Oleh: Nanang Fahrudin
Momen lebaran lalu saya manfaatkan untuk sowan ke guru ngaji saya di kampung. Entah kenapa, tiap lebaran saya selalu tidak berani untuk melewatkan sowan dan mencium tangan beliau. Nah, saat acara ber-Idul Fitri itulah saya memperoleh sesuatu yang sangat berharga. Boleh jadi harganya tak terbilang.
Begini. Ketika saya masuk ke kediaman beliau, di ruang tamu sudah ada beberapa orang. Kebanyakan saya kenal karena para tetangga rumah yang masih satu kampung, dan sebagian adalah sama-sama satu sekolah meski beda tahun. Seperti biasa, kami (para tamu) mendengarkan saat ada satu dari yang hadir berbicara. Jika guru saya bicara maka kami semua mendengarkan, jika ada salah satu tamu yang bicara, maka semua yang lain diam mendengar. Jadi tidak pernah ada lebih dari satu orang yang bicara dalam waktu bersamaan.
Mungkin ini tampak sepele. Namun bagi saya, ini momen yang sangat berharga. Coba bandingkan dengan dunia keseharian kita yang begitu bising. Semua orang mempunyai sahwat besar untuk berbicara namun tak punya banyak kekuatan untuk mendengarkan. Jadilah tabrakan di lajur lalu lintas percakapan sehari-hari. Akibatnya pembicaraan pun kehilangan ruh nya lantaran dipenuhi dengan sahwat bicara yang tak terkontrol.
Kita ammati saja percakapan di media sosial? Benarkah ada keseimbangan komunikasi antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Bahkan, jika dipikir-pikir, media sosial macam fesbuk bukanlah ruang publik di mana seseorang bisa saling sapa, melainkan juga ruang ekspresi kepada dirinya sendiri. Dan yang terakhir tampaknya lebih mendominasi. Media sosial lebih banyak digunakan untuk menunjukkan identitas diri dengan menutup kemungkinan menerima keberadaan identitas lain.
Seakan-akan saja ada banyak kelompok yang beradu argumen, saling berdiskusi tema-tema tertentu, dan saling kritik, tapi yang sebenarnya adalah mereka hendak memaksakan pendapatnya, menunjukkan identitasnya, dan seterusnya. Senang berbicara tapi enggan mendengarkan. Begitulah realitas yang terjadi di media sosial. Gaduh tapi tidak selalu berisi. Ramai tapi kosong.
Jadi, apa yang terjadi di kediaman guru saya tadi adalah sebuah cermin bagaimana seharusnya kita berbicara di ruang publik. Saling memberi dan saling menerima. Ada sopan santun yang tak tertulis tapi diamini oleh semua yang hadir. Etika berkomunikasi itulah yang mulai terkikis dalam dunia serba digital ini.
Hal satu lagi yang masih saya pikirkan sampai saat ini adalah ucapan beliau menyitir ayat 32 di surat Al-Zukhruf. Jika diartikan ayat itu berisi: Apakah mereka yang membagi-bagi rohmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Ayat tersebut, kata beliau, menjadi bukti betapa beragamnya profesi yang disediakan Allah bagi umatnya. Tidak akan pernah ada keseragaman dalam memilih jalan hidup. Dan apapun yang menjadi bagian dalam hidup kita perlu kita syukuri. Ya, kita seringkali melihat orang lain lebih sukses dari kita lalu kita mati-matian berusaha seperti orang lain tersebut. Padahal, belum tentu demikian. Karena kuncinya adalah bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah.
Keesokan harinya saya mampir ke toko buku bekas di pinggir jalan Bojonegoro-Babat. Buku-bukunya lusuh dan berdebu. Saya lalu menemukan buku karya Willem Elsshot berjudul Keju.
Buku lalu kubaca dan betapa kaget. Karena kisah dalam buku tersebut ada kaitannya dengan apa yang dikatakan guru saya. Yakni bersyukur pada apa yang kita miliki sekarang. Dari bersyukur itulah kita bisa memaknai pemberian Tuhan yang begitu besar.
Terkadang memang kita perlu berhenti sejenak untuk meresapi makna. Karena dunia ini begitu kacau dengan kecepatan yang dinamai sebagai kemajuan. Maka, kita perlu sering berada di ruang jeda untuk memaknai yang ada. Tuhan Maha Baik.