Oleh: Ichwan Arifin*
Ada hantu yang setiap tahun selalu didatangkan ke Indonesia, mengisi narasi dan perdebatan politik di lingkaran elite sampai obrolan warung kopi. Hantu itu bernama komunisme. Pada masa Orba, hantu-hantuan itu telah menjadi liturgi politik tahunan yang harus diikuti rakyat. Saat ini, pengguliran isu komunisme tidak lepas dari momentum pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden.
September 2018, tanda-tanda kedatangan hantu itu diawali lagu “Potong Bebek Angsa”. Salah satu elite politik mengunggah video lagu tersebut di media sosial. Namun liriknya diubah dengan kalimat sindiran yang tentunya dialamatkan pada Pemerintahan Joko Widodo. Ada juga kalimat yang bernuansa tuduhan sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun tidak secara tegas menyebut siapa yang dituduh komunis, namun tidak perlu orang cerdas untuk mengetahui yang dimaksud “mereka” dalam kalimat “Ternyata merekalah yang PKI” dalam lirik lagu Potong Bebek Angsa itu. Secara substantif, video tersebut lebih bersifat propaganda, tuduhan dan provokasi daripada memberikan edukasi politik rakyat.
Isu komunis kembali digulirkan dengan rencana pemutaran ulang film “Pengkhianatan G30S PKI”. Seperti tahun lalu, isu ini kemudian mengisi kegaduhan dalam diskursus politik. Media massa pun memberikan panggung bagi bergulirnya isu komunisme tersebut. Sayangnya, yang terjadi bukanlah dialog konstruktif, kaya dengan referensi ilmiah, dan data, namun cenderung menjadi debat kusir yang emosional, penuh hujatan dan nada amarah. Misalnya debat di salah satu televisi swasta antara mantan petinggi Kostrad dengan Ketua YPKP 1965 yang selama ini mengadvokasi korban peristiwa G30S/1965. Melihat acara tersebut, rasanya minim taburan ilmu/pengetahuan yang dapat diperoleh pemirsa. Media massa seharusnya memberi panggung dialog yang lebih dapat memberikan solusi konstruktif daripada kegaduhan politik.
Ideologi Kiri
Manifesto Komunis diterbitkan pada 1848 sebagai buah pikir Karl Marx merespon situasi politik, ekonomi dan sosial pada masa itu. Marx meyakini bahwa ideologi ini akan membuat perubahan besar di dunia. Marx memulai tulisannya dengan kalimat “Ada hantu berkeliaran di Eropa - Hantu Komunisme” untuk menggambarkan respon pihak yang berbeda pandangan politik yang menyebut komunisme sebagai ancaman. Selepas revolusi Oktober 1917 di Rusia, Marxisme maupun ajarannya yang telah dipadukan dengan pemikiran Lenin menjadi Marxisme-Leninisme sebagai dasar dari komunisme, berkembang ke seluruh dunia dan menginspirasi berbagai revolusi kemerdekaan di negara-negara dunia ketiga.
Para founding fathers, termasuk proklamator Bung Karno juga menjadikan marxisme sebagai salah satu referensi politiknya. Pejuang kemerdekaan lain pada masa itu juga akrab dengan pemikiran tokoh-tokoh kiri seperti Rosa Luxemburg, Pieter J. Toelstra, Lenin, Engels, Beatrice Webb dan sebagainya. Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Islam terbesar pada masa itu, Syarekat Islam (SI) pada 1924 menulis Islam dan Sosialisme yang menegaskan bahwa Islam seiring dan sejalan dengan pergerakan rakyat dan kaum buruh dunia. Namun saat ini komunisme sudah bangkrut. Di negeri asalnya, nyaris tidak dapat dilihat lagi bentuk peninggalan komunisme dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Tahun lalu, ketika berkunjung ke negara-negara eks komunis di Eropa Timur saya menyaksikan bahwa warisan komunisme tinggal menjadi bagian dari sejarah. Misalnya, di Republik Cheko, komunisme hanya hidup di Museum Komunisme di Kota Praha dan salah satu tujuan wisata yang ditawarkan kepada para pelancong. Sistem politik dan ekonomi sudah tidak lagi merefleksikan komunisme, seperti penerapan sistem ekonomi pasar menggantikan sistem ekonomi terpusat dan sistem demokrasi liberal. Gaya hidup warga kota juga berubah. Seperti layaknya kota-kota di Eropa Barat, beragam pusat perbelanjaan yang menawarkan barang-barang mewah, mobil kelas premium dan sebagainya dapat dengan mudah ditemui di Praha. Hal yang sulit ditemui pada masa rejim komunis.
