Begini Cara Hadapi Quarter Life Crisis agar Tidak Menimbulkan Masalah Kesehatan Mental Berkelanjutan

Reporter: Dina Zahrotul Aisyi

blokTuban.com- Menginjak umur dewasa, banyak persoalan terkait kehidupan yang akan dirasakan. Persoalan tersebut bisa menyangkut karir, percintaan, ataupun kehidupan sosial. Hal tersebut mungkin akan menyebabkan banyak keresahan dan ketakutan untuk menghadapai masa depan. 

Dari persoalan yang ada, istilah quarter life crisis atau krisis seperempat abad mungkin sudah sering didengar karena sering dialami oleh orang-orang di masa transisi usia muda ke dewasa.

Istilah quarter life crisis (QLC) secara teori masuk kedalam psikologi popular yang ditemukan oleh Eliot Jaques pada tahun 1957. Definisi QLC sendiri adalah sebuah periode di antara usia 20-30, dimana seseorang mengamali kecemasan, kebingungan dengan arah hidup, dan mempertanyakan kualitas hidupnya. Biasanya diwarnai seputar pekerjaan dan percintaan.

Alvieni Angelica, selaku psikolog dan founder enlightmind dalam acara Ruang Publik KBR mengungkapkan bahwa QLC di usia dewasa awal adalah hal wajar untuk dialami. Teori Erik Erikson disebutkan bahwa ketika usia remaja berarti masuk ke dalam usia mencari identitas, kemudian di usia dewasa awal mulai masuk ke periode intimacy. 

“Jadi ketika kita baru masuk ke periode mencari identitas dan intimacy, hal tersebut memang bisa menjadi menjadi isu besar dalam diri seseorang,” jelasnya.

Pengaruh lingkungan dengan terjadinya QLC adalah hal yang berkaitan erat, Alvi mengungkapkan  bahwa lingkungan terdekat justru yang seringkali menanyakan hal-hal yang tidak bisa dijawab. Pertanyaan berulang-ulang yang tidak bisa terjawab tersebut bisa mempengaruhi otak dan emosi seseorang. 

“Misalnya, udah lulus, udah kerja, ditanya kapan nikah? Nah kalau kita belum mempersiapkan hal itu dan mungkin belum ketemu orang yang tepat, kan pertanyaan seperti itu kita tidak bisa jawab,” terangnya.

Sementara itu, Valda Kustarini, pekerja swasta yang menjadi salah satu narasumber mengungkapkan bahwa pernah juga mengalami fase QLC di usianya yang menginjak 26 tahun. Ia bercerita, gejolak yang dirasakannya berupa perasaan insecure. 

“Waktu itu pertama kali kerja di sebuah perusahaan besar, pertama kali bertemu banyak orang baru, lingkungan baru. Akhirnya muncul perasaan semacam apakah saya cukup? Bener nggak ini yang aku suka? Paling banyak insecure terkait pekerjaan,” ceritanya.

Valda juga mengatakan bahwa saat pertama kali mengalami fase QLC, hal yang dilakukannya adalah denial dan menarik diri dari teman-temannya. 

“Aku nggak banyak kontakan sama orang, cuma ngelakuin hal-hal yang aku suka untuk melupakan masalah, tapi hal itu sebenarnya malah menumpuk masalah sih,” terangnya.

Alvi kemudian melanjutkan bahwa memang menarik diri bukanlah solusi untuk menghadapi QLC, sebab hal tersebut hanya distraksi sementara. 

“Ketika balik lagi ditanya hal demikian, maka masalah itu akan terus ada di dalam diri kita karena kita hanya menghindar bukan menyelesaikan,” ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa QLC dalam jangka panjang bisa menyebabkan bahaya, bisa juga tidak tergantung cara menyikapi kondisi tersebut.

 “Bahaya jangka panjangnya bisa sampai ke panic attack, serangan panik yang bisa terjadi kapan saja tanpa kita rencanakan,” lanjutnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, ketika seseorang menyadari ada sesuatu yang sudah mengganggu sampai mempengaruhi aktivitas normalnya, maka segara untuk mengkonsultasikan kepada professional. 

“Jadi misal yang biasanya kita semangat, terus males banget ke kantor, males baget merawat diri, pokoknya aktivitas sosial kita terganggu maka segera dikonsultasikan agar tidak berujung pada penumpukan emosi yang menyebabkan masalah pada kesehatan mental kita,” jelasnya.

Namun hal tersebut perlu diperhatikan jika sudah ada perasaan menganggu yang berkepanjangan, jika hanya satu atau dua hari, masih bisa disebut sebagai hal yang wajar.

“Kita perhatiin dulu, kadang kan ada hari males kerja, seperti Monday feeling, tapi kalau besoknya sudah biasa saja ya it’s okay. Tapi kalau sampai rasa malas itu berkepanjangan dan mengubah perilaku kita, seperti menarik diri, saat itu bisa mulai mengkonsultasikan ke psikolog,” terangnya.[din/ono]