Saolin Jawa

Penulis: Sri Wiyono

blokTuban.com – Kisah hidup seseorang sangat sulit ditebak. Perjalanan panjang memang harus dilalui untuk mencapai titik kematangan sebagai seorang manusia. Tak terkecuali Zaid, tokoh santri kita ini.

Jika melihat kondisi Zaid saat ini, barangkali orang tidak akan percaya jika Zaid dulunya adalah bocah yang sangat nakal. Sejak di bangku sekolah, dia sudah dikenal membandel. Suka berantem dan kenakalan-kenakalan lain, yang membuat orangtuaya kenyang dipanggil ke sekolah.

Entah nasehat apalagi yang harus diberikan pada Zaid saat itu. Sebab, dia seolah tak mempan pada nasehat. Kelakuannya masih seenak hatinya. Kenakalannya tak juga berkurang. Sedangkan orangtuanya sudah tak terbilang lagi harapannya.

Puncaknya, orangtua Zaid mengambil keputusan untuk memasukkan Zaid ke pondok pesantren. Harapannya, Zaid akan berubah menjadi baik. Syukur-syukur bisa pintar mengaji dan menyebarkan ilmunya untuk kebaikan masyarakat.

Maka, lulus dari sebuah SMP, Zaid langsung dibawa orangtuanya ke sebuah pondok pesantren terkenal yang masih berada di Kabupaten Tuban. Zaid didaftarkan sebagai santri di sana.

Semula Zaid menolak keras. Dia sejak awal sudah bercita-cita masuk SMA. Namun, kali ini orangtua Zaid sudah tak ada jalan lain. Semua bantahan Zaid diabaikan. Meski agak dongkol, Zaid mau ikut juga ke pesantren.

Dalam perjalanan, di dalam mobil yang disopiri ayahnya sendiri, dia sudah ngeri membayangkan hidup di pesantren. Tiap hari pakai sarung dan kopiah. Tidur se kamar dengan banyak teman. Sedangkan, kamar di rumahnya luas dan lengkap perabotnya, meski tiap hari acak-acakkan karena ulahnya.

Namun, Zaid sudah tak bisa melawan orangtuanya lagi. Orangtua Zaid rela berpisah dengan anaknya demi kebaikan Zaid. Dan, hari itu, Zaid mulai harus belajar hidup mandiri. Meski orangtuanya kaya, namun uang sakunya dibatasi. Orangtua Zaid benar-benar ingin membuat Zaid berubah.

Awal-awal di pesantren, belum satu bulan Zaid sudah muncul di rumah. Orang tua Zaid buru-buru meminta anaknya kembali ke pesantren. Lama-lama kepulangan Zaid menjadi lebih lama, yakni sebulan sekali dia pulang ke rumah.

Orangtua Zaid minta Zaid tak sering pulang, agar bisa konsentrasi ngaji dan belajar. Namun Zaid bandel, dia tiap waktu luang selalu pulang. Dia mengaku kangen nongkrong dengan teman-teman di kampungnya.

Suatu saat Zaid pulang dengan kondisi yang membuat orangtuanya bertanya-tanya. Sebab, kepalanya plontos. Rambutnya tak tersisa. Orangtua Zaid sudah mulai tak enak hatinya. Terlebih saat mendengar jawaban Zaid, bahwa gundul itu merupakan salah satu hukuman di pondok yang diterimanya.

Itu termasuk hukuman yang cukup berat. Biasanya, pengurus memberi hukuman gundul pada santrinya, kalau santri melanggar aturan yang cukup berat. Pada kawan-kawannya di kampung, Zaid mengaku kalau dia ketangkap basah saat mengintip santri putri.

‘’Saya hanya ngintip mereka ngaji saja lo,’’ kata Zaid kawan-kawannya nya.

Ternyata,kebiasaan pulang dengan kepala gundul itu tak hanya sekali. Bahkan, setiap pulang ke rumah, Zaid hampir selalu gundul. Ada saja kesalahan yang dia lakukan di pondok. Orangtuanya sampai mengelus dada. Namun tetap memaksa anaknya itu untuk kembali ke pondok.

Saking seringnya pulang dengan kondisi kepala gundul, kawan-kawan di kampungnya menjulukinya ‘Saolin Jawa’. Sebab, kalau saolin beneran adalah tinggal di kuil untuk belajar ilmu agama Budha.

Namun, dicukur gundul pada Saolin karena memang sebagai persyaratan untuk menjadi biksu. Sehingga, ketika seseorang sudah mantap hatinya untuk masuk kuil dan belajar di sana, maka ritual pertama adalah cukur gundul.

Sedangkan, Zaid tinggal di pesantren meski sama-sama untuk memperdalam ilmu agama. Namun, gundul di pesantren adalah sebagai hukuman dan penanda santri habis kena hukuman. Mungkin barokah Kiai dan guru-gurunya, serta doa orangtuanya, Zaid akhirya benar-benar berubah menjadi pribadi yang sangat baik.[*]