Oleh: Sri Wiyono
Sungguh, jika boleh memilih pasti tidak akan ada yang memilih hadir di dunia ini dalam kondisi miskin. Sebab, miskin itu tidak enak. Miskin itu sakit. Tak jarang harapan dan cita-cita harus terkubur karena dalam keadaan miskin.
Itu pandangan secara umum, jika kehidupan hanya dipandang dari sisi dunia, atau sisi materi saja. Sebab, tak sedikit juga yang memilih menjadi ‘miskin’ karena mengejar cinta Allah. Merekalah para sufi yang hanya memikirkan Allah yang cintainya, di atas segala-galanya.
Termasuk tak peduli miskin atau kaya kehidupan mereka. Ibrahim bin Adham, salah satunya, raja yang akhirnya menempuh jalan sufi dan meninggalkan segala kekuasaan dan kemewahan yang dia sandang.
Tapi, yang saya maksudkan di sini adalah miskin secara duniawi. Dan kondisi itu indikatornya sangat jelas dan kasat mata. Kita letakkan dulu, persoalan sufi, makrifat dan sebagainya yang tidak hanya memandang dunia dari sisi dhohir saja.
Kita bicarakan kemiskinan dari cara pandang umumnya kita sebagai manusia dan warga masyarakat. Dan, garisnya sudah sangat jelas, mana golongan yang disebut miskin dan mana yang tidak. Tentu dengan indikator ini, tidak salah jika saya katakan miskin itu tidak enak. Miskin itu sakit.
Pada suatu siang, sambil menunggui anak-anak bermain di sebuah arena permainan, saya pesan kopi panas di kafetaria arena bermain itu. Sebab, tiba-tiba rasa kantuk menyerang duduk diam dia dan hanya memainkan hape di ruangan.
Mestinya, begitu nikmat menyeruput kopi ketika didera kantuk. Namun, kenikmatan itu itu buyar saat tiba-tiba seorang ibu masuk ke kafetaria. Dia menghampiri gadis muda penjaga kafetaria yang beberapa detik lalu menyuguhkan kopi panas padaku .
Keduanya lalu ngobrol. Dari sinilah semua bermula. Legitnya kopi bercampur gula dan susu itu gagal kunikmati ketika kudengar obrolan mereka. Malah air mataku hampir saja luruh.
Perempuan itu ternyata guru gadis muda itu saat sekolah. Siang itu dia sebenarnya membawa kabar gembira. Si gadis muda itu bisa masuk kuliah tanpa tes, plus beasiswa dan fasilitas lainnya secara gratis melalui program 'bidik misi' hanya gadis muda itu hrs tinggal di asrama .
"Dengan kemampuanmu, kamu bisa masuk tanpa tes," begitu bu guru tersebut berkata.
Si gadis muda itu tak segera menjawab. Saya yakin di hatinya ingin mengambil kesempatan itu. Karena tak mudah mendapat kesempatan seperti itu. Perbincangan pun berlanjut, rasa kopiku sudah tak karuan Lgi demi menyaksikan adena itu.
Bu guru itu terus mendesak. Gadis muda itu tak mampu memberi kepastian. Hingga obrolan harus terhenti ketika masuk lagi seorang ibu paruh baya. Dia memesan sepiring mi goreng dan teh manis hangat.
Selama gadis penjaga kafetaria itu bekerja, sang ibu guru terus memerhatikan. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Saya juga yakin di kepalanya sedang berkecamuk beragam pikiran.
Setelah hidangan untuk pengunjung kafetaria itu dihidangkan, obrolan kembali dilanjutkan. Sang ibu guru tetap meminta jawaban. Wajahnya serius, dan saya juga sangat yakin, bu guru itu ingin jawaban baik dari gadis muda tersebut. Namun, sang gadis muda itu tak segera menjawab. Wajahnya menerawang, hingga akhirnya berkata lirih,
‘’Saya harus bekerja membantu orang tua. Maaf itu, sebenarnya saya juga ingin kuliah, ‘’ ujar gadis muda itu.
Kali ini saya sudah tak tahan lagi. Kupercepat meneguk kopiku meski masih agak panas, lidah terasa terbakar. Aku tak peduli, aku harus segera keluar dari kafetaria.
