Penulis: Sri Wiyono
blokTuban.com – Bukan Zaid namanya kalau tidak jahil. Tokoh santri kita ini selalu saja ada ide yang dilakukan di pesantren tempatnya mondok. Tak jarang ide jahilnya itu membuatnya malu.
Seperti kisah di kali ini. Zaid harus berhadapan langsung dengan Mbah Kiai yang mengasuh pondok pesantren tempat Zaid mondok. Kiai ini sangat disegani. Bahkan, tak jarang oranf menyebut Kiai tersebut punya karomah, yakni kelebihan yang diberikan Allah pada para wali.
Zaid yang mondok di sebuah pesantren yang ada di Kabupaten Tuban ini memang dikenal sangat jahil. Namun, kalangan santri lain, bahkan guru-gurunya menyukai dia karena pintar.
Pada saat musim mangga, pondok pesantren Zaid yang banyak tanaman pohon mangga berubah menjadi kebun mangga. Sebab, pohon-pohon mangga itu banyak buahnya.
Kebiasaan santri,termasuk Zaid, setiap pagi berlomba untuk menjadi yang pertama sampai di kebun mangga yang berada di belakang pondok. Tujuannya untuk mencari buah mangga yang jatuh. Biasanya, buah itu jatuh setelah dimakan kelelawar.
Mereka ke pohon mangga dengan membawa pisau, sehingga ketika dapat mangga yang jatuh, bisa langsung dimakan di tempat. Pagi-pagi makan mangga, ah segar...karena buah mangga yang jatuh kebanyakan manis.
Suatu saat Zaid bangun kesiangan, sehingga dia kalah cepat dengan santri lain. Saat Zaid bangun, santri lain sudah tidak ada di kamar. Mau langsung nyusul,Zaid ingat kalau belum salat Subuh.
Sehingga dia langsung ke kamar mandi dan wudhu. Setelah salat. Hanya, saat salat dia, terus kepikiran mangga yang manis sisa kelelawar. Mungkin malaikat pencatat amal tertawa pada Zaid karena salat namun teringat mangga.
Benar saja, saat usai salat dan dia berniat ke kebuh mangga, dari kejauhan dia melihat santri-santri lain berjalan ke arahnya. Mereka ternyata sudah selesai berburu mangga jatuh. Sambil ngobrol memamerkan berapa mangga yang didapat pagi itu.
‘’Lho, kalian sudah pulang. Sudah habis ya mangga jatuhnya,’’ tanya Zaid pada santri-santri itu.
‘’Sudah, saya tadi dapat tiga. Masak-masak semua, muanis Zaid rasanya,’’ seru Umar memamerkan keberuntungannya pagi itu.
Karena sudah kalah cepat, Zaid mengurungkan niatnya untuk berburu mangga jatuh. Namun, diam-diam hatinya punya rencana. Sebab, dia sangat inin makan mangga.
Dia lalu mendekati Umar, dab berbisik. Zaid mengatakan rencananya itu pada Umar. Tahu rencana Zaid, Umar sempat kaget. Karen mencuri mangga milik pondok adalah larangan.
Namun, karena terus didesak Zaid, Umar menyerah.
‘’Nanti kami bagian mengawasi Mbah Yai saja, biar aku yang manjat,’’ kata Zaid meyakinkan.
Rencanapun dijalankan. Keduanya lalu survei lokasi. Mereka memeriksa pohon mangga mana yang buahnya lebat dan sudah masak. Setelah berputar-putar di kebun, mereka mendapati satu pohon yang menjadi sasaran.
Pohon itu tak terlalu tinggi, namun buahnya lebat dan besar-besar. Terlihat sudah matang. Hanya, lokasi pohon itu berada di dekat kamar mandi ndalem yang biasa digunakan Mbah Yai.
Namun tekat Zaid sudah bulat. Sehingga, keduanya menunggu Mbah Yai keluar ndalem. Biasanya, di saat salat dhuha Mbah Yai ke kamar mandi lalu salat Dhuha di masjid. Saat itulah, Zaid akan mengeksekusi mangga yang diincar.
Pagi itu, keduanya mengawasi pintu ndalem. Yang ditunggu tiba, Mbah Yai keluar ndalem. Benar saja, langsung menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Mbah Yai terlihat mau mandi, itu bisa dilihat dari pakaian yang dicopot dari disampirkan di pintu kamar mandi. Zaid dan Umar bisa melihat itu dari luar.
Tak lama kemudian terdengar jebyar-jebyur suara orang mandi. Mengetahui hal itu, Zaid langsung beraksi. Dia manjat pohon mangga yang sudah diincar itu.
Namun, belum sampai dia memgambil mangga, dia dikagetkan suara dari bawah yang memintanya turun.
‘’Ayo mudun Cung, ojo penekan, mundak tibo. (Ayo turun Nak, jangan memanjat nanti bisa jatuh)’’ kata suara itu.
Alangkah kagetnya Zaid, saat dia menengok ke bawah ternyarta Mbah Yai sudah berdiri dengan pakaian lengkap. Sarung, baju koko, kopiah putih dan surban kecil yang sudah dipasang. Semua tampak rapi.
Zaid tak habis pikir. Mana mungkin orang mandi dan berpakaian demikian rapi dalam waktu sesingkat itu? Namun, Zaid menurut. Dia turun lalu mencium tangan Mbah Yai dan dia langsung meninggalkan kebun menuju ke kamarnyanya.
Dalam hati dia bertanya-tanya, lalu siapa tadi yang mandi di kamar itu. Kalau Mbah Yai yang mandi kenapa begitu cepatnya dan sudah dandan rapi? Sampai Zaid lulus dari pesantren, pertanyaan itu tak terjawab.
‘’Ah, itu mungkin karomah Mbah Yai,’’ kata hati Zaid menjawab pertanyaannya sendiri.[*]