Reporter: Sri Wiyono
blokTuban.com – Yatun,55, memegang erat kantung plasti merah menyala di atas bangku panjang itu. Kantung itu berisi nasi dalam bak plastic kecil. Ada juga garam dan beberapa makanan kecil.
Tangan warga Desa Sugiharjo, Kecamatan Tuban itu seolah tak mau lepas dari tas itu, meski dia harus merasakan sabetan lidi bambu dari Satpam yang menjaga.
Saat lidi bambu itu menampar kulitnya, pegangannya sempat terlepas sejenak lantaran kaget. Tangan kirinya mengusap bekas sabetan itu. Lalu, tangan kanannnya memegang erat plastic merah.
Bukan hanya satu kantung plastik. Ada lima kantung plastik dengan isi yang sama dia gandeng jadi satu. Sehingga, saat dia angkat, langsung lima kantung plastik terbawa. Itu harapannya.
Yatun tak sendirian. Hal yang sama dilakukan ratusan warga lainnya yang Kamis siang (22/8/2019) memadati halaman depan Klenteng Kwan Sing Bio Tuban.
Mereka tetap setia menunggu saat rebutan di mulai. Mereka berdiri mengelilingi meja kayu kotak itu lebih dari satu jam lamanya.
Ada seribu lebih kantung plastik dengan isi yang sama ditata rapi di atas meja kayu, tepat di halaman depan klenteng.
Meja dibagi dua, di sisi sebelah kanan dan kiri. Setiap kantung plastic dihias dengan dengan bendera berbentuk segitiga warna merah dan kuning.
Bendera dari kertas itu tulisi doa dalam aksara Cina atau Han Zi. Tulisan itu merupakan doa umat Tri Dharma yang punya hajat siang itu.
Selain Han Zi, dalam bendera keras itu juga tertulis huruf latin yang menyebut nama dan alamat seseorang. Tulisan latin itu menunjukkan kantung plastik berisi penganan itu disumbang oleh siapa.
‘’Karena semua yang kita bagikan ini adalah sumbangan dari umat. Dan nama penyumbang ditulis dalam bendera itu, sebagai tanda dan perwujudan doa,’’ ujar Handjono Tanzah, salah satu tokoh dan umat di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban.
Hong, begitu pria berambut perak ini biasa dipanggil bercerita, bahwa yang dilakukan itu adalah Sembahyang Rebutan. Tradisi itu sudah dilakukan sejak sekitar seribu tahun lalu.
Sembahyang itu merupakan persembahan bagi para arwah yang terlupakan. Yakni arwah umat Tri Dharma yang sudah dilupakan oleh ahli warinya.
‘’Jadi, arwah-arwah yang sudah dilupakan ahli warisnya itu kita beri persembahan ini. Agar mereka juga masih menerima kiriman dan merasa diperhatikan,’’ tambahnya.
Tradisi ini, mirip tradisi ‘kirim doa’ bagi masyarakat Jawa. Atau tahlilan dalam tradisi Islam. Yakni sama-sama mengirim doa untuk para arwah, atau yang sudah meninggal dunia.
Sebab, menurut Hadjono, para arwah tetap berharap ada yang mengiriminya doa dan tetap berharap diperhatikan.
Sama dengan tradisi warga Nahdlatul Ulama (NU) yang mengirimkan doa untuk para ahli kubur atau mereka yang sudah meninggal. Sebab, doa itu akan sampai dan diterima para arwah.
Para arwah, ahli kubur atau apapun sebutannya akan senang menerima doa-doa itu. Menerima doa ibarat narapidana yang di penjara menerima kiriman makanan.
Jika tidak pernah dikirimi doa, juga tak pernah menerima kiriman makanan, sehingga hanya sedih ketika melihat narapidana lain menerima kiriman makanan dan dimakan dengan suka cita.
‘’Ya, seperti itulah kira-kira keyakinan kami tentang Sembahyang Rebutan ini,’’ ungkapnya.
Sembahyang ini, kata dia, dilaksanakan setiap tahun di setiap bulan 7 penanggapan Imlek. Tradiri di Klenteng Kwan Sing Bio dilakukan setiap tanggal 22 bulan 2 tahun Imlek.
