Telah Berdiri Sejak Era Kolonial Belanda, Inilah Asal - Usul dan Tradisi Desa Tanggir Tuban

Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan

blokTuban.com – Tanggir merupakan salah satu nama desa yang terletak di Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban. Desa yang terletak sekitar 38 km dari Ibukota Kabupaten Tuban ini memiliki luas desa sekitar 305 Hektar yang mana Desa Tanggir hanya memiliki 1 dusun yakni Dusun Krajan.

Dengan jumlah dusun yang hanya satu saja maka dalam pembagiannya di Desa Tanggir memiliki 11 RT ini. Pada tengah–tengah desa tersebut ada sungai Kening sehingga hal itu menjadi sekat antar wilayah dengan sebutan Brang Kidul (wilayah Selatan), Brang Lor (wilayah Utara), Brang Wetan (wilayah Timur) dan Brang Kulon (wilayah Barat). 

Desa Tanggir memiliki jumlah penduduk yang menghuni kurang lebih sekitar 2.700 jiwa ini warga setempat mayoritas bekerja sebagai petani atau buruh tani. Dengan berbatasan langsung dengan Desa Lajo Lor di sebelah Utara, Desa Tanjungrejo di sebelah Barat, Desa Lajokidul di sebelah Barat, dan Desa Mergosari di sebelah Timur.

Membahas mengenai sejarah serta asal – usul Desa Tanggir seperti yang dijelaskan oleh H. M Sholehuddin selaku Kepala Desa Tanggir menuturkan bahwa Desa Tanggir berdiri pada tahun 1865. Pada saat berdirinya desa masih pada era Kolonial Belanda yang mana pada tahun tersebut Desa Lajo dimekarkan menjadi 3 desa yakni Lajo Lor, Lajo Kidul dan kemudian baru Desa Tanggir.

Menurutnya, nama Desa Tanggir sendiri berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat yakni berawal ketika ada banyak orang yang meninggal di Desa Tanggir kala itu. Pasalnya, arti dari kata Tanggir sendiri berasal dari 2 kata yakni Batang (Bangkai) dan Minggir yang mana hal itu digabung menjadi Tanggir.

“Kisahnya itu ketika ada banyak orang meninggal yang muncul di desa kami artinya Batang (Bangkai) Minggir kira – kira gitu. Tapi yang pasti dari kisah di desa ini itu banyak batang–batang (bangkai–bangkai) yang minggir kira – kira gitu disitulah disebut Tanggir,” ujar pria berusia 43 tahun tersebut, Kamis (16/11/2023)

Adapun mengenai tradisinya, hingga kini Desa Tanggir masih melakukan tradisi turun temurun berupa manganan atau sedekah bumi. Biasanya, sedekah bumi ini dilaksanakan di sebuah makam tetua yang terletak di Desa Tanggir yakni Makam Syekh Abdurrohim. Adapun dikisahkan Syeh Abdurrohim ini belum dikatehui pasti mengenai asal usulnya dan sebelum diketahui namanya makam tersebut bernama Mbah Kandangan.

Diberi nama Mbah Kandangan sendiri dikarenakan pada zaman dulu saat ada orang yang mengembala sapi, kambing dan lewat di seputaran makam tersebut maka hewan–hewan tersebut akan mati.

Kemudian dikarenakan setiap ada hewan yang lewat di situ berakhir mati maka dibuatlah sebuah pagar batas yang mana ada seorang sesepuh yang dianggap tau hal supranatural memagari batas wilayah makam Syekh Abdurrohim. Jadi kalau ada hewan yang lewat sana tidak boleh karena dikandangi makamnya.

Pernah suatu ketika, masih kata Sholehuddin ada seorang Kiyai yang berkunjung ke pondok pesantren di Desa Tanggir kemudian beliau berkeliling di sekitaran makam Mbah Kandangan yang mana kemudian beliau mengatakan bahwa makam tersebut adalah makam dari Syekh Abdurrohim. 

Alasan warga menganggap makam tersebut istimewa sampai diadakan sedekah bumi serta haul dikarenakan di makam tersebut juga sering dipakai warga untuk bernazdar. Apabila saat nadzarnya terpenuhi maka warga yang bersnagkutan akan memotong ayam atau kambing di tempat tersebut. Kemudian berkembang menjadi tradisi manganan atau sedekah bumi dan disempurnakan menjadi sebuah tahlil bersama dan kemudian menjadi agenda rutin Haul Syekh Abdurrohim yang biasanya dilakukan pada Bulan Besar kalender Jawa di hari Jumat Pon.

Selain sedekah bumi yang dilakukan di Makam Syekh Abdurrohim pernah ada juga warga yang melaksanakan sedekah bumi di sebuah tempat tanaman padi. Hal ini bukan tanpa alasan yang mana dikisahkan bahwa batas wilayah Tuban dahulu tidak sampai ke Desa Tanggir ini dan wilayah tersebut masih masuk ke Kabupaten Blora jadi hal tersebut terjadi sebuah perebutan wilayah antara masyarakat Blora dan Tuban.

“Kemudian perang tanding antara orang sini dengan orang Blora beberapa hari itu enggak ada yang kalah dan menang, keputusasaan itu muncullah kata – kata ikrar. Ikrarnya begini 'kalau menang batas wilayah Tuban mari kita adu kekuatan lewat ikrarnya tadi lewat tanaman kalau tanaman padi itu lebih tinggi setinggi anak sapi otomatis ini wilayah Tuban'. Sehingga wilayah sini masuk kawasan Tuban,” bebernya kepada blokTuban.com. 

Oleh karena itu, dengan adanya hal ini banyak masyarakat yang melakukan sedekah bumi yang dilakukan beberapa lokasi. Tetapi kemudian hal itu tidak dilakukan lagi dikarenakan dipatahkan oleh beberapa kiyai atau sesepuh desa sehingga sampai sekarang tidak ada sedekah bumi di tempat tersebut. 

Selain itu juga ada sebuah tradisi Jawa lain yang masih ada yakni bernama Suroan, yang mana dengan syukuran makanan bubur yang biasanya dilakukan di perempatan–perempatan desa dan dilakukan setiap bulan Suro.

Sementara itu terkait potensi desa, saat ini pihak pemdes fokus pada pengembangan sumber daya alam dikarenakan Desa Tanggir sendiri untuk saat ini masih belum mempunyai Pendapat Asli Desa (PADesa).

“Sebenarnya impian saya itu ada pengelolaan sumber daya alam. Impian kami itu kalau sumber daya alam kita kelola kita kontrak, dengan ikatan perjajiannya jelas,” tutupnya. [Mad/Dwi]

 

*Penulis merupakan mahasiswa aktif Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang magang di media blokTuban.com.

 

Temukan konten blokTuban.com menarik lainnya di GOOGLE NEWS