*Wawancara Imajiner dengan Didi Kempot

Oleh: Sri Wiyono

blokTuban.com – Aku tertegun pagi itu. Berita meninggalnya Didi Prasetyo alias Didi Kempot begitu mengagetkan. The Godfather of Brokenheart begitu julukannya. Lord Didi begitu Sobat Ambyar memanggil penyanyi nyentrik ini.

 

Aku masih belum percaya. Ah, aku agak menyesal datang ke kantor agak telat tadi, karena harus mampir dulu ke toko bangunan membeli obat antimacet untuk saluran air. Karena sejak semalam saluran air kamar mandi kurang lancar.

 

Biasanya, saya nyampe kantor jam 08.00 WIB, bahkan, sering sebelum jam 08.00 sudah duduk di depan komputer kantor. Hari ini saya nyampe sekitar pukul 08.30 WIB. Buka laptop dan mulai memeriksa email, buka-buka file dan menyapa website.

 

Juga browsing sana-sini seperti kebiasaan saya. Di sinilah saya menemukan kabar itu. Melalui unggahan salah satu kawan di facebook. Juga unggahan di beberapa grup WA. Tak begitu saja saya percaya. Saya lalu browsing ke situs media-media mainstream.

 

Oh ya, begitulah pembaca, jika menerima kabar atau membaca berita apa saja, untuk memastikan carilah kabar itu di dalam media-media maisntream atau media yang terpercaya, agar kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Minimal tidak hoaks.

 

Dan ternyata benar. Merinding rasanya. Lalu fatihah untuk Lord Didi saya lantunkan. Semoga Sampean tenang di alam sana Mas Didi, tangis batin saya. Saya kenal lagu-lagu campursari Lord Didi sejak kecil. Lagu ; Cukur Kuncung, Stasiun Balapan, Nunut Ngiyup dan lagu-lagu lama miliknya akrab di telinga saya. Juga masih teringat lucunya video klip dari lagu-lagu tersebut dulu. Ya, dulu sekali.

 

Mas Didi meninggal di RS Kasih Ibu Solo, pukul 08.45 WIB. Setidaknya begitu berita yang dikutip kawan-kawan media yang terkonfirmasi dari humas RS tersebut. Penyebabnya, henti jantung atau ‘code blue’ begitu berikutnya penyebabnya meninggalnya Lord Didi yang tersebar di grup-grup media sosial.

 

Ahli paru dr Frans Abednego Barus, SpP, dari OMNI Hospital Pulomas menjelaskan bahwa code blue atau kode biru biasanya digunakan untuk mendeskripsikan kegawatdaruratan karena henti napas dan jantung mendadak.

 

"Code blue artinya peristiwa terjadinya henti napas dan jantung yang berarti ada kejadian gawat darurat. Code blue bisa pada pasien baru masuk, bisa pada pasien yang dirawat," kata dr Frans seperti dikutip banyak media.

 

"Penyebab nya sering henti jantung atau serangan jantung yang menyebabkan henti napas," lanjutnya.

 

Tiba-tiba saja Mas Didi datang.

 

’Lagi lah opo Bro..., esuk-esuk wis ngadep laptop. Garing Bro..raono kopine. Hahahahaha...,’’

 

Seperti biasa, sapaan dan tawa renyahnya selalu menghiasi dalam perjumpaan. Dan memang begitu Mas Didi selalu menyapa. Ramah dan renyah pada siapa saja. Dan tak lupa tawa khasnya itu. Sapaan dan tawa khas itu pula yang menemani dalam setiap konsernya. Dua kekhasan itu mengikat audiens dengan penyanyi pujaannya yang sedang mengurai nada.

 

Kali ini, beskap lurik coklat dan blangkon batik dia pakai. Bercelana kain hitam dengan sandal selop.

 

’Poso Mas, mosok yah mene ngopi. Dari mana Mas, pagi-pagi sudah nyampe sini,’’ balasku karena kaget.

 

’Mlaku-mlaku aku. Merdeka saiki iso nyang endi-endi. Dari Sabang sampai Merauke. Hahahahaha...,’’ jawabnya.

 

Dia lalu menyeret kursi plastik di sampingku. Lalu duduk. Masih dengan gaya khasnya. Cuek dan ceplas ceplos.

 

’Suwe aku ora dolan nang Tuban. Kangen,’’ katanya.

 

Oh iya, di Tuban Mas Didi pernah mencipta beberapa lagu tentang Tuban. Di antaranya bercerita tentang Pertigaan Seleko.

 

‘’Kuangen tenan aku aku karo Bumi Wali. Wis suwe ora konser nang kene. Terakhir konser pas resepsi hari jadi Tuban nang pendopo. 3-4 tahun kepungkur,’’.

 

Mas Didi terus bercerita. Sesekali merapikan rambut panjangnya yang menutupi wajah. Rambut panjang dibiarkan tergerai. Karena itu, ketika tertiup angin dari kipas angin kecil di atas meja kerja saya rambutnya berkibar-kibar.

 

’Bukannya Sampean akan konser di Tuban Mas,’’ tanya saya.

 

’Itu dia Bro.., konsernya dijadwalkan ulang. Mestinya tanggal 12 April kemarin,’’ ucapnya.

