Oleh: Idana Listiana
blokTuban.com - Waktu begitu cepat berlalu. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, begitu seterusnya.
Awalnya saya seorang guru honorer SDN Remen I, Kecamatan Jenu dipertemukan dengan Master Matematika Indonesia; M. H. Prakoso. Dia adalah pelopor Kampung Matematika di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah bersama Juliyatmono.
Semua itu adalah rahasia Tuhan, Yang Maha Kuasa yang mempertemukan saya dengan Master Matematika tersebut. Tanpa mimpi tanpa diduga. Ada yang bilang itu magnet dari energi positif karena memang saya pecinta matematika.
Sedikit demi sedikit ilmu dari Master dapat diserap dan dikembangkan. PERTALIT ( Pertamina Peduli Literasi ) program Pertamina MOR V Jatimbalinus yang kebetulan memberikan kesempatan sekolah saya sebagai penerima program, ternyata juga ikut andil dalam memotivasi saya cinta terhadap matematika.
Perjalanan tidak berhenti sampai disini. Waktu itu hari Minggu di markar Kodim 0811 Tuban bersama Smart Grup mengadakan lomba mapel yang di dalamnya terdapat Matematika dan IPA.
Para peserta didik saya sangat antusias terhadap lomba tersebut. Mereka ingin ikut. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, hanya satu minggu saya gembleng, dibina dan disiapkan di lomba tersebut. Mereka dari kelas 2 sampai dengan kelas 5. Mereka memilih Matematika dan IPA yang tetap jadi mapel idola. Seperti Indonesia Idol saja.
Saya membawa 4 armada masing – masing empat rodanya, gak usah disebut jenisnya. Jumlah peserta yang saya bawa 24 anak. Alhasil sangat mengagetkan buat saya, rasanya pingin terbang ke awan namun tak bersayap hanya bayangin aja.
Terhentak dari lamunan saat ada suara dari panitia yang mengumumkan juara menyebutkan bahwa di antara peserta didik saya terpanggil namanya. Ternyata, kelas 2 juara 2 dan harapan 1 IPA. Kelas 3 juara 3 IPA, kelas 4 juara 3 dan harapan 3 Matematika, kelas 5 juara 3 Matematika dan juara 3 IPA.
Semua teman memberi selamat kepada saya. Semula saya sangat minder dan tidak Pe De, karena kami adalah satu – satunya peserta dari desa, plosok pula. Namun saya teringat kata – kata semboyan Bapak Pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Dewantara.
Selain itu ajaran beliau yang tidak kalah penting adalah yang dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:
1. Ing ngarsa sung tuladha:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang di depan harus dapat memberi contoh yang baik, yang meliputi kebaikan budi pekertinya, kepandaiannya, dan keterampilannya.
2. Ing madya mangun karsa:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang berada di tengah harus dapat membangun, bergotong royong bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Tidak hanya bisa memerintah, namun juga harus dapat dan mau “tandang gawe”, yaitu diperintah oleh kemauannya sendiri.
3. Tut wuri Handayani:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang berada di belakang harus dapat mendorong dan memberi semangat (nyurung karep) kepada semua teman-temannya.
Terutama yang patut menjadi teladan adalah jiwa kepahlawanannya yang sulit ditandingi oleh tokoh pendidikan lainnya. Sebagai contoh konkrit dari kepahlawanan beliau adalah berdirinya perguruan Taman Siswa pada masa penjajahan Belanda. Meskipun berbagai tantangan menghadang di depan, namun cita-cita mulia untuk mencerdaskan bangsa itu tidak surut sedikitpun. Bahkan justru semakin bersemangat untuk melangkah maju.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik.
Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.
Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, di mana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan kertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas.
Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra.
(2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th): masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya.
Sekilas tentang Ki Hajar Dewantara, kembali lagi pada lomba Matematika dan IPA. Kegiatan PERTALIT tetap berlanjut dan memotivasi para kader – kadernya. Namun, pada waktu yang bersamaan juga saya masih sibuk dengan matematika dan IPA karena beberapa nama dari peserta didik saya terjaring dalam OMSI. Apalagi istilah ini ? saya masih mikir – mikir sambil jemari ini bergerak begitu cepat layaknya orang mengunyah kacang goreng.
Orang bilang lagi dzikir ( dziluk sambil mikir ). Ternyata OMSi itu Olimpiade Matematika dan Sains Indonesia. Dengan membawa 14 peserta didik yang terdiri dari kelas 4 dan kelas 5, pada hari itu kami berangkat mengikuti OMSI di SD BAS Tuban yang bertepatan dengan hari ulang tahun saya.
Sebulan lagi baru pengumuman final OMSi. Agak lega tapi hati tetap berdo’a semoga anak – anak didik saya lolos final OMSI .
Terima kasih saya sampaikan kepada PERTALIT yang selalu menggiring kita semua untuk selalu berbudaya menulis dan membaca. Dengan membaca kita menjadi bangsa yang berwawasan luas. Tiada hari tanpa membaca. Sekali lagi jangan lupa membaca... membaca ... dan membaca.[*]
*Penulis : Kader Literasi Pertalit SDN Remen 1 Jenu, sekaligus Koordinator Kader Literasi Pertalit