Oleh: Sri Wiyono
blokTuban.com -APA menu favorit Anda saat Lebaran? Pasti bermacam-macam. Ketupat atau lontong opor. Sambel goreng ati, rendang daging atau kentang balado. Ah itu mah biasa. Yang dari daerah pasti tak sedikit yang mengabsen makanan khas daerahnya.
Warga Tuban misalnya pasti dengan semangat menyebut; becek mentok, sate mentok, sambal welut, ulas-ulas ikan panggang, sambel pe, rajungan, kerang cumi pedas waahlihi wasohbihi hehehe…
Tapi bagi saya, semua makanan itu mah biasa di hari Lebaran. Karena saya punya makanan favorit yang agak nyeleneh. Bahkan, bagi sebagian orang tak lazim atau menjijikan barangkali hehehe.
Karena saya suka ‘bumbu garing’. Tahu makanan apa itu? Bukan bumbu masakan yang masih dalam bentuk tepung atau garing karena belum diaduk dengan air. Macam gumpalan-gumpalan bumbu pecel yang masih belum dipakai.
Tapi, bumbu garing yang saya maksud dan menjadi makanan favorit saya di hari Lebaran adalah; kumpulan bumbu-bumbu basah dari nasi kotak atau baki hasil kendurian. Di desa, saat malam Lebaran kendurian masih khas dan tradisi itu masih bertahan.
Sehingga, sore menjelang Magrib sebelum Lebaran banyak orang yang kendurian. Setiap kenduri pasti mengundang tetangga. Setiap keluarga mendapat satu kotak atak satu baki kecil plastik berisi nasi dan lauk pauknya. Tentu saja bumbunya tak ketinggalan.
Bisa dibayangkan berapa banyak nasi dan bumbu yang didapat oleh satu keluarga saja. Karena itu, bumbu juga menumpuk. Kesukaan saya pada bumbu garing dimulai sejak kecil. Banyaknya bumbu yang didapat keluarga saya tak sebanding yang mengonsumsinya. Sebab, kami hanya bertiga.
Sehingga, bumbu itu tak lekas habis. Oleh ibu saya, bumbu itu sering dipanasi agar tidak basi. Caranya dengan seluruh bumbu dikumpulkan, lalu dipanaskan di atas wajan penggorengan. Agar tidak gosong, dikasih sedikit minyak goreng.
Berhari-hari bumbu itu diperlakukan seperti itu. Mau dibuang sayang. Juga pamali membuang makanan. Maka jadilah bumbu yang semula basah dan berwarna –warna sesuai warna dasar bumbunya berubah warna.
Seluruh bumbu menjadi agak kecoklatan karena terus digoreng. Semakin lama digoreng berubah menjadi semakin gelap warnanya. Seperti potongan bumbu kacang panjang misalnya, yang semula hijau menjadi agak hitam.
Bentuknya pun makin menyusut. Dan, semakin lama semakin kering bumbu itu. Bumbu mi yang semula lembek bisa menjadi kriuk. Secara fisik sangat tidak menarik. Tapi rasanya, jangan ditanya Bung, hahahah…..
Tapi Anda yang tidak pernah atau tidak suka jangan pernah coba-coba, jika perut Anda tidak kuat menahan dahsyatnya serbuan bumbu ala rakyat tersebut. Anda bisa mules-mules. Jika itu terjadi, saya tidak bertanggungjawab.
Saya hanya menggambarkan lezatnya makan bumbu garing itu. Disantap dengan nasi anget-anget dan minuman es sirup..waduhh…nikmat sekali rasanya. Sekali lagi ini versi saya, kalau versi Anda terserah hehehe…
Karena itu, pada Lebaran kali ini pun saya berburu kegemaran saya tersebut. Beruntung di rumah ibu saya selalu atau bumbu itu. Sehingga di Lebaran pertama dan kedua saya masih menikmati makanan legendaris tersebut.
