Musim Hujan Jadi Tantangan Utama Pengrajin Gerabah Tuban

Reporter: Dina Zahrotul Aisyi

blokTuban.com- Kabupaten Tuban memiliki banyak daerah yang menjadi sentra kerajinan gerabah, seperti di Jalan Merik, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Tuban dan Kelurahan Karang, Kecamatan Semanding. 

Daerah tersebut sejak dahulu terkenal sebagai penghasil gerabah karena banyaknya pengrajin gerabah di daerah tersebut, meskipun saat ini hanya sedikit yang masih bertahan.

Mayoritas usaha kerajinan gerabah di daerah tersebut merupakan usaha turun temurun dari para terdahulu, seperti kerajinan gerabah milik Mak Somi. 

Lokasi usaha gerabah Mak Somi tepatnya di Kelurahan Karang, Kecamatan Semanding, perbatasan dengan Jalan Merik, Sidorejo. Saat dikunjungi reporter blokTuban pada Sabtu (16/1/2022) ia sedang membuat leleran yang nantinya akan dibentuk sebagai kuwali.

Ibu tiga anak tersebut sudah belajar membuat gerabah sejak kecil, tak heran jika bisa dengan mudah membentuk gumpalan tanah liat menjadi kuwali yang fungsional. Dalam sehari, jika sedang musim kemarau (ketigo) gerabah-gerabah yang dihasilkannya bisa lebih banyak dibandingkan musim hujan seperti saat ini.

“Kalau musim hujan susah, baru dijemur sudah hujan lagi. Hanya bisa bikin sedikit kalau mendung terus, hari ini baru buat kurang dari 100-an kuwali saja. Risiko terbesar musim hujan ini, bingung njemurnya,” terangnya.

Ia melanjutkan, proses pembuatan gerabah sebenarnya lumayan rumit dan memang sangat tergantung dengan panas matahari. Mulai dari tanah liat yang harus dijemur terlebih dahulu, kemudian diayak, direndam air selama semalaman, dan diberi campuran pasir laut baru bisa digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat gerabah.

“Kalau sudah dibentuk gini, harus jemur dulu sampai alum, terus baru dipukul-pukul gitu biar bisa bentuk kuwali. Setelah berbentuk kuwali dijemur lagi sampai kering, baru terakhir dibakar. Kalau nggak ada panas seperti sekarang ya lama keringnya, kadang satu bulan baru bisa dibakar,” jelasnya.

Somi melanjutkan, gerabah yang dibakar haruslah yang benar-benar kering karena jika belum terlalu kering sudah dibakar akan pecah. 

“Mbakarnya ini ya harus nunggu cuaca bener-bener panas kok, makanya orang sini minta panas terus aja, kalau nggak panas nggak bisa kerja,” jelasnya.

Untuk proses pembakaran gerabah diperlukan lahan yang luas. Ia biasa membakar di halaman sebelah rumahnya. 

“Sekarang pengrajin di sini paling tinggal 4 aja, lahannya yang buat mbakar sudah nggak ada soalnya udah pada dibuat rumah,” terangnya.

Mak Somi yang dibantu dengan Mak Sri saat ini hanya membuat kuwali saja, sebelumnya ia juga membuat vas, layah (cobek), wajan, dan mainan anak-anak yang berbahan tanah liat. “Sekarang buat ini aja, tinggal kuwali. Kalau mau dibuatkan vas-vas gitu pesen dulu,” ujarnya.

Gerabah yang sudah selesai proses pembakaran biasanya diambil oleh orang yang akan menjualkan gerabahnya, sehingga Somi hanya memproduksi saja tidak menjualnya secara langsung. 

“Habis dibakar gini udah ada yang ngambil, mereka yang nanti jual. Sebiji kuwali murah, Rp1.500 harganya. Kalau ngecer Rp2000,” jelasnya.[din/ono]