‘’Karena di klenteng lain dilakukan di tanggal yang berbeda. Hanya, bulannya pasti bulan 7,’’ jlentrehnya.
Soal teknis sembahyang atau pembagian ‘buceng’ begitu umat Tri Dharma menyebutnya bisa dilakukan sesuai kondisi dan cara masing-masing klenteng.
‘’Intinya kami membagikan buceng itu, entah bagaimana caranya. Kalau di sini ya seperti sebutan kayak ini,’’ tutur dia.
Soal jumlah buceng yang dibagikan dua berbeda-beda. Hong menyebut jumlahnya sesuai dengan jumlah sumbangan umat.
Sehingga, tiap tahun bisa berbeda jumlah bucengnya. Hong menyebut satu buceng sekitar Rp 30 ribu sumbangannya.
‘’Jadi terserah penyumbang mau menyumbang berapa buceng, dan itu yang kita bagikan,’’ katanya.
Sembahyang Rebutan dilakukan pada siang hari, setidaknya jam 11 siang. Sembahyang diawali dengan Ketua Umum Klenteng bersama pengurus dan petugas doa di klenteng sembahyang.
Mereka memakai pakaian khusus saat melaksanakan sembahyang ini. Dalam ritual sekitar 30 menit itu, doa pertama ditujukan pada Thien atau Tuhan.
Doa untuk Thien ini dilakukan dengan menghadap ke utara (laut). Doa untuk Thien ini dipandu oleh petugas doa dalam bahasa Thionghoa. Sekitar 20 menit doa untuk Tuhan ini dilakukan.
Lalu dilanjutkan sembahyang untuk Kong Co atau dewa atau sesepuh yang disembah di klenteng itu.
Di Tuban, dewa yang disembah adalah Kwan Sing Tee Koen atau Dewa Keadilan. Sembahyang untuk Kong Co dilakukan sekitar 10 menit.
Setelah sembahyang selesai, sebuah tambur (bedug) dibunyikan. Suara tambut pertanda sembahyang sudah selesai dan rebutan dimulai.
Maka ketika suara tambur berkumandang, ratusan warga yang sudah menunggu sambil mengelilingi meja berisi ribuan kantung plastik lebih satu jam sebelumnya, langsung merangsek.
Tangan-tangan mereka berebut meraih kantung plastic. Namanya rebutan, jika cekatan bisa dapat banyak kantung. Yang lambat bahkan ada yang tidak mendapat sama sekali.
Tak lebih dua menit, ribuan kantung plastik itu sudah berpindah tangan. Dan dua meja besar tempat menata kantung-kantung itu langsung kosong.
Usai sembahyang, Ketua Umum Klenteng Kwan Sing Bio Tuban menyebut, dia menyediakan 1.500 paket untuk sembahyang rebutan. Selain itu, juga membagikan 400 paket beras dengan masing-masing paket berisi beras 5 kilogram.
‘’Jadi, 2 ton beras yang kami bagikan bagi siapa saja yang datang ke sini dan kebagian kupon,’’ jelasnya.
Tradisi Sembahyang Rebutan, dia sebut sudah ada sejak 1000 tahun lalu. Di Tuban sembahyang itu dilakukan sejak 257 tahun lalu, atau sejak klenteng yang dia pimpin itu ada.
‘’Usia klenteng ini kan 257 tahu, saat orde lama sembahyang ini sempat terhenti,’’ ungkap dia.
Gunawan meyebut, Sembahyang Rebutan sebagai ‘sedekahj bumi’ yakni mengirim doa dengan cara membagikan makanan pada warga, yang tujuannya untuk mengirimi doa dan memerhatikan arwah yang sudah terlupakan.
‘’Tradisi di sini setiap tanggal 22 bulan 2 Imlek. Kalau di klenteng timur di dekat alun-alun itu setiap tanggal 18. Di klenteng lain tanggalnya bisa beda, hanya tak akan keluar dari bulan 7 Imlek,’’ tegasnya.[ono]