Muri yang Selama 31 Tahun Bergelut dengan Kedelai busuk

Reporter : Savira Wahda Sofyana 

blokTuban.com – Tempe merupakan makanan tradisional yang sudah dikenal oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah Jawa. Sejak zaman penjajahan hingga saat ini, tempe masih terus eksis diberbagai penjuru Indonesia. 

Bahkan saat ini tempe, yang terbuat dari bahan utama kedelai yang difermentasi itu sudah tersebar di seluruh penjuru dunia. Tempe yang dahulu dikenal sebagai makanan rakyat atau makanan untuk rakyat bawah, kini semakin berkembangnya zaman, semakin banyak orang yang menyukai tempe tanpa pandang bulu. 

Di Kabupaten Tuban sendiri, banyak masyarakat yang mengolah makanan yang berbahan utama kedelai satu ini, termasuk di Desa Kedungrojo Kecamatan Plumpang. 

Salah satu warga yang membuat tempe di Kedungrojo adalah Muriati. Usaha tempe buatannya tersebut sudah ada sejak tahun 1990 atau 31 tahun yang lalu. 

“Usaha tempe ini sudah ada lama sekali, sekitar tahun 1990 an, ini usaha turun temurun juga dari orang tua dulu,” ujarnya kepada blokTuban.com pada Kamis (30/12/2021) di rumah produksinya. 

Ia menambahkan jika usahanya tersebut kini sudah banyak dikenal oleh masyarakat lantaran rasanya yang berbeda dengan tempe lain pada umumnya. Dikatakannya, jika untuk memperoleh tempe dengan kualitas yang baik, maka kedelai yang digunakan juga harus berkualitas baik pula. 

Selain itu tempe buatan perempuan berusia 51 tersebut, juga tidak tercampur dengan biji-bijian lain seperti kacang hijau, jagung ataupun biji-bijian lain.

 “Tempenya asli dari kedelai semua, tidak ada bahan campuran apapun cuma ragi saja, terus kalau orang buat tempe itu ada yang direbus dan yang dikukus, kalau kita direbus,” ucapnya.  

Biasanya Muri panggilan akrabnya membuat tempe sekitar 35 kilogram (kg) per hari dengan harga bermacam-macam. Bahkan sebelum pandemi ia mengaku bisa membuat tempe hingga 50 kg setiap harinya. 

Untuk bisa mendapatkan tempe dengan kualitas terbaik, tempe olahan Muri tersebut harus melewati beberapa tahap dengan waktu sekisar 4 harian, mulai dari perebusan hingga proses fermentasi tempe. 

Hingga saat ini ibu dari 2 anak ini membuat tempe dengan dibantu oleh suami, anak, serta satu orang karyawannya. Untuk ke depannya ia berencana untuk membeli mesin pembungkus tempe, agar proses produksi bisa berjalan lebih cepat. 

“Inginnya bisa punya mesin karena ini masih serba manual. Untuk harganya macam-macam ada yang Rp2.500 sampai Rp5000 dapat 3,” tutupnya. [sav/ono]