Reporter: Edy Purnomo
blokTuban.com – Matahari mulai merangkak naik, ketika mendaki di jalan aspal perbukitan Desa Dermawuharjo, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban. Suara deru motor berbaur dengan kicau burung menjadi teman perjalanan melintasi hutan-hutan sebelum sampai ke desa.
Desa yang menjadi perbatasan antara Kecamatan Grabagan dan Kecamatan Semanding itu, selama ini terkenal dengan bukit dan hutan rindang. Ikon yang terkenal adalah pemandian air belerang yang dipercaya bisa dipergunakan sebagai pengobatan alternatif. Juga dengan adanya petilasan Empu Supo, bagi yang masih menyukai ritual pemandian pusaka.
Tapi, ada satu potensi baru di desa tersebut yang mulai menjamur, hanya saja belum dikenal publik secara luas. Yakni perkebunan jeruk yang banyak ditanam warga sejak lima tahun terakhir. Tanaman jeruk mulai terlihat di kebun-kebun warga, terutama ketika berada di Dusun Dangkowak. Tahun ini, musim pertama bagi warga penanam jeruk untuk melakukan panen.
"Kalau di kebun warga banyak menanam jeruk, tapi yang lebih banyak ya di ladang," kata seorang warga Dermawu, menunjukkan rute ke arah kebun jeruk, Senin (1/8/2016).
Rute ke kebun jeruk tidak bisa ditempuh dengan cara mudah. Kita harus melewati jalan berbatu. Ada kalanya jalan menanjak dan tak jarang juga menurun. "Jalannya jelek, sepertinya sulit ditempuh mobil pribadi," jelas Hendi (26), salah satu pengunjung kepada blokTuban.com.
Tiba di ladang, kita akan menemukan banyak pohon jeruk yang ditanam di pematang. Bagian tengah ladang masih dimanfaatkan untuk tanaman lain sesuai musim dan kebutuhan. Yang paling populer adalah tanaman jagung dan kacang tanah.
Jeruk yang ditanam warga sekarang berbuah. Di musin panen perdana, satu pohon saja bisa menghasilkan sekitar 1,5 kuintal jeruk. "Kadang bisa lebih, tergantung pohonnya juga," kata Kumandar (45), salah satu pemetik jeruk di Desa Dermawuharjo kepada blokTuban.com.
Ada banyak cara bagi petani di Dermawuharjo menjual hasil panen jeruk. Ada yang menjual langsung kepada pedagang besar dengan sistem ijon. Tapi, ada juga yang berusaha menjadikan kebun mereka sebagai lokasi wisata agribisnis, yakni pembeli dipersilahkan memetik sendiri dan baru membelinya.
Salah satu petani jeruk, Sarmini (60), mengatakan jeruk sebenarnya bukan fokus utama dia bertani. Sebabnya, ketika menanam pertama kali banyak warga yang masih ragu apakah tanaman tersebut cocok dengan iklim di desa setempat. Itulah alasannya jeruk masih sekadar ditanam di pematang ladang. Sementara di tengah ladang diperuntukkan buat tanaman palawija yang lain.
"Tapi setelah lima tahun ternyata sudah berbuah seperti sekarang," kata Sarmini.
Dia menceritakan, bibit merupakan bantuan dari pemerintah lima tahun lalu. Saat itu dia menanam sekitar 80 pohon, dan bertahan sampai berbuah sekarang sekitar 50 pohon. Buah dari 50 pohon inilah yang sekarang dia jual dengan harga tergolong murah, yakni Rp2 juta. "Mau jual sendiri juga tidak bisa, ditebas (ijon) saja," kata Sarmini. Bersambung. [pur/col]
Desa yang menjadi perbatasan antara Kecamatan Grabagan dan Kecamatan Semanding itu, selama ini terkenal dengan bukit dan hutan rindang. Ikon yang terkenal adalah pemandian air belerang yang dipercaya bisa dipergunakan sebagai pengobatan alternatif. Juga dengan adanya petilasan Empu Supo, bagi yang masih menyukai ritual pemandian pusaka.
Tapi, ada satu potensi baru di desa tersebut yang mulai menjamur, hanya saja belum dikenal publik secara luas. Yakni perkebunan jeruk yang banyak ditanam warga sejak lima tahun terakhir. Tanaman jeruk mulai terlihat di kebun-kebun warga, terutama ketika berada di Dusun Dangkowak. Tahun ini, musim pertama bagi warga penanam jeruk untuk melakukan panen.
"Kalau di kebun warga banyak menanam jeruk, tapi yang lebih banyak ya di ladang," kata seorang warga Dermawu, menunjukkan rute ke arah kebun jeruk, Senin (1/8/2016).
Rute ke kebun jeruk tidak bisa ditempuh dengan cara mudah. Kita harus melewati jalan berbatu. Ada kalanya jalan menanjak dan tak jarang juga menurun. "Jalannya jelek, sepertinya sulit ditempuh mobil pribadi," jelas Hendi (26), salah satu pengunjung kepada blokTuban.com.
Tiba di ladang, kita akan menemukan banyak pohon jeruk yang ditanam di pematang. Bagian tengah ladang masih dimanfaatkan untuk tanaman lain sesuai musim dan kebutuhan. Yang paling populer adalah tanaman jagung dan kacang tanah.
Jeruk yang ditanam warga sekarang berbuah. Di musin panen perdana, satu pohon saja bisa menghasilkan sekitar 1,5 kuintal jeruk. "Kadang bisa lebih, tergantung pohonnya juga," kata Kumandar (45), salah satu pemetik jeruk di Desa Dermawuharjo kepada blokTuban.com.
Ada banyak cara bagi petani di Dermawuharjo menjual hasil panen jeruk. Ada yang menjual langsung kepada pedagang besar dengan sistem ijon. Tapi, ada juga yang berusaha menjadikan kebun mereka sebagai lokasi wisata agribisnis, yakni pembeli dipersilahkan memetik sendiri dan baru membelinya.
Salah satu petani jeruk, Sarmini (60), mengatakan jeruk sebenarnya bukan fokus utama dia bertani. Sebabnya, ketika menanam pertama kali banyak warga yang masih ragu apakah tanaman tersebut cocok dengan iklim di desa setempat. Itulah alasannya jeruk masih sekadar ditanam di pematang ladang. Sementara di tengah ladang diperuntukkan buat tanaman palawija yang lain.
"Tapi setelah lima tahun ternyata sudah berbuah seperti sekarang," kata Sarmini.
Dia menceritakan, bibit merupakan bantuan dari pemerintah lima tahun lalu. Saat itu dia menanam sekitar 80 pohon, dan bertahan sampai berbuah sekarang sekitar 50 pohon. Buah dari 50 pohon inilah yang sekarang dia jual dengan harga tergolong murah, yakni Rp2 juta. "Mau jual sendiri juga tidak bisa, ditebas (ijon) saja," kata Sarmini. Bersambung. [pur/col]