Masalah Gangguan Pendengaran Masih Tinggi di Era Pandemi

Reporter : Dina Zahrotul Aisyi

blokTuban.com - Gangguan pendengaran menjadi penyebab tertinggi nomor empat pada penyandang disabilitas secara global. Dampak yang ditimbulkan dari adanya gangguang pendengaran sangat luas dan berat, bahkan bisa mengganggu perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial.

dr. Maxi Rein Rondonuwu, selaku Plt. Dirjen P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam temu media hari pendengaran se-dunia,Selasa (1/3/2022) mengungkapkan berdasarkan data world report of hearing tahun 2021, terdapat 1,5 juta penduduk dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Di mana 430 juta diantaranya memerlukan layanan rehabilitasi untuk gangguan pendengaran bilateral yang dialami.

Sementara berdasarkan data sistem informasi manajemen penyandang disabilitas kesehatan sosial tahun 2019, diungkapkan oleh dr. Maxi bahwasanya di antara penyandang disabilitas di Indonesia, sebesar tujuh persennya merupakan penyandang disabilitas rungu. 

“Prevalensi global gangguan pendengaran tingkat sedang hingga berat akan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia 60 tahun meningkat sebesar 12,7 persen, dan pada usia 90 tahun meningkat lebih dari 58 persen,” jelasnya.

Paparan dari kebisingan bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran, sebanyak 1,1 miliar anak usia 12-35 tahun diperkirakan mengalami gangguan pendengaran akibat terpapar kebisingan. 

“Hari pendengaran nasional tahun 2022 ini mengusung tema ‘jaga pendengaran kita kini dan nanti’. Tema ini mengandung pesan bahwa menjaga kesehatan pendengaran saat ini akan menjadi modal besar untuk kualitas pendengaran di masa yang akan datang,” jelasnya.

Dengan adanya hari pendengaran nasional ini, diungkapkan dirjen P2P sebagai momentum yang tepat untuk menyebarluaskan informasi terkait masalah gangguan pendengaran yang merupakan masalah kesehatan secara global, bukan hanya di Indonesia yang mestinya dapat dicegah dan direhabilitasi.

“Gangguan pendengaran dapat dicegah melalui tindakan preventif, seperti menghindari suara bising, praktek hidup bersih dan sehat, termasuk perawatan kesehatan telinga yang baik dan imunisasi. Selain itu gangguan pendengaran mampu diatasi apabila dapat diidentifikasi secara dini dan segera mendapatkan perawatan,” pesannya.

Sementara itu, Ketua PP PERHATI-KL, Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL (K) menjelaskan, di era pandemi Covid-19 berdampak pada fasilitas kesehatan. Seperti halnya ketika terdapat kebijakan PSBB maka pasien-pasien penyakit kronik yang seharusnya kontrol ke Rumas Sakit menjadi terhambat, penanganan pasien non Covid-19 yang diutamakan adalah pasien gawat darurat, sehingga penanganan penyakit lain menjadi terhambat, termasuk pada pasien gangguan pendengaran.  

“Kita tahu bahwa pandemi covid-19 ini, belum jelas sampai kapan akan berlangsung, sehingga tata laksana pasien non covid harus tetap optimal, termasuk masalah gangguan pendengaran ini agar dapat terdeteksi secara dini dan tidak menjadi komplikasi maka harus tetap datang ke RS untuk ditangani,” jelasnya.

Seiring dengan peningkatan kasus Covid-19, masalah-masalah pada kesehatan telinga dan pendengaran juga masih tetap terjadi, seperti infeksi telinga luar, telinga dalam, komplikasi dari infeksi telinga, gangguan pendengaran kongenital, gangguan pendengaran pada usia lanjut, tuli mendadak, dan kotoran telinga yang menyumbat.

“Ini semua masalah-masalah kesehatan telinga dan pendengaran di era pandemi yang tetap kita perhatikan dan kita jaga. Sehingga dengan protokol kesehatan yang bagus kita dapat menangani pasien-pasien dengan gangguan pendengaran,” ungkapnya.

Ketua PP PERHATI-KL tersebut melanjutkan, dari permasalahan tersebut pasien gangguan pendengaran membutuhkan layanan kesehatan yang intensif, sehingga perlu penyesuaian pelayanan kesehatan telinga dan pendengaran di era pandemi. 

“Tetapi tetap harus mengutamakan patient safety dan healthcare worker safety,” jelasnya. [Din/Ali]