Sehingga saya bela-belain gak makan di rumah. Karena saya mengincar bumbu garing di atas wajan dapur rumah ibu saya. Wajan legendaris yang warnanya juga sudah menghitam. Seingat saya, sejak saya kecil, wajan itu sudah ada. Hahaha..benar-benar legendaris.
Eh..kok mendadak ngomongin bumbu garing. Kalau Anda kepingin repot nanti. Bagi Anda yang tinggal di kota sangat sulit mendapatkannya. Yang tinggal di desa pun belum tentu bisa menemukannya. Mau minta saya? Maaf di Lebaran ketiga persediaan bumbu garing ibu saya sudah habis saya sikat.
Lebaran memang luar biasa. Masyarakat menemukan kembali kehangatan, keakraban, persaudaraan dan rekatnya hubungan. Silaturrahmi Lebaran meleburkan sekat. Itu mengapa yang dari jauh rela pulang kampung demi bisa berlebaran di kampung halaman.
Kehangatan silaturrahmi itulah yang mahal. Seperti misalnya saat di Lebaran hari pertama, saya jamaah Salat Magrib di musala. Salat berjalan seperti biasa. Usai salat dilanjut wiridan. Usai wiridan, imam salat langsung balik kanan menghadap jamah.
Lalu membuka kata dengan salam. Selanjutnya, mengalir untaian nasehat tentang pentingnya silaturahmi, menghormati tamu, menghormati tetangga dan menjaga persaudaraan. Lengkap dengan nukilan hadist yang menguatkan nasehatnya.
Sang imam memohon maaf pada seluruh jamaah jika punya kesalahan. Dia juga memohonkan maaf seluruh takmir dan panitia kegiatan Ramadan di musala itu. Lalu disambung dengan saling bersalaman seluruh jamaah dan pengurus.
Ah alangkah indahnya. Inilah modal utama kuatnya bangsa ini. Persaudaraan dan silaturahmi. Saling menghargai, saling memaafkan dan mendoakan. Saling mengunjungi, sungkem para orangtua, guru dan sesepuh.
Semua ego dan kesombongan lebur di hari itu, dan selama Syawal, karena selanjutnya dirangkai dengan kegiatan halal bihalal. Lebur semua dosa, lebur semua kesalahan dan hancur dinding penyekat. Tradisi luhur inilah yang menjadi penopang tegak dan kokohnya negeri ini. Mari dipertahankan.
Di tengah serba basa-basi ini, silaturahmi lebih penting. Alat komunikasi yang dianggap sebagai perantara orang meminta maaf sangat garing maknanya. Permintaan maaf melalui pesan dari handphone misalnya hanya basa-basi.
Terlebih ketika pesan serupa itu sudah menumpuk. Puluhan hingga ratusan pesan misalnya, saya yakin pemilik handphone akan malas membacanya satu persatu. Bahkan mungkin, membukanya pun tidak.
Maka pada Lebaran ini, kisa kurangi basa-basi itu. Agar tidak muncul meme : Tiwas disediani jajan akeh, jebul jaluk ngapurane lewat hape ( Terlanjur disediakan banyak makanan, ternyata meminta maafnya hanya lewat handphone).
Jika tradisi basa-basi ini terus dikembangkan, maka silaturahmi benar-benar akan renggang. Kecuali memang yang benar-benar dalam kondisi yang tidak bisa datang langsung. Karena sedang di luar kota, luar pulau bahkan di luar negeri.
Tapi, jika karena kemalasan dan hanya mengandalkan pesan basa-basi itu, alangkah emannya. Lihatlah di kampung-kampung itu, antartetangga saling mengunjungi dan saling memaafkan. Luar biasa indahnya.
Wahh… sudah terlalu banyak saya ngomong, satu kata kuncinya, terus jaga silaturahmi. Saya juga akan silaturahmi ke rumah ibu saya. Siapa tahu bumbu garingnya masih ada. Minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam.[*]