Hak Warga Negara untuk Dipilih dan Memilih “Dalam Perspektif Negara Demokrasi”

Oleh: Suhendra Mulia, M.Si.

blokTuban.com - Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi. Di dalam suatu bangsa, etika politik merupakan salah satu etika yang membentuk kehidupan berbangsa. Etika politik mengkaji tentang tanggung jawab manusia sebagai warga negara sekaligus sebagai manusia. 

Ruang lingkup etika politik terbatas pada teori-teori yang membahas tentang cara yang bertanggung jawab dalam kegiatan legitimasi politik. Etika politik tidak dibangun melalui prasangka dan emosi yang bersifat apriori.  

Prinsip pembentukan etika politik ialah argumentasi yang rasional dengan sudut pandang yang objektif. 

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. 

Demokrasi tidak lepas diawali dari kemerdekaan Indonesia, dimana banyak tokoh-tokoh bangsa ini yang berkeinginan Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan demokrasi. 

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.

Hak dan Etika Politik 

Etika politik (id.wikipedia.org, 2022) adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada akhlak  ilmu tentang adat  dan budaya  kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia dengan Tuhan YME dan alam semesta.  Etika dan moral  mengandung kesamaan menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan.

Etika politik merupakan salah satu jenis dari etika sosial. Fungsi dari etika politik adalah sebagai salah satu pengatur keseimbangan di dalam pemisahan kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif. 

Etika politik dikatakan mengambil peran dalam budaya politik jika memiliki kemampuan untuk mengendalikan lembaga-lembaga dan mekanisme politik. Manfaat dari etika politik adalah terjaganya pergaulan politik yang bersifat harmonis.

Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro (2022), penerapan etika politik, baik oleh para peserta maupun penyelenggara negara dalam pemilu, berperan penting untuk menghindari hasil pemilu yang cacat secara hukum. 

Karena itu etika politik sangat penting. “Etika politik sangat diperlukan bagi penyelenggara negara dalam pemilu ataupun pilkada agar pemilu dan pilkada tidak ternodai atau hasilnya cacat secara hukum”.

Sejauh ini, keberadaan sejumlah pelanggaran terhadap etika politik yang ditemukan dalam pemilu, seperti politik transaksional disebabkan oleh ketiadaan payung hukum sebagai rujukan dan pengawasan yang lemah. 

Siti Zuhro mengatakan etika politik merupakan hal yang berkaitan dengan moral dalam berpolitik. “Etika politik terkait dengan moral politik, sedangkan politik oleh politikus hanya dimaknai sebagai penyalur kepentingan dan seni untuk meraih kekuasaan”. Etika politik dapat diibaratkan sebagai tulang punggung yang mendukung pelaksanaan demokrasi. “Etika politik ini adalah backbone atau tulang punggung kita dalam berdemokrasi”.

Di dalam negara demokrasi sangat disayangkan dengan isu yang beredar terkait penjegalan pada suatu individu yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin. 

Hal ini bertentangan sekali dengan UUD 1945 dan Pancasila, serta konsep-konsep dari pendiri bangsa ini tentang sebuah negara demokrasi itu sendiri. Untuk itu dengan persaingan yang sehat antar calon pemimpin ataupun kontestan/partai ini dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan pemilu sebagai sarana untuk menuju tegaknya sebuah demokrasi. 

Sementara Peneliti senior lainnya dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor (2022), pemilu secara substansi akan mengalami stagnasi kualitas berkepanjangan. Hal ini karena kualitas pemilu pada akhirnya tidak terlepas dari perilaku para pesertanya. 

Seberapa keras kita membangun mekanisme pemilu yang baik, penguatan kapasitas ataupun idealisme penyelenggara hingga pendewasaan para pemilih, manakala situasi tidak kunjung banyak berubah dari sisi partai sebagai aktor utamanya, maka potensi stagnasi itu selalu terbuka. 

Ini tidak berarti kita pesimistis, apalagi apatis, dalam melihat masa depan pemilu. Sebaliknya, ini harus mendorong kita untuk terus mengingatkan partai-partai atas problem yang mereka miliki dan kaitannya dengan jalannya pemilu. 

Kita harapkan pelan tapi pasti segenap problem itu dapat dipahami dan diatasi oleh partai-partai sehingga pemilu tidak lagi menjadi ajang sekedar mencari suara untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara. 

Sebaliknya, pemilu akan menjadi ajang unjuk gigi kehebatan komitmen demokratik dalam mewujudkan sebuah idealisme. Sekaligus juga sebagai ajang pembuktian pendekatan bernuansakan idealisme, bukan sekedar materi dalam meyakinkan pemilih. Hanya dengan itulah pemilu yang akan menentukan nasib bangsa kembali menjadi ajang pertarungan terhormat atas dasar aturan main. 

Dan lebih dari itu, pemilu pada akhirnya juga dapat benar-benar menjadi momen penting pengembalian marwah partai politik kita.

Dengan penegakan etika politik diharapkan para calon pemimpin ataupun partai-partai peserta kontestan sebelum, saat pemilu maupun setelahnya dapat mengikuti kompetisi ini secara sehat, bijak dan legowo atas hasil yang akan diterima nantinya. Persaingan dalam pemilu harus ditunjukan dengan komitmen dari gagasan, visi dan misi, serta program yang dikedepankan untuk kemajuan bangsa ini. 

Dan partai diharapkan menjadi lembaga yang memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Serta menjunjung tinggi hak seseorang yang bersedia mengajukan diri sebagai pemimpin bangsa ini, hal inilah yang membuat bangsa Indonesia menjadi besar. [*]