blokTuban.com - Selama tujuh tahun terakhir, konsumsi komoditas energi LPG secara ajek merangkak naik. Melesat hingga 2,9 juta metrik ton (MT), Senin (22/1/2024).
Dari awalnya terdistribusi 6,29 juta MT pada tahun 2017, sekarang mencapai angka 8,0 juta MT di tahun 2023. Serapan ini lebih sedikit di atas kouta elpiji subsidi yang dipatok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu 8,05 juta MT.
Sayangnya, tren peningkatan konsumsi ini tidak menyentuh sasaran utama. Pola distribusi terbuka membuka ruang bagi semua kalangan masyarakat mudah memperoleh komoditas bersubsidi ini.
Apalagi masyarakat terlanjur mengenal elpiji 3 Kg lebih praktis dan kompetitif. Padahal peruntukan awal hanya bagi rumah tangga miskin, usaha mikro-kecil (UKM), nelayan, dan petani sasaran. Tentu, kondisi tersebut kian membebani belanja negara.
Sepanjang 2023, butuh dana sebesar Rp95,6 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat agar bisa mengakses Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji 3 Kg. Pemerintah pun kembali mengalokasikan Rp113,3 triliun untuk kedua subsidi tersebut di tahun 2024.
"Harus ada kebijakan pemerintah bagaimana bisa mengoptimalkan subsidi ini diterima dengan baik untuk masyarakat," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam keterangan resminya dikutip dari laman Kementrian ESDM.
Pembenahan distribusi kini sudah mulai dilakukan. Pemerintah mengubah aturan. Menggeser penyaluran elpiji subsidi dari berbasis komoditas ke penerima manfaat. Praktisnya, per 1 Januari 2014 hanya pengguna terdaftar saja yang diperbolehkan membeli elpiji 3 Kg. Status data bisa diperiksa melalui Nomor Induk Penduduk (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Penyesuaian data konsumen elpiji 3 Kg berbasis sistem Merchant Apps Lite (MAP Lite) sendiri tengah dijaring sejak 1 Maret 2023, termasuk dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) desil 1 s.d 7.
Melihat tingginya demand elpiji di masyarakat berimbas pada besaran impor elpiji. Karakteristik gas Indonesia yang minim Propana (C3) dan Butana (C4) serta belum memadainya kilang infrastuktur elpiji ditengarahi sebagai faktor pendorong impor.
"Impor elpiji kita (Indonesia) kurang lebih 5-6 juta MT," ungkap Arifin.
Atas dinamika tersebut, pemerintah begitu responsif mencari jalan keluar. Pembangunan pipa transmisi gas terintegrasi dari Aceh hingga Jawa tengah digenjot secara simultan. Upaya ini diharapkan sebagai jalan keluar (breakthrough).
Terbangunnya infrastruktur gas diharapkan mampu menjawab kebutuhan jaringan gas (jargas) kota. Akan ada penambahan penerima manfaat sebanyak 300 ribu sambungan rumah tangga (SR) melalui pipa Cirebon-Semarang (Cisem) dan 600 ribu SR melalui pipa Dumai-Sei Mangkei.
"Ini bisa mengurangi subsidi elpiji 3 kg Rp0,63 triliun per tahun dan hemat devisa impor elpiji Rp1,08 triliun per tahun," Tutuka merinci.
Tak cukup di situ, pemerintah bakal segera merampungkan pembangunan pipa Cirebon-Semarang (Cisem) tahap 2 sepanjang 240 km. Penyelesaian ini akan menciptakan harga gas yang lebih terjangkau dengan toll fee pengangkutan gas yang lebih rendah. Sekaligus sanggup menghemat biaya masak elpiji ke jargas sekitar Rp0,05 per tahun.
Pemerintah sendiri mematok target 2,5 juta rumah tangga tersambung jargas. Agar hal ini terwujud, pemerintah tengah mencari skema pembiayaan melalui Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Langkah ini diharapkan mampu mengakselerasi pengembangan jargas di kemudian hari.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Laode Sulaeman mengungkapkan, ada banyak benefit dari implementasi skema KPBU. Pemerintah akan menanggung sebagian risiko badan usaha dalam pembangunan jargas. Di samping itu, KPBU bisa mempercepat pembangunan jargas secara masif.
"Misalnya mulai (pembangunan jargas) di Batam bisa langsung 300.000 SR," jelasnya.