Reporter: Dina Zahrotul Aisyi
blokTuban.com- Museum Kambang Putih Tuban menyelanggarakan pameran bersama dengan lima museum pada tanggal 2-6 Oktober 2021 ini. Pameran tersebut merupakan puncak acara tahunan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Museum dan Taman Budaya non fisik sebagai sarana promosi museum selain program kajian koleksi museum dan Belajar Bersama Museum (BBM).
Pembukaan pameran dilakukan pada tanggal 2 Oktober dan dibuka dengan seni karawitan, sambutan-sambutan, serta penyerahan juara lomba-lomba yang sebelumnya diadakan oleh museum, seperti lomba menggambar koleksi museum, lomba dongeng bahasa Jawa, dan lomba melukis kaligrafi aksara Jawa.
Santi Puji Rahayu, selaku Kepala UPTD Destinasi Wisata Terpadu mengatakan lomba-lomba tersebut juga termasuk ke dalam acara tahunan dan jenis lomba yang berbeda-beda tiap tahunnya.
“Lomba kaligrafi aksara jawa itu bisa jadi pertama kali di Indonesia, baru tahun ini diadakan,” ujar Rony Firman Firdaus selaku kurator museum.
Tujuan untuk lomba kaligrafi aksara Jawa itu untuk melestarikan budaya, karena menurutnya tulisan aksara Jawa di Tuban langka.
Pameran lima museum tersebut meliputi Museum Bayt Al-Qur’an dan Istiqlal Taman Mini Jakarta, Museum Airlangga Kediri, Museum Batik Pekalongan, Museum Daerah Tulung Agung (Wajakensis), serta Museum Kambang Putih. Tema pameran yang diusung pada tahun ini adalah “Masterpiece Museum”.
Museum Kambang Putih memamerkan Kalpataru sebagai masterpiece museum. Rony mengatakan, untuk memilih masterpiece museum terdapat beberapa kriteria.
“Koleksi mahakarya adalah karya yang mungkin bukan sembarang karya karena ada sifat adi luhung, ada kualitas mutu di situ,” jelasnya.
Syarat yang pertama koleksi tersebut harus autentik bukan replika atau tiruannya. Kalpataru merupakan artefak asli peninggalan jaman terdahulu karena telah diuji melalui tes karbon 14 di Beta Analytic Radio Carbon dating, Miami dan menunjukkan angka tahun 1445-1525 yang artinya sejaman dengan masa hidup Sunan Bonang.
Syarat kedua selain menilai keaslian, juga harus memiliki nilai keunikan. Kalpataru merupakan ekspresi dari ajaran Sunan Bonang dengan sifat harmonisasinya, karena kita tahu bahwa Kalpataru sebenarnya sudah ada di Zaman Hindu-Budha.
Rony juga menambahkan, kalpataru di Zaman Sunan Bonang ini memiliki latar belakang dan style yang berbeda dengan Kalpataru-Kalpataru peninggalan Zaman Hindu-Budha.
Syarat yang terakhir memilih Kalpataru sebagai masterpiece dikarenakan Kalpataru bukanlah produk masal dan sulit dicari duanya.
Kalpataru diletakkan di Museum sejak tahun 1984. Dahulu Kalpataru digunakan sebagai tiang penyangga pendopo di kompleks pemakaman Sunan Bonang, akan tetapi karena banyaknya aktivitas peziarah, akhirnya dipindahkan ke museum.
“Dulu waktu di kompleks Sunan Bonang itu sering dicongkeli sama peziarah, ada yang buat jimat dan lain sebagainya. Daripada dibiarkan di sana dan rusak jadi diletakkan di museum,” tutup Rony. [dina/col]