Reporter: -
blokTuban.com - Ujian Nasional (UN) dihapus mulai tahun 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, menetetapkan hal ini pada Rabu (11/12) dalam peluncuran empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, Moms.
Sebagai ganti UN, Mendikbud juga sudah punya kebijakan baru. Apa dan bagaimana gantinya?
Yuk, ketahui dan pahami dari rangkuman penjelasan yang ada di laman Kemdikbud dan telah kumparanMOM rangkum berikut ini:
1. Ada penilaian baru untuk menggantikan UN
Mulai tahun 2021, Ujian Nasional akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
Asesmen kompetensi pengganti UN dilakukan untuk mengukur kompetensi bernalar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun contohnya adalah kompetensi bernalar tentang teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini mencakup aspek-aspek karakter murid (seperti karakter pembelajar dan karakter gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku perundungan (bullying), dan kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua murid.
2. Alasan Mendikbud menghapus Ujian Nasional
UN dianggap lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013. Inilah yang jadi alasan pertama Ujian Nasional dihapus.
Kedua, UN kurang mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Karena dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar murid dan memberi bantuan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
3. UN dihapus, tapi bukan berarti anak jadi tidak termotivasi untuk belajar
Menggunakan ancaman ujian untuk mendorong belajar akan berdampak negatif pada karakter anak. Jika dilakukan terus menerus, anak justru akan menjadi malas belajar jika tidak ada ujian.
Dengan kata lain, anak menjadi terbiasa belajar sekedar untuk mendapat nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini membuat anak lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses belajar itu sendiri. Anak belajar bukan karena senang atau termotivasi dengan sendirinya, tapi karena ada 'dorongan' dari luar.
Padahal, motivasi belajar intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan agar murid agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Ujian Nasioal sendiri adalah alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi mutu sistem pendidikan. Perlu dicatat Moms, fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan anak.
Kenapa begitu? Sebab, sifat-sifat ini tidak dapat dibentuk secara instan di akhir jenjang pendidikan melalui ancaman ketidaklulusan atau nilai buruk.
Sifat seperti kegigihan hanya dapat ditumbuhkan melalui proses belajar yang memberi berbagai tantangan bermakna secara berkelanjutan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat seperti kegigihan menjadi bagian dari karakter murid.
4. Fokus asesmen kompetensi adalah literasi dan numerasi
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun profesional.
Dengan mengukur kompetensi yang bersifat mendasar (bukan konten kurikulum atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa guru diharapkan berinovasi mengembangkan kompetensi siswa melalui berbagai pelajaran melalui pengajaran yang berpusat pada murid.
Fokus asesmen adalah kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekadar mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dan lain-lain.
Pesan ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan murid untuk meminimalkan risiko penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
5. Asesmen kompetensi diterapkan sejak jenjang SD
Asesmen kompetensi baru akan dilakukan pada murid yang duduk di pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA. Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar murid.
Penerapan sejak jenjang SD juga penting dilakukan sehingga hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu pendidikan nasional.
Perlu diketahui bahwa saat ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian, Ujian Nasional dihapus tidak berdampak pada murid SD lho, Moms. Seperti yang dipaparkan pada poin sebelumnya, sebagian murid SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru.
Namun asesmen baru ini dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi murid. Oleh karena itu, asesmen baru tidak menjadi beban tambahan bagi murid SD.
6. Asesmen kompetensi diharapkan tidak membebani guru, sekolah dan murid
Asesmen yang dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemdikbud) berpotensi dipandang sebagai beban tambahan karena guru dan sekolah ingin memperoleh hasil yang baik. Meski demikian, sebenarnya asesmen literasi dan numerasi ini bukan beban tambahan.
Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten tambahan yang perlu diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu dikembangkan melalui semua mata pelajaran.
7. Dampak asesmen kompetensi pada murid
Asesmen kompetensi pengganti Ujian Nasional akan dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi murid. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan akhir jenjang) membuat hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian siswa.
Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban tambahan bagi anak, di luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
8. Dampak asesmen kompetensi pada guru dan sekolah
Analisis dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat agar bisa dimanfaatkan guru dan sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena asesmen baru akan didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi ancaman bagi guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian murid dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah, seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orang tua.
Oleh karena itu, keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai berdasarkan level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru atau sekolah akan lebih didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen sebelumnya.
Hasil asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
*Sumber: kumparan.com
Ujian Nasional Dihapus, 8 Hal Ini Perlu Orang Tua Tahu
5 Comments
1.230x view