Penyebutan Istilah yang Tepat Bagi Penyandang Disabilitas

Reporter : Dina Zahrotul Aisyi

blokTuban.com - Media memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain berfungsi sebagai sarana edukasi dan sumber informasi, media juga mampu menjadi pembentuk opini publik dan berfungsi sebagai sarana advokasi, Kamis (3/3/2022).

Arizky Perdhana Kusuma, ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Probolinggo mengungkapkan, fungsi media sebagai sarana advokasi dan pendampingan tidak selalu berkaitan dengan hukum, tetapi ketika memberikan pendampingan kepada objek yang ditulis dan disampaikan kepada masyarakat luas.

Dalam kegiatan pelatihan refresh jurnalis yang diikuti oleh 30 jurnalis dari Kabupaten Tuban dan Probolinggo di Kota Batu tersebut, Rizky mengatakan ketika menulis sebuah berita diharapkan jurnalis harus menyisipkan nilai advokasi agar terdapat nilai kemanusiaanya.

“Jadi, tidak harus selalu datang kepada objeknya dan membantu secara langsung, tetapi bisa pula menggunakan tulisan dan disampaikan kepada publik, tentunya dengan prinsip konfirmasi,” jelasnya.

Selanjutnya, Rizky menyampaikan penjelasan terkait perkembangan istilah penulisan-penulisan yang biasa digunakan dalam isu disabilitas. Sebelumnya, peraturan di Indonesia menyebut penyandang disabilitas dengan iistilah penyandang cacat, yang mana dianggap tidak merefleksikan kondisi sebenarnya dari penyandang disabilitas.

Pada tahun 2011 terdapat convention on the right of person with disabilities (CRPD), yakni konvensi hak penyandang disabilitas yang diratifikasi di Indonesia pada 27 Maret 2011. Pada tahun 2016, muncul Undang-undang No. 8 tentang penyandang disabilitas.

“Indonesia wajib membuat regulasi, sehingga munculah undang-undang No. 8 Tahun 2016 tersebut. Pada saat itu baru muncul istilah disabilitas. Kemudian istilah tersebut berkembang lagi dengan istilah difabel, different ability,” ungkapnya.

Ketua Pertuni Probolinggo itu melanjutkan, penjelasannya terkait perbedaan difabel dan disabilitas. Difabel sendiri merupakan istilah yang diadvokasikan dan dipopulerkan agar digunakan masyarakat dalam penyebutan orang dengan disabilitas.

“Istilah ini belum disepakati secara internasional, yang disepakati internasional adalah istilah disability. Contoh dari difabel seperti ini, saya bisa membaca dengan huruf braile. Artinya, meskipun saya penyandang disabilitas netra, tetap saya bisa membaca seperti yang lain, tapi saya menggunakan cara yang berbeda,” jelasnya.

Jika ditanya terkait istilah yang tepat untuk penyebutan yang tepat bagi penyandang disabilitas, menurut Rizky dengan menggunakan istilah yang memiliki dasar hukum, yakni istilah disabilitas.

“Kedua, boleh menggunakan istilah difabel. Untuk membedakan satu dengan yang lain, bisa disisipkan seperti, disabilitas netra, disabilitas daksa, disabilitas mental/ intelektual, disabilitas wicara. Itu yang lebih tepat, sementara untuk temen-temen tuli lebih nyaman disebut tuli,” jelasnya.

Selanjutnya, pria asal Probolinggo itu melanjutkan dalam penyebutan istilah tersebut secara lisan dan tulisan bisa berbeda. Untuk tulisan, sertakan istilah disabilitas atau difabelnya. “Kalau menulis, sertakan keterangan disabilitasnya. Misalnya seperti, Rizky sebagai disabilitas netra, jangan langsung netra. Tetapi apabila diucapkan secara langsung, seperti ‘berapa jumlah temen-temen netra probolinggo?’ itu boleh digunakan,” lanjutnya.

Terakhir, Rizky menegaskan bahwa saat ini tidak lagi digunakan istilah cacat, normal-tidak normal, atau sempurna-tidak sempurna. “Menyebutnya begini, disabilitas dan non disabilitas. Bukan normal atau tidak normal, bukan lengkap atau tidak lengkap. Gunakan istilah disabilitas atau difabel, boleh,” pungkasnya. [Din/Ali]