Sastra dan Wakil Rakyat

Oleh: Alit Budiman

Aku bangun kesiangan. Waduh! Kenapa denganku. Tak biasanya aku bangun sesiang ini. Kemarin-kemarin, aku bisa bangun subuh lalu sedikit menggerakkan badan di teras sambil mendengar perkutut manggung. Tapi pagi ini, ketika bangun matahari sudah mengintip. Istriku sudah sibuk di dapur. Biasa, pasti sedang menyiapkan teh. Sstt...pasti disertai....

“Enaknya tidur terus. Sudah siang begini masih ngorok. Mentang-mentang hari Minggu,” teriaknya. Duh, benar kan?

Aku yang masih menggerak-gerakkan tulang punggungku yang mulai tua ini tiba-tiba ingat bahwa ada jadwal penting. Aku pun bergegas masuk ke rumah. Teh hangat di meja langsung kuseruput.

“Buk, tadi ada Pak Ridwan ke sini nggak?” tanyaku.

“Ya tadi kesini. Makanya jangan tidur saja,” jawab istriku masih dengan nada tinggi. Kalau sudah begini, tindakan bijaknya adalah memilih diam. Nggak bersuara lagi.

Park Ridwan, tetanggaku yang seorang ketua partai itu memintaku mengisi acara dialog sastra. Dialog ini tak main-main, karena dilakukan di gedung wakil rakyat. Pesertanya adalah para anggota dewan. “Kau kan punya tampang seniman, rambutmu gondrong, nah bantulah aku ya,” begitulah ia merajukku.

Aku sempat hendak protes. Memang seniman bisa dilihat dari model rambut? Lalu bagaimana kalau dia pedagang, apa rambutnya keriting seperti mi instan? Ada-ada saja. Tapi protesku ndak sampai terucap. Karena dia berkata lagi “Soalnya yang narasumber beneran mendadak ndak bisa datang.” Asem. Sudah dipaksa jadi seniman, eh masih digolongkan seniman bohongan.

Pak Ridwan dan aku punya banyak kesamaan. Kita sama-sama punya istri yang galak. Haha. Meski dia dihormati di partai, tapi kalau sudah di rumah, dia jadi penurut banget. Tapi, kami sama-sama punya punya siasat saat ngomongin istri di luar. “Bukan soal takut istri atau tidak, tapi itulah bentuk sayang kita pada istri, pada keluarga.”

Dan lantaran alasan itulah kenapa aku tidak bisa menolak permintaannya. Aku pun mengiyakan tawaran itu, meski pengetahuanku tentang sastra hanya seujung sendok saja. Itupun sendok kopi yang kecil itu.

Aku bersiap-siap berangkat. Mandi dan berpakaian yang pantas. Bukankah kita harus menghormati yang terhormat wakil rakyat. Beberapa buku tentang sastra kumasukkan ke dalam tas. Siapa tahu nanti butuh. Sebelum ke gedung wakil rakyat, aku mampir ke rumah Pak Ridwan dan ternyata dia sudah lebih dulu berangkat. Asem, padahal aku hendak nunut mobilnya.

Di ruang sidang dewan, tempat duduk tertata rapi. Semua ada namanya masing-masing. Kursi di ruang ini ternyata memang tak sembarangan. Pantas saja diperebutkan. Aku langsung duduk di kursi yang disiapkan. Setelah panitia membuka acara, aku langsung diminta bicara.

“Bapak-bapak, ibu-ibu yang terhormat. Sastra adalah sesuatu yang indah, puitis dan bisa menyentuh hati paling dalam. Saya yakin, semua yang ada di sini adalah sastrawan-sastrawan, penyair-penyair handal. Bapak-bapak dan ibu-ibu lah sebenarnya sastrawan itu. Karya-karya panjenengan semua nyata di masyarakat. Hati kami pun tersentuh dengan setiap apa yang panjenengan semua bicarakan,” aku terus berbicara.

“Kata-kata yang keluar dari gedung ini adalah gelombang puisi indah yang ada putusnya. Hati siapapun yang mendengarnya akan tergerak untuk menebarkan kemanusiaan. Tak rugi jika negara membangun gedung ini sangat megah. Karena demikianlah penyair dan sastrawan seharusnya berumah. Panjenengan semua adalah sosok-sosok yang akan hidup sepanjang masa dalam hati setiap orang. Puisi yang panjenengan ciptakan akan terus mengiringi setiap hembusan napas semua orang. Luhur mulia apa yang tersabda dari gedung ini.”

Tepuk tangan meriah menyambut kata-kataku terakhir. Tak ada dialog atau tanya jawab setelahnya. Semua seperti terpesona dengan ucapanku. Saya melihat Pak Ridwan tepuk tangan paling keras sambil berdiri dari kursinya. Mereka mengelu-elukanku sebagai seniman berbakat. Lalu aku beranjak hendak meninggalkan ruang. Seseorang berpakaian dinas mencegatku, menyodorkan amplop tebal. Pasti uang, pikirku.

Aku melangkah keluar gedung. Sesampai di parkiran, aku menoleh. Kuamati gedung besar itu. Aku tersenyum. Pantas saja ada seorang presiden yang mengatakan bahwa yang ada di dalam sana adalah para siswa taman kanak-kanak. Aku tersenyum lagi. Lalu bergegas pulang.