Penulis: Sri Wiyono
blokTuban.com – Ini masih soal cerita kebiasaan gasab di kalangan santri. Dan, tokoh kita Zaid santri yang agak mbeling dan jahil ini yang menjadi korban, kena batunya dia.
Sebelum menjadi santri yang terkenal,Zaid adalah bocah yang lugu. Dia datang dari sebuah keluarga biasa-biasa yang tinggal di sebuah desa di kecamatan pinggiran di Kabupaten Tuban.
Namun, semangat Zaid untuk mencari ilmu patut diacungi jempol. Karena itu, selepas lulus dari sebuah SMP, dia mendaftarkan diri di sebuah madrasah aliyah (MA) yang berada di lingkungan pondok pesantren.
Untuk memudahkan berangkat dan pergi sekolah. Juga agar konsentrasi belajar dan ngaji, dia memilih sekaligus mondok di pesantren di lingkungan pesantren tersebut.
Bekal hasil mengaji dari langgar di kampungnya membuat dia lolos tes baca dan tulis Alquran. Sehingga Zaid akhirnya diterima di pesantren.
Ketekunan Zaid dalam belajar dan mengaji membuat dia menjadi santri yang pintar. Karena itu, dia kemudian terkenal di kalangan santri, siswa dan para gurunya.
Setelah dia dinyatakan diterima di pesantren, Zaid harus datang ke pesantren. Selain untuk melihat atau istilah sekarang observasi lapangan hehehe.... di lingkungan pesantren. Juga untuk mengenalkan diri sebagai santri baru.
Suatu hari, Zaid pun datang ke pesantren. Dia dandan perlente. Baju terbaik yang dia punya dipakai pada hari itu. Tas ransel berisi pakaian sudah siap.
Tak terkecuali alas kaki andalannya, sebuah sandal kulit warna hitam merek Topsy, sekarang sudah sangat jarang ditemui sandal merek ini. Atau mungkin sudah tidak produksi lagi? Wallahua’lam.
Sandal kulit itu masih mengkilap warnanya. Maklum, sandal itu tergolong baru, karena baru sekitar satu bulan sebelumnya dibeli.
Zaid pun sangat jarang memakai, kecuali jika ada acara-acara penting. Setiap habis dipakai dibersihkan, dibungkus lagi lalu disimpan dalam kotak sandalnya. Sehingga, sandal itu selalu terawat.
Setelah melewati perjalanan cukup panjang, sampailah dia di pondok. Dia langsung menuju ke sekretariat pondok dan menemui pengurus.
Dia memperkenalkan diri sebagai santri baru. Para pengurus sudah tahu, karena sebelumnya sudah membaca formulir yang sebelumnya sudah diisi Zaid. Saat itu,Zaid ke pondok sendirian, tanpa didampingi orangtuanya.
Setelah namanya didata, pengurus pondok mulai mengarahkan dia untuk menempati salah satu kamar di pesantren. Kamar itu sudah ada beberapa santri yang sudah memempati. Jadi, Zaid tinggal bersama beberapa santri di dalam satu kamar atau di kalangan santri disebut ‘gothakan’.
Proses administrasi selesai. Saatnya Zaid menuju kamar yang sudah ditentukan. Dia diarahkan, diminta mencari sendiri oleh pengurus, setelah ditunjukkan arahnya.
Zaid, keluar dari sekretariat pesantren dengan suka cita. Hari itu, dia resmi menjadi santri di pesantren yang cukup dikenal tersebut.
Namun, alangkah kagetnya dia saat menuju serambi kompleks pondok. Di sana, sebelumnya dia melepas sandal dan meninggalkannya. Namun, saat dia kembali, sandal itu sudah tidak berada di tempatnya. Sandal itu raib.
Wajah Zaid kontan kecut. Sandal kesayangannya yang masih baru dibawa orang tanpa permisi. Akhirnya, dia berjalan ke kamarnya dengan ‘nyeker’ alias tanpa alas kaki.
Baru setelah menyimpan tas di kamar, dia keluar lagi menuju kantin pondok untuk membeli sandal japit. Tak mau sandal itu juga raib, sadal jepit barunya itu ditulisi namanya besar-besar dengan pulpen.
Sore saat para santri berkumpul. Di antaranya ada teman sekolah Zaid juga, dia ceritakan pengalamannya itu pada mereka. Kontan para santri itu tertawa bareng.
‘’Hahaha...Zaid...Zaid...itu namanya kena pajak..hahaha...,’’ tawa para santri berderai.
Dan, sampai Zaid keluar dari pesantren setelah beberapa tahun menimba ilmu, dia tidak pernah tahu siapa yang mengambil sandalnya. Dan, sandal itu juga tak pernah ketemu. Apakah pengalaman itu yang membuat Zaid kemudian menjadi santri yang jahil? Wallahua’lam.[*]
*Cerita diolah berdasarkan kisah nyata
Selama bulan puasa redaksi blokTuban.com mengangkat kisah, cerita, dongeng, nasehat dan tradisi yang didapat dari pondok pesantren. Kisah bisa didapat dari penuturan santri, kyai, ataupun sumber-sumber lain.