Namun hal yang patut dipelajari adalah transformasi politik dari rejim komunis yang sudah berkuasa selama 41 tahun ke arah demokrasi liberal, tidak menumpahkan genangan darah berlebihan melalui “Revolusi Beludru (sametova revoluce)” pada 1989. Kematangan dan kedewasaan para elite politik menentukan keberhasilan transformasi tersebut dengan cara yang lebih beradab. Tidak ada pelabelan dan stigma politik yang dilekatkan pada kelompok masyarakat. Label yang menjadi legitimasi negara dan kelompok masyarakat lainnya untuk menempatkan anggota partai komunis sebagai musuh negara yang harus dibasmi tuntas sampai pada anak keturunannya. Bahkan mereka juga dimatikan secara politik, perdata dan dicabut hak azasi manusianya.
Narasi Sejarah
Narasi sejarah sebagaimana dikemukakan Taufik Abdullah memuat dua sisi; Pertama, sejarah sebagaimana dikisahkan (histoire recite) adalah rekonstruksi yang dapat berubah bentuk. Berpotensi subyektif karena perbedaan sudut pandang dalam penuturan. Kedua, sejarah sebagai realitas (histoire realite) yaitu sebuah fakta dan peristiwa yang tidak dapat diubah oleh apapun dan siapapun.
Perdebatan isu komunisme, termasuk peristiwa G30S 1965 masuk dalam kategori histoire recite. Siapa yang menuturkan akan berpengaruh pada narasi yang dituturkan. Selama masa Orba, narasi politik dalam segala hal, termasuk penuturan komunisme, hanya boleh dituturkan dalam satu sisi, yaitu perspektif penguasa. Sehingga, rakyat tidak dibiasakan melihat beragam perspektif dalam melihat satu peristiwa. Cenderung melihat pihak yang berbeda pandangan sebagai “liyan” yang bahkan, jika perlu, harus disikapi dengan kekerasan.
Karena itu, dalam konteks isu komunisme, negara tidak perlu melarang atau pun sebaliknya menganjurkan pemutaran ulang film “Pengkhianatan G30S PKI”. Namun hal yang sama juga harus diterapkan pada masyarakat yang ingin memutar atau menonton film yang diasosiasikan dengan isu komunisme atau peristiwa G30S 1965 dalam narasi yang berbeda; Seperti film dokumenter “The Act of Killing (Jagal)” karya Joshua Oppenheimer, yang menyorot bagaimana sudut pandang pelaku pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI dan menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik. Termasuk juga film dokumenter lainnya, “The Look of Silence (Senyap)”. Jika film “Jagal” menceritakan sudut pandang pelaku pembunuhan atau pembantaian massal, maka film “Senyap” melihat dari sisi anak korban pembunuhan massal. Semua itu memperkaya referensi kita dalam mengkaji sejarah dan peristiwa gelap masa lalu. Namun, realitanya, upaya masyarakat memutar film tersebut sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kelompok lainnya.
Peristiwa G30S sudah lewat 53 tahun silam. Sudah saatnya kita berdamai dengan masa lalu. Energi untuk berkonflik akan lebih bermanfaat jika dicurahkan dan difokuskan pada kerja kemanusiaan yang dapat memberikan warisan tatanan yang beradab bagi generasi masa depan. Semua komponen bangsa dengan ragam ideologi (kiri, kanan, tengah), ragam suku dan agama, bersama-sama telah berkontribusi perjuangan kemerdekaan republik ini. Karena itu, biarkan setiap anak bangsa mewacanakan narasinya sendiri jika merasa sejarah yang ada tidak tepat menggambarkan peristiwa masa lalu. Namun, negara harus tegas untuk menyikapi setiap tindakan pemaksaan, ancaman dan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda narasi. Luka sejarah masa lalu harus disikapi secara dewasa dan jangan dijadikan sebagai penjara, apalagi komoditas politik sesaat seperti Pilpres 2019.
*Alumnus Pasca Sarjana UNDIP dan mantan aktivis GMNI, dapat disapa di: ichwan.arifin.ia@gmail.com.
*Foto ilustrasi