Panggil Aku Genduk!

Oleh: Sandi Ovinia *)

Novel berjudul Genduk ini bersetting waktu sekitar tahun 1970 di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Genduk adalah tokoh utama dalam cerita dengan kepribadian gadis berumur 11 tahun yang sederhana namun memiliki rasa keingintahuan yang besar serta tekad yang kuat dalam menjalani kehidupannya yang keras. Genduk tinggal di desa paling puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Tepatnya di Desa Ringinsari bersama ibunya yang biasa ia panggil biyung.

Sejak kecil Genduk selalu penasaran dan bertanya-tanya bagaimanakah rupa bapaknya yang dari bayi belum pernah dilihatnya itu. Dalam novel ini, Genduk masih digambarkan sebagai seorang gadis yang mencari jati diri serta mencari keberadaan ayahnya yang seumur hidup belum pernah dilihatnya. Genduk hidup sebagai anak yatim dengan biyung yang kaku dan tegas di sebuah gubuk reyot yang memiliki pohon jambu di halaman depannya yang mungil.

Pohon jambu itulah yang menjadi teman setia Genduk melamun dan menghayalkan berbagai hal indah yang mungkin saja dapat dilihatnya dari atas pohon jambu tersebut. Di bawah desanya, terdapat desa-desa lain yang akan menghubungkan akses jalan ke kota Parakan. Pusat kota tempat berbagai macam ilmu dan kemajuan teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan desanya yang belum ada listrik sama sekali. Bahkan pak lurah pun hanya bisa menyalakan televisi menggunakan aki.

“Ingatanku tentang Pak’e lindap… seperti kabut yang datang pada pukul 4 sore yang menyelimuti lereng-lereng terjal Sindoro. Abu-abu. Dingin. Sunyi. Aku harus menyudahi harapku. Tetapi kemudian, titik-titik cahaya muncul. Terang benderang. Berkilau. Bukan di langit. Tapi nun jauh di sana. Kota Parakan yang mulai hidup ketika lampu-lampu dinyalakan. Dari atas pohon jambu rumahku lampu-lampu itu hanya sebesar raupan tangan. Entah kenapa aku mempunyai keyakinan akan menemukan pak’e disana.” Itulah petikan dialog Genduk yang berbicara sendiri dengan hatinya yang sedih dan merindukan bapaknya.

Di tengah-tengah konflik dalam dirinya mengenai keberadaan bapaknya, yang ia panggil pak’e, muncul konflik lain yang menimpa para petani tembakau di desanya. Hampir seluruh penduduk menggantungkan kehidupan mereka pada daun-daun tembakau yang bagaikan emas hijau tersebut. Termasuk biyung Genduk yang kerja keras mati-matian merawat ladang tembakau milik mereka. Para petani yang menghasilkan tembakau kualitas bagus tersebut harus menelan kekecewaan dan kerugian sejak ditipu oleh para gaok dan tengkulak. Bahkan desa digegerkan dengan peristiwa bunuh diri salah satu petani sebab telah menjadi korban penipuan tengkulak dan tidak tahan dengan kejaran rentenir.

Genduk merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu penjualan tembakau milik biyung-nya yang merupakan harapan terbesar keluarga tanpa bapak itu. Genduk beranjak remaja dan terpaksa harus merendahkan harga dirinya pada seorang tengkulak bernama Kaduk yang berjanji akan membeli tembakau panenan biyungnya dengan harga tinggi jika Genduk mau menuruti permintaannya. Tapi ternyata Kaduk hanya membohongi anak yatim tersebut dan hasil panenan tembakau pun urung dibeli sampai berhari-hari. Genduk memutuskan untuk minggat dari rumah menuju kota Parakan dan di sanalah ia terlunta-lunta sampai akhirnya mengetahui kebenaran bahawa bapaknya memang sudah meninggal dalam kisruh PKI tempo dulu.

Dengan tekad yang meluap-luap Genduk percaya diri menemui seorang juragan tembakau terkaya di kota Parakan bernama mbah Djan dan menceritakan segala duduk persoalan para petani tembakau di desanya yang telah tertipu tengkulak dan mengalami kerugian yang cukup besar. Berkat keberaniannya tersebut, akhirnya petani-petani tembakau di desa Ringinsari tak perlu takut pada tengkulak-tengkulak yang menipu mereka sebab tembakau mereka akan dibeli dengan harga yang sesuai dengan kualitas tembakau yang mereka hasilkan.

Banyak hal menarik
Selain judul dan latar waktu yang mengambil tahun 1970, novel ini begitu menarik karena menyuguhkan budaya kultural desa Ringinsari yang merupakan desa paling puncak Gunung Sindoro. Penulis menggambarkan begitu nyata bagaimana perbedaan budaya orang-orang nggunung dengan orang-orang kota Parakan yang lebih maju.
Meskipun novel ini selalu menceritakan kehidupan sehari-hari yang sederhana, nyatanya cerita sederhana itulah yang mampu menggugah hati pembaca untuk terus melanjutkan halaman per halaman karena semakin dibaca, tulisan Sundari Mardjuki mampu mengingatkan momentum permainan anak-anak pada jaman dahulu yang berbanding terbalik dengan jaman sekarang.

Sundari memasukkan berbagai budaya orang Temanggung dalam ceritanya tanpa sedikitpun membuat pembaca jenuh. Contohnya budaya wiwitan, permainan obak sodor, gending-gending jawa dan juga puisi-puisinya yang bukan hanya indah tapi memiliki makna yang dalam. Selain warna lokal yang begitu penting, pembaca juga dapat mengetahui banyak hal tentang daun yang bernama tembakau, yang merupakan harapan paling besar masyarakat desa Ringinsari. Genduk dan para petani lain menanam dan memanen tembakau sampai merajangnya hingga dapat terjual ke pabrik-pabrik rokok.

Di tengah-tengah cerita, kehidupan remaja Genduk semakin menarik dengan munculnya putra pak Lurah Cokro yang bernama Sapto Adi dan menaruh hati pada Genduk. Sapto selalu mendekati Genduk dengan alasan meminjam buku catatannya. Bagi Genduk, di depan Sapto ia harus tampil cantik dan rapi meskipun baju-baju yang ia pakai bukanlah pakaian yang mahal.

Selain kisah asmara Genduk, penulis juga menjabarkan berbagai jenis tembakau dari kualitasnya. Totol C, Totol D hingga seterusnya sampai pada daun yang berwarna gelap dan memiliki aroma paling kuat. Daun inilah emas yang sebenarnya, disebut Srintil, dan berharga paling tinggi. Petani yang mampu menghasilkan daun tembakau kualitas srintil akan sangat memperoleh keuntungan yang besar. Tidak heran Sundari mampu mengemas berbagai hal menarik mengenai tembakau, petani, bahkan proses penanaman hingga kualitasnya yang paling tinggi sebab pembuatan novel ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun dan riset langsung ke petani di Desa Mranggen Kidul, Parakan Kabupaten Temanggung. Beberapa petani yang menjadi narasumber karya Sundari Mardjuki ini sekarang sudah wafat.

BIODATA BUKU: Judul : Genduk I Penulis : Sundari Mardjuki I Cetakan : 2016 I Penerbit : Gramedia
*) Penulis adalah: Mahasiswa semester 3 S1 keperawatan Stikes Icsada Bojonegoro, anggota Lembaga Pers Mahasiswa.