Tak tahan aku mendengar dan melihat adegan itu, sudah berkaca-kaca mataku. Terlebih saat gadis muda itu menatapku. Aku keluar meski belum bayar. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan hatiku.
Kebetulan waktu bermain anak-anak habis dan waktunya pulang. Aku kembali ke gadis muda itu untuk membayar segelas kopi yang telah kuteguk habis. Sempat kutanya di mana dia tinggal. Terlalu sering cita-cita dan harapan terbentur keadaan.
Satu lagi, betapa sakitnya kemiskinan itu.
‘’Halah…, sekolah SMP ne wae sekolah ora bayar kok ape nerusno sekolah maneh. Opo sing ape digawe bondo. (Halah…sekolah SMP saja tidak bayar kok mau melanjutkan sekolah lagi. Apa yang akan digunakan untuk membiayai),’’ begitu cibir seorang pria mengomentari sinis anak tetangganya yang akan melanjutkan sekolah lagi, dari SMP ke jenjang berikut.
Kebetulan, bocah tersebut sebelumnya sekolah di SMP yang tidak membayar alias gratis.
‘’Ora usah ngenyek..uwong iku ora ngerti mleteke jarak. (tidak usah menghina, manusia itu tidak tahu kehendak Allah’’) jawab pria lainnya mengingatkan bahwa manusia tidak boleh sombong. Bahwa setiap manusia sudah mempunyai garis hidup masing-masing dan itu hanya Allah yang tahu.
Demi Allah, dua kisah itu adalah kejadian nyata, kejadian yang sebenarnya. Menggambarkan bagaimana sakitnya menjadi orang miskin. Mau menempuh pendidikan saja dicibir dan diragukan kemampuannya.
Jika kedua bocah itu bisa memilih, pasti tidak memilih untuk terlahir di tengah keluarga yang miskin. Sehingga dia harus menerima hinaan seperti itu. Atau terbentur cita-cita untuk kuliah.
Dalam UUD 1945 negara harus hadir di sana, saat warganya miskin. Dengan jelas pasal 34 UUD 1945 menyebut bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Bukan hanya dipelihara fisiknya saja, namun dipelihara mental dan pendidikannya. Artinya, negara mempunyai kewajiban untuk mengantarkan warganya yang miskin keluar dari jurang kemiskinan dengan membekalinya pendidikan dan ketrampilan.
Sebab, untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, warga miskin tak hanya butuh makan. Bukan hanya diberi ikan, namun warga miskin butuh diberi kail dan jaring, agar mereka bisa bergerak mencari penghidupan sendiri.
Suatu saat, Khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan malam didampingi salah satu ajudannya. Sang khalifah ingin menyambangi warganya secara diam-diam. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Asshidiq ini tak ingin kehadirannya diketahui warga. Dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri kondisi warganya. Termasuk kondisi ekonominya.
Banyak rumah sudah padam lampu rumahnya, dan penghuninya sudah lelap tidur. Hingga Khalifah Umar bertemu dengan sebuah rumah kecil dengan bangunan agak reyot.
Di sana, lampu minyak masih menyala, dan terdengar suara tangis anak kecil. Khalifah Umar yang tertarik terus memerhatikan orang di dalam rumah itu, yang ternyata seorang perempuan dan seorang anak kecil.
Sang anak kecil merengek-rengek minta makan dan mengatakan kalau dia lapar. Sedangkan sang perempuan, ibu anak kecil itu dengan sabar terus menenangkan putranya. Sambil tangannya terus mengaduk sebuah bejana kecil yang dipanggang di atas tungku api.
Dia terus mengaduk dengan waktu yang cukup lama. Selama itu pula dia mengatakan pada anaknya bahwa masakannya belum matang. Sang anak diminta menunggu. Dan, karena kelelahan menangis serta menahan lapar, sang anak akhirnya tertidur. Si ibu lalu menyudahi ‘masaknya’.
Khalifah lalu mendatangi perempuan itu, dan menanyakan apa yang terjadi. Khalifah Umar juga bertanya apa yang dimasak perempuan itu hingga butuh waktu yang begitu lama untuk matang.
Perempuan itu mempersilahkan Khalifah Umar melihat ke dalam bejana, yang ternyata hanya berisi sebongkah batu dan air.
