sehingga menurutnya kebanyakan orang tidak terlalu memikirkan aksesoris.
“Awalnya nekat-nekatan, coba aja jualan. Alhamdulillah tetap ada yang beli,” ujarnya.
Ditambahkan bahwa penjualan baru kembali meningkat saat pandemi sudah berangsur-angsur membaik, yakni kisaran satu sampai dua bulan terakhir.
“Kisaran 15-20 pesanan dalam sebulan, tapi itu baru-baru ini setelah PPKM turun,” ujarnya.
Sasaran market produk yang dibuat Rifat sebenarnya adalah untuk anak-anak muda, kisaran umur 17-24 tahun. Namun, Ia mengaku tidak menutup kemungkinan untuk semua kalangan bisa tertarik dengan produknya. Harga aksesoris yang dijualnya berbeda-beda tergantung tingkat kerumitan yang dipesan, namun rata-rata berkisar dari harga Rp 50.000. [dina/ono]