Pandemi dan Arah Pendidikan Nasional Kita

Oleh: Zaenal Arifin*

Saat ini, dunia masih ramai soal wabah Virus Corona atau Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Dalam tiga bulan terakhir, lebih dari 1,3 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Corona. Para dokter dan tenaga medis pun tak luput dari infeksi Corona.

Di Italia, menurut Institut Kesehatan Publik Italia (ISS) menyebutkan hampir 17.000 tenaga medis italia terinfeksi virus corona, dilansir kantor berita APF, Sabtu (18/4/2020).

Sebuah studi yang dirilis oleh Asosiasi Medis FNOMCeO pada Kamis (16/4) juga menyebutkan bahwa virus corona telah menewaskan 125 dokter Italia. Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga 6 April lalu sebanyak 25 dokter meninggal karena Corona.

Penularan infeksi corona yang terus bertambah di tengah masyarakat menjadikan dunia termasuk Indonesia terancam kekurangan tenaga medis. Menurut World Health Organization (WHO) Indonesia hanya memiliki 4,27 dokter untuk 10.000 penduduk. Jumlah dokter di Indonesia kalah dibandingkan negara tetangga seperti malaysia (15,36 dokter per 10.000 penduduk), Singapura (22,94), Vietnam (8,28), Myanmar (6,77), Timor Leste (7,22), dan Thailand (8,05) dokter untuk setiap 10.000 penduduk. WHO sendiri merekomendasikan bahwa setiap negara setidaknya memiliki satu dokter untuk 1.000 penduduk.

Covid-19 memperlihatkan minimya jumlah tenaga medis di Indonesia. Apakah ada hubungannya dengan Liberalisasi Pendidikan dalam hal ini bidang sekolah kedokteran di Indonesia?

LIBERALISASI PENDIDIKAN

Dalam sistem pendidikan sekarang, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi dari kebijakan sistem pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisme global. Kebijakan neoliberalisme sebagai ideologi negara dalam praktek pemerintah, berimplikasi pada semua lini kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dunia pendidikan.
 
Pemaksaan penerapan hukum Ekonomi neoliberalisme pada dunia pendidikan, berdampak pada liberalisasi pendidikan. Pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai alat membangun kepribadian bangsa. Era Neoliberalisme seperti sekarang ini, menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis. Tentu saja pihak pemilik modal yang mendapatkan keuntungan yang begitu besar dari sistem pedidikan Indonesia sekarang ini.

Pada tahun 1998, terjadi perubahan status Peguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Upaya pengalihan ini dilakukan untuk mengurangi beban Finansial negara dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar.

Sebagai konsekuensi dari liberalisasi pendidikan, negara melepaskan tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan. Hal ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan melakukan penggalangan biaya operasional pendidikan secara mandiri. Lepas tangan pemerintah dalam dunia pendidikan mengkibatkan biaya pendidikan drastis melonjak naik.
 
Kebijakan pendidikan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki kelas sosialnya. Melalui sistem ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki kemampuan finansial yang cukup. Lembaga-lembaga pendidikan kian menjadi lembaga elit bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas kelas bawah untuk mengakses pendidikan.

Dalam tubuh pendidikan di bidang kedokteran saja, kocek yang harus dirogoh seseorang yang hendak menjadi dokter di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tembus angka Rp300 juta. Sementara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dua hingga tiga kali lipatnya. Sampai lulus meraih gelar Sarjana Kedokeran (S.Ked), praklinik hingga lulus Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) memakan waktu 7 sampai 13 tahun (Bahkan mungkin ada yang lebih).

Karena biaya yang mahal, tidak sedikit pemuda yang berpotensi menjadi dokter terkendala biaya. Hanya orang-orang berduitlah yang bisa mengakses pendidikan sekolah kedokteran. Hal ini yang menyebabkan rasio dokter dan penduduk Indonesia tidak seimbang bahkan jauh dari saran rekomendasi WHO.

Coba kita lihat ke belakang sejenak, ketika terjadi epidemi penyakit menular berskala besar yakni cacar di pulau Jawa, Pemerintahan Hindia Belanda langsung mendirikan sekolah Pendidikan Kedokteran Bumiputera untuk mengatasi persoalan kurangnya tenaga medis pada waktu itu.

Stovia (School Tot Opeiding Van Indische Artsen) atau sekolah Kedokteran untuk orang-orang Bumiputra yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Gedung ini dibangun tahun 1899 dan baru resmi dipakai sebagai Stovia di tahun 1902. Sejarah pembangunan Stovia tidak terlepas dari wabah penyakit menular yang terjadi di jawa pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Saat wabah terjadi, pengobatan tradisional tidak mampu mengatasinya. Secara medis, dokter Belanda terbatas. Karena itu muncul gagasan untuk mendirikan Sekolah Kedokteran yang bernama Stovia.

Dalam hal ini Indonesia tidak bakal bisa melahirkan banyak dokter, selama komersialisasi sektor pendidikan masih menjadi corak khas kebijakan pemerintah saat ini. biaya pengobatan yang semakin mahal menjadikan Indonesia tertinggal dalam bidang kesehatan.

Berbeda dengan kuba negara sosialis, yang terletak di Kepulauan Karibia Amerika latin, negara yang dikucilkan, diembargo oleh Amerika di sektor ekonomi tapi mampu dalam waktu 4 dekade seletah revolusi 1959 berhasil menghasilkan 109.000 dokter. Rasio dokter Kuba saat ini 1 dokter melayani 148 penduduk.

Begitu revolusi, Kuba mencetak dokter besar-besaran. Caranya, semua sekolah kesehatan di Kuba dibuka selebar-lebarnya untuk putra-putri Kuba, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Soal rasa kemanusiaan/solidaritas Internasional, hingga saat ini, ada 50.000-an tenaga medis profesional Kuba yang bekerja di 66 negara di dunia. Termasuk 2500-an dokter yang bekerja secara sukarela di negara-negara Afrika. [*]

*Ketua EK.lmnd Tuban.