Oleh: Sri Wiyono
Lagi, bom meledak di tempat peribadatan. Kali ini, tiga gereja di Kota Surabaya menjadi sasaran. Kembali ledakan yang diduga bom bunuh diri itu menelan korban jiwa. Berdasarkan gambar yang beredar, sebagian korban (maaf) tidak utuh lagi tubuhnya.
Saya membaca kabar itu pagi, saat sedang berada di balai Desa Remen, Kecamatan Jenu. Ya, pagi itu saya dam tim Pertamina Pedulu Literasi (Pertalit) memang sedang menggelar kegiatan yang menjadi bagian dari program Pertalit.
Sejak pagi kami sibuk. Dari kora ke lokasi, memakan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Di lokasi kami prepare. Sana ini itu dan lain sebagainya. Hingga beberapa saat saya tak membuka handphone.
Setelah semua tertata, tinggal menunggu kedatangan peserta kegiatan, saya duduk sambil memulai membuka handphone. Dan, dada ini terasa sesak ketika di beberapa grup WA yang saya ikuti mengabarkan kejadian pemboman tiga gereja di Surabaya, lengkap dengan foto-fotonya. Bahkan juga videonya.
Miris dan mau menangis. Itu yang saya rasakan. Saya amati foto-foto tersebut sampai tanpa terasa mata berkaca-kaca. Air mata sudah menggelayut di ujung mata. Hampir luruh. Namun, batal saat tiba-tiba salah satu ibu-ibu peserta bertanya pada saya, kapam acara di mulai.
Mungkin itu, ibu itu melihat mata saya yang berkaca-kaca. Air mata itu tak jadi luruh, namun hilang setelah saya seka dengan punggung telapak tangan.
Tak berapa lama kemudian disusul dengan sebaran himbauan agar tidak menyebar foto atau video korban ledakan bom. Bahkan, himbauan yang dikeluarkan Kementrian Kominfo. Lalu, himbauan-himbauan lain dalam bentuk tulsan dan lainnya.
Beberapa grup WA begitu aktifnya. Saya pun terlibat obrolan dengan seorang teman yang berada di luar pulau. Hampir semua mengaku ngeri, miris dan sejenisnya. Hingga kemudian mengutuk pelakunya atau orang-orang yang menguruh atau memanfaatkannya, jika ada.
Maka pagi itu, rasa kemanusian sebagian besar orang muncul. Mereka berempati atas kejadian itu. Tidak lagi memandang dari kelompok mana korban itu, agamanya apa, dan lain sebagainya. Sisi kemanusian selalu tak memandang status sosial , golongan, agama atau kelompook.
‘’Nabi Muhammad tidak mengajarkan kekerasan. Jika mereka para teroris itu mengaku muslim, nabi mana yang mereka anut’’.
Begitu salah satu komentar anggota grup WA yang saya ikuti. Beragam tanggapan muncul. Ada yang setuju, ada yang kurang setuju, buktinya dia menggugat dengan mengatakan, ‘mengapa mereka yang selalu disudutkan’.
Atas komentar itu, ada juga yang membalas sekenanya.
‘’Berapa derajat?’’ maksudnya sudutnya.
Ada juga anggota grup yang entah sengaja atau tidak, dan apa niatnya, masih menyebar foto-foto korban. Tanpa blur, dan mungkin juga tanpa berasa bersalah. Satu orang ada yang ngeshare lebih dari 5 foto. Namun, sebagian besar anggota grup hanya menyimak, atau membaca pesan di grup nya saja, tanpa komentar.
Sungguh, air mata itu kembali hampir luruh saat acara dimulai. Di awali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pendopo balai desa itu menggema nyanyian Indonesia Raya.
‘’Indonesia raya merdeka, merdeka hiduplah Indonesia’’
Dan saya pun harus ngempet untuk tidak meneteskan air mata. Dalam situasi hati berkecamuk seperti itu, Indonesia Raya bergema.
Lalu muncul sebaran foto ajakan untuk tidak taku terorisme. Terorisme harus diperangi. Rakyat Indonesia siap untuk memerangi segala bentuk terorisme. Karena yang dilakukan dengan mengebom itu, apapun alasan dan tujuannya, tidak beradab. Sudah menimbulkan teror di masyarakat. Karena itu, layak disebut teroris.
Lalu apakah masyarakat harus takut? Masyarakat harus melawan. Tidak ada ruang bagi terorisme di negeri ini. Negeri Indonesia yang dikenal damai dan bersahaja. Karena itu, jangan terpancing untuk latah, dengan ikut-ikutan menyebar foto-foto korban.
Jika ketakutan di masyarakat muncul, keresahan lahir dan rasa was-was selalu menghantui, maka target para teroris itu tercapai. Karena mereka menebarkan teror untuk membuat masyarakat panik, takut dan sejenisnya.
Karena itu, masyarakat tidak boleh takut. Namun, tetap waspada dan jangan sampai terlena dengan ajakan-ajakan yang menyesatkan. Masyarakat Indonesia tak pernah takut ancaman teror, karena kecintaannya pada bangsa dan negaranya. Tagar-tagar ajakan untuk bersatu melawan teroris terus bermunculan.
‘’Tidak semua teroris bertugas di lapangan. Ada juga yang bertugas di media sosial’’
Begitu salah satu ajakan yang muncul.
Semoga bangsa ini kuat menerima segala macam cobaan. Bisa menyingkirkan seluruh mara bahaya yang merongsong. Semoga pelakunya segera bisa ditangkap, dan diadili sesuai dengan derajat kesalahannya.
Semoga masyarakat tetap tenang, berfikir jernih, cerdas menganalisa dan memenuhi ketentuan yang ada. Semoga rasa kemanusiaan itu tetap terpatri di hari seluruh warga Indonesia. Wallahu a’lam.(*)