Mengulik Dusun Keramat di Desa Mulyorejo Tuban, hingga Tradisi Manganan Tunggon

Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan

blokTuban.com – Desa yang terletak kurang lebih sekitar 3 Km dari kantor Kecamatan Singgahan ini, Mulyorejo menjadi salah satu desa yang terletak di Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban. Desa yang terbagi menjadi 2 dusun yakni Dusun Trembul dan Dusun Pandean ini terletak di wilayah seluas 7,59 Km persegi.

Dengan wilayah seluas itu jumlah penduduk yang menempati Desa Mulyorejo kurang lebih berkisar 2702 an Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sekitar 871, yang mana warganya memiliki mayoritas profesi sebagai Petani.

Desa Mulyorejo berbatasan langsung dengan Desa Tingkis di sebelah Utara, Desa Manjung dan Desa Tanggulangin Kecamatan Montong di sebelah Timur, Desa Kedungjambe dan Desa Tunggulrejo di sebelah Selatan dan Desa Mergosari di sebelah Barat. Desa Mulyorejo sekarang dipimpin oleh Warwilan, S.P selaku Kepala Desa.

Di Desa Mulyorejo ini terdapat 2 dusun yang mana dusun tersebut mempunyai sejarah hingga tradisi di setiap tempat yang dianggap keramat di masing - masing dusun, adapun kedua dusun tersebut yakni Dusun Pandean dan Dusun Trembul, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Didik Sutikno (26) selaku Kaur Tata Usaha dan Umum Desa Mulyorejo menjelaskan berdasarkan sumber dari sesepuh, juru kunci Punden Tunggon, pengamat budaya dan juga dari RPJM Desa mengenai sejarah yang terdapat di Desa Mulyorejo yang pertama yakni mengenai sejarah Dusun Pandean.

Di dusun ini sendiri terdapat sebuah tempat yang bernama Sumur Gede dan tempat yang bernama Kalangan yang mana konon pada dahulu ditempat tersebut ada dua pande besi yang selalu bersaing dan saling bermusuhan yang pada akhirnya kedua pande besi tersebut menantang untuk adu jago di tempat yang disebut Kalangan.

Dari kejadian tersebut tempat yang menjadi ajang adu Jago kedua pande besi tersebut diberi nama Pandean yang berasal dari kata Pande yang selalu Bermusuhan.

Selain itu yang kedua yakni Dusun Trembul yang memiliki sebuah sejarah dengan beberapa versi yang sedikit berbeda dengan bersumber pada Mbah Sumar selaku Juru Kunci Punden Mbah Buyut Tunggon dan Mbah Darmaji selaku Sesepuh desa serta dilengkapi dan diperkuat oleh Mbah Supigi selaku pengamat budaya.

Bahwasanya dahulu ada dua orang bersaudara laki – laki dan perempuan yaitu Mbah Kusumo/Mbah Sumo dan Mbah Raminah mereka melakukan tapa berata dan mendapat wahyu dari Dewa atau Tuhannya bahwa mereka disuruh berjalan ke arah Utara – Barat (Ngalor – Ngulon) ke Gunung Batur disana mereka bertapa di Selo Pangeran.

Kemudian mereka mendapat wahyu lagi disuruh berjalan ke arah Barat sampai di Goa Bayang (Goa yang berada di Dusun Trembul) dan kemudian mereka masuk dan tembus ke Mbrubulan (Sumber air yang berada di Dusun Trembul) mereka keluar dari Mbrubulan dan kemudian keluar air yang berlimpah yang sampai saat ini dipakai warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Setelah keluar dari Mbrubulan mereka mendapat wahyu lagi dan berjalan ke arah Barat dan sampailah di Krepyak dan disana meraka mulai untuk membabat alas dan membuat perkumpulan dan bertapa disana.

Yang mana kemudian Mbah Kusumo meminta Mbah Raminah untuk mencari kutu di kepalanya. Pada saat itu Mbah Raminah sedang menyimpan belalang (Walang Gambuh) yang ia temukan saat babat alas dan menyimpannya di dalam ikat pinggang dari kain (udet).

Saat mencari kutu dikarenakan Mbah Raminah posisinya berada di belakang atau di punggungnya Mbah Kusumo. Mbah Kusumo merasa kalau dipunggunya ada yang menendang – nendang dan bergerak yang mana hal itu berasal dari perut Mbah Raminah dan mengira bahwa saudaranya itu sedang mengandung. 

