Oleh: Ikhwan Fahrudin, S.Pd*
Marjinal berasal dari bahasa inggris 'marginal' yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya, marjinal adalah suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan.
Marginal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, sesuatu yang berhubungan dengan batas tepi sedangkan marginalisasi yakni, meminggirkan atau memojokkan. Kaum marginal merupakan kaum yang termarginalkan atau terpinggirkan dari kehidupan sosial yang ada disebuah masyarakat.
Kata-kata marginal biasanya bagi masyarakat identik dengan perkumpulan orang-orang yang kumuh, tidak tertib, dan bahkan tidak berpendidikan. Mereka layaknya sekolompok manusia yang ‘terinfeksi’ virus berbahaya yang dapat merusak, inilah sebuah pemikiran menganai kaum marginal.
Kemisikinan juga membuat suatu kaum dimarginalkan, kesulitan ekonomi, tidak tercukupinya kebutuhan hidup, tinggal di tempat kumuh, putus sekolah juga ternasuk ke dalam kaum yang digolongkan marginal atau pinggiran. (Yufan 2012).
Perjuangan kaum marjinal yang mungkin seringkali kita mengabaikannya. Sebagaimana Mother Terresa, pejuang dan tokoh kemanusiaan dari Calcuta, mengatakan: kaum miskin, kaum marjinal, dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di masyarakat ada karena kitalah yang menciptakan mereka. Terutama oleh struktur sosial, juga oleh saya, Anda dan kita semua. Sehingga, kita mempunyai tanggung jawab untuk membantu dan mengangkat derajat mereka.
Islam: Melindungi dan Memberikan Solusi bagi Kaum Marginal
Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” (Al-Isra’ 26). Sedangkan dalam ayat lain, Allah berfirman: “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (An-Nisa 36).
Dari ayat tersebut, dapat dipahami, bahwa Allah melindungi fakir miskin dengan memerintahkan umat manusia, saling membantu. Umat manusia diperintahkan menyisihkan rezeki yang mereka peroleh untuk mereka bagikan kepada kaum marginal tersebut. Di sini tampak betapa Maha Adilnya Allah SWT.
Sahabat Ali r.a. pernah berkata: “Sesungguhnya Allah swt. telah menentukan haknya orang-orang fakir dalam harta orang-orang kaya, maka jika orang-orang fakir itu sampai kelaparan atau tidak berpakaian atau hidup sengsara, dikarenakan penolakan orang-orang kaya memberi pertolongan dan penguluran tangan, menjadi haknya Allah minta pertanggung jawab di hari kiamat serta mengazab mereka atas pelanggaran itu.”
Mereka bisa bermetamorfosis menjadi gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pilihan kata dalam klausul ayat tersebut ternyata dapat memunculkan makna yang berbeda-beda.
Santuni mereka yang membutuhkan bukan karena kasihan, tapi karena mereka adalah tanggungjawab kita. Hargai yang muda, hormati yang tua. karena kita duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kita sama-sama berdayakan dengan asas kemanusian yang adil. Penyebab kemiskinan adalah lunturnya nilai kemanusiaan dalam diri kita.
*Pegiat Literasi Tuban Anggota IGI Tuban