 

‘’Saya sudah membayangkan akan ambyar bareng dengan para Sobat Ambyar Tuban Mas,’’ kata saya.

 

‘”Saya akan berjuang untuk bisa di dekat panggung. ID card wartawan saya bisa banyak membantu harapan saya ini Mas. Bahkan, istri saya sudah jauh-jauh hari pesen untuk minta foto bareng Sampean. Aku sakjane curiga, ape foto karo Sampean ojo pengin foto karo Dori Harsa,’’ cerocosnya.

 

‘’Hahahahahahaha.....’’ tawanya kembali meledak. Sehingga ruangan kerja saya yang tak begitu lebar itu semakin ambyar.

 

‘’Iya, panitia memang sudah komunikasi dengan manajemen. Sakjane perjuangan tenan lo, ape konser nang Tuban kuwi. Panitia perjuangane juga luar biasa. Tanggal 12 April kuwi sakjane yo ora iso nang Tuban. Ning akhire iso. E lhadalah goro-goro korona rencanane ambyar,’’ ucapnya. Kali kini tanpa tawa berderai. Terasa kalau Mas Didi juga menyesalkan kondisi yang ada.

 

Cobaan pandemi Covid-19 memang begitui terasa. Semua lini tersentuh dan merasakan dampak. Dunia hiburan seperti yang ditekuni Mas Didi begitu terpukul. Bayangkan berapa ribu orang yang terlibat dalam dunia tersebut, dan semua harus tiarap.

 

Karena itu, Mas Didi begitu tergugah hatinya. Tak bisa konser di mana-mana secara langsung dia membuat konser amal dari rumah beberapa waktu lalu. Hasilnya disumbangkan untuk penanganan Covid-19. Dana Rp 5,3  miliar berhasil dikumpulkan.

 

Tak bisa konser, tak bisa menyapa ribuan bahkan jutaan Sobat Ambyar adalah kesedihan yang luar biasa bagi Mas Didi. Belum lagi memikirkan kelangsungan hidup krunya. Tukang sound, tukang shooting, tukang kendang, pemusik dan lain-lainnya. Hatinya semakin ambyar ketika melihat lebih luas, betapa banyak warga negeri ini yang terdampak.

 

‘’Sakjane konser nang Tuban iki tetap ape digelar lo Bro,’’ katanya memberi informasi.

 

‘’Iyo po Mas,’’ tanyaku tak percaya.

 

‘’Pas Korona merebak, kabeh-kabeh lak ora oleh to Bro. Opo maneh konserku sing mesti digeruduk Sobat Ambyar atusan ewu, yo mesti ora oleh. Panitia ysing ape ngundang aku nang Tuban yo wis ngomong karo manajemen. Konsere ora batal, tetep ape digelar. Nanging waktune diubah,’’ jelasnya.

‘’Kapan kuwi Mas,’’ kejarku penuh semangat.

 

‘’Sekitar bulan Juni Bro sakjane,’’ ujarnya.

 

‘’Kok sakjane” tanyaku heran.

 

‘’Lha iyo to. Aku saiki lak wis merdeka. Wis katimbalan Gusti. Pirang-pirang konser yo batal,’’ jelasnya.

 

‘’Kok iso ngunu Mas,’’ aku masih belum ngeh.

 

‘’Lha yo iso. Makane aku keliling ndolani Sobat Ambyar nang endi-endi. Karo pamit ning panitia-panitia sing wis ngundang aku. Lha kepiye maneh wong Gusti wis nimbali e, hahahahahaha... ‘’ tawanya kembali tergelak.

 

‘’Kanggo Sobat Ambyar kabeh, sepurane sing akeh awakku ora iso teko. Kanggo panitia-panitia kabeh, sing wis ngundang sepurane ora iso keturutan. Kanggo Indonesia maturnuwun wis diparingi waktu kanggo berkarya. Untuk para pemimpin maturnuwun sanget wis mimpin negoro iki kanti apik,’’ urainya.

 

‘’Terus Sampean ape pie  bar ngene? Tanyaku

 

‘’Yo tetep ngene to Bro, manut aturane Gusti. Wis Bro rasah sedih nemen-nemen. Tetap semangat dan terus berkarya. Tak ewangi dongo ben Korona cepet keterak barat, melebat nang jabalkat. Wis sepurane kabeh kanggo Sobat Ambyar Bumi Wali. Wis yo aku pamit hahahahaha....,’’ katanya sambil berdiri dari duduknya, keluar ruangan lalu sekelebat hilang.

 

Aku masih tertegun. Berita dari sebuah situs berita masih ada di layar monitor laptopku. Ah, selamat jalan Mas Didi. Tenanglah Sampean di sana. Sobat Ambyar sudah biasa menahan perih. Bukankah ‘’Njoboku Tegar Njeroku Ambyar, ning Aku Isih Tetep Etok-Etok Rapopo’’ itu sudah menjadi kata-kata sakti Sobat Ambyar.

 

‘’Senajan nangis, senajan sedih tetep dijogeti’ begitu Sampean selalu mengingatkan kami semua agar tansah memandang setiap peristiwa dengan lapang dada dan tidak berputus asa.

 

Terimakasih Mas Didi untuk dedikasinya pada negeri ini. Ah, air mata yang sejak tadi mengambang ini akhirnya luruh juga. Wallahu a’lam.[*]