Dengan rasa kesal dan kecewanya Mbah Kusumo menusukkan Patrem (Pusakanya) ke perut Mbah Raminah dan meninggal yang akhirnya keluarlah belalang dari dalam ikat pinggang Mbah Ruminah.

Melihat ada belalang tersebut Mbah Kusumo menyesal dikarenakan yang menendang – nendang dari perut Mbah Raminah bukan bayi melainkan belalang, dan dari situ diberilah nama tempat tersebut yakni Trembul dari kata Patrem (pusakanya) dan Timbul belalang. 

Dari rasa penyesalan tersebut Mbah Kusumo berjanji akan menunggui saudaranya ditempat itu sampai beliau meninggal dan dikubur di tempat itu. 

Dari situ akhirnya ada sebuah tradisi yang bernama Tunggon yang berasal dari kata Tunggoni (Menunggui), dan karena Mbah Kusumo dan Mbah Raminah dianggap tetua di tempat tersebut maka sampai sekarang diadakan manganan atau sedekah bumi ditempat tersebut.

Muhammad Didik Sutikno pun menambahkan mengenai asal - usul Mbah Kusumo dan Mbah Raminah sendiri memiliki dua versi yakni yang pertama ada yang mengatakan bahwa beliau merupakan pelarian dari Kerajaan Pajang bersama Mbah Jabbar Nglirip yang mana Mbah Kusumo dan Mbah Raminah yang entah itu adalah saudara kandung atau saudara seperguruan melarikan diri dan sampai ke Trembul ini.

“Ada yang bilang dari sana ada juga yang bilang Mbah Kusumo ini adalah anak dari Adipati Tuban jadi beliau berkelana lah sehingga tibalah disitu membuat tempat disitu, menetap disitu, waktu meninggal ada yang bilang kalau beliaunya dibawa ke Blora daerah Blora karena disana juga ada saudaranya menjadi Adipati Blora. Ada yang meyakini itu makam Mbah Kusumo dan Mbah Raminah ada yang meyakini juga Mbah Kusumo dan Mbah Raminah dibawa saudaranya ke Blora dan disitu itu pusakanya ada yang bilang seperti itu,” Ujar pria yang akrab disapa Didik saat di wawancarai blokTuban, Senin (11/12/2023).

Mengenai tradisinya sendiri di Desa Mulyorejo tepatnya di Dusun Trembul masih mengadakan Tradisi Manganan Tunggon yang dilaksanakan disebuah Punden Mbah Buyut Tunggon. Punden Mbah Buyut Tunggon ini terdapat sebuah makam dari Mbah Kusumo dan Mbah Raminah kemudian ada tempat pertapaan Mbah Kusumo serta ada sebuah petilasan dan jejak tempat perkumpulan dari Mbah Kusumo.

Tradisi ini dilakukan sebagai rasa hormat kepada tetua atau leluhur desa yang mana biasanya dilakukan pada hari Senin Kliwon. Biasanya dilaksanakan setelah Panen Raya dengan mengadakan manganan atau sedekah bumi serta tahilan dan kesenian langen tayub atau kesenian – kesenian lain sesuai dengan minat warga setempat. 

Selain itu juga ada tradisi yang dilakukan di Dusun Pandean yakni di sebuah tempat yang bernama Kalangan dan Sumur Gede yang biasanya dilakukan dihari Sabtu setelah tradisi di Dusun Trembul yakni berupa manganan atau sedekah bumi.

Dibahas sedikit mengenai mitosnya yang terkenal khususnya di Dusun Trembul yakni tidak berani menikah dengan orang dari desa Mergosari dan mitosnya kalau nekat menikah maka akan meninggal.

Salah satunya penyebabnya sendiri menurut Muhammad Didik Sutikno menjelaskan bahwa pada zaman dulu orang mergosari mau melamar entah yang dilamar itu orang dari manjung atau mana dan saat melewati daerah Mulyorejo ditolak sehingga leluhurnya bersumpah kalau anak turunnya tidak boleh menikah dengan orang Mulyorejo dan sampai sekarang masih dipegang teguh.

“Ini tidak mitos mas ya bahkan orang trembul di pasar singgahan beli kambing katakan lah enggak dikasih tau penjualnya misal tanya ini kambing darimana enggak dikasih tau ini dari mergosari situ, akhirnya dibeli kan kemudian nyampe rumah mati ayam pun begitu. Bahkan ini ada orang sini juga pernah temannya minta burung perkutut orang mergosari dibawa sampai rumah mati mas. Tapi juga sama kok kalau masih Desa Mulyorejo enggak berani cuma yang terkenalnya trembul,” Tutup didik. [Naw/Ali]