‘’Saya hanya ingin menenangkan anak saya. Saya membohonginya, karena sudah tidak ada bahan makanan lagi yang bisa saya masak,’’ ucap perempuan itu sambil tertunduk. Air matanya berlinang membasahi pipi.
Khalifah Umar kaget bukan kepalang melihat kondisi itu. Lalu Khalifah bertanya, bagaimana Khalifah menjalankan tugasnya menjadi pemimpin. Apakah tidak memerhatikan kaumnya yang miskin seperti ini. Perempuan itu dengan tegas mengatakan, dia luput dari perhatian Khalifah.
‘’Khalifah tidak pernah memerhatikan nasib kami,’’ ujar perempuan itu.
Perempuan itu tidak tahu bahwa yang sedang bicara dengannya itu adalah Khalifah Umar. Sekali lagi Khalifah Umar terperanjat. Kali ini lebih keras, seolah palu godam menghamtam kepalanya.
‘’Tunggu di sini,’’ kata Khalifah Umar sambil bergegas meninggalkan perempun itu yang tak mengerti dengan apa yang akan terjadi.
Khalifah Umar berlari menuju baitul mal, gudang bahan makanan milik kerajaan. Ajudannya mengikuti dari belakang. Di baitul mal, Khalifah Umar langsung mengambil dua karung gandum dan dipikul sendiri untuk diberikan pada perempuan itu.
Sang ajudan yang merasa kasihan menawarkan diri agar dia saja yang memikul gandum itu.
‘’Tidak. Biar aku saja yang memikul. Sanggupkah kamu memikul dosaku di akhirat kelak. Beratnya dua karung gandum ini, tak seberapa dibanding dengan siksa Allah yang akan aku terima karena menyengsarakan rakyat yang mestinya saya lindungi,’’ tegas Khalifah Umar.
Sang ajudan terdiam dan terus mengikuti langkah tergesa Khalifah, hingga sampai ke rumah perempuan miskin itu lagi. Lalu diserahkan dua karung gandum itu ke perempuan tersebut. Perempuan itu menangis antara bersyukur dan haru.
Saat itu, Khalifah Umar baru membuka jati dirinya, sambil memohon ampun, bahwa dia telah menelantarkan perempuan miskin itu dan anaknya. Begitu perempuan miskin tahu jika yang dihadapinya adalah Khalifah Umar, dia kembali menangis keras dan memohon ampun. Namun Khalifah Umar menenangkannya.
Alangkah indahnya jika pemimpin bisa bersikap seperti itu. Bisa ditiru ? Sangat bisa ! Tinggal bagaimana komitmen pemimpin pada rakyat. Untuk melihat kondisi rakyatnya, sekarang jaman sudah canggih, tak harus mendatangi satu persatu. Ada banyak cara yang bisa digunakan termasuk menggunakan teknologi.
Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan warganya menjadi miskin. Baik itu miskin harta atau miskin hati. Sebab, kondisi saat ini, banyak yang miskin hati, sehingga ketika ada bantuan beramai-ramai mengaku miskin. Sebut saja saat ada pembagian beras untuk warga miskin (raskin) yang sekarang disebut beras untuk warga sejahtera (rasta), warga beramai-ramai minta jatah beras itu. Padahal, jatah itu mestinya hanya untuk warga miskin.
Mungkin karena sikap miskin hatinya warga Tuban itu, jumlah penerima rasta di Tuban bertambah. Artinya, jumlah warga miskin bertambah banyak. Karena tahun 2016 lalu hanya 97.435 keluarga menjadi 106.814 keluarga atau bertambah 9.379 warga miskin pada 2017. Dan, Tuban tetap peringkat 5 dari bawah dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Jika penerima rasta menjadi indikator kemiskinan, jumlah warga miskin di Tuban bertambah. Belum lagi penerima bantuan sosial lainnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang berjumlah 21.647 keluarga, jumlah penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebanyak 515.084 orang, juga penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebanyak 34.562 siswa.
Jangan biarkan warga lain tertular menjadi miskin. Tingkatkan kesejahteraan mereka. Berikan mereka kesempatan untuk menikmati sedikit bahagia yang bernama kesejahteraan. Meskipun dhoif, bukanlah ada hadits yang menyebutkan kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran. Wallahu a’lam(*)