Oleh: Sri Wiyono
‘’Iki piye pendaftaran zonasi kok ribete ngene. Anakku ape mlebu SD kangelan golek sekolahan,’’ (ini bagaimana pendaftaran dengan sistem zonasi kok ribetnya kayak gini. Anak saya mau masuk SD kesulitan mencari sekolahan).
Begitu pesan masuk di WA saya. Pesan itu dari adik sepupu saya. Saya hanya mesem membaca pesan itu. Karena, pesan tersebut adalah pesan yang kesekian yang masuk ke hape saya dan mempersoalkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Para pengirim pesan itu entah tahu kalau saya anggota Dewan Pendidikan (DP) atau tidak. Atau karena tahu saya anggota DP sehingga sengaja ‘mengadu’ soal itu. Yang tidak tahu mungkin sekadar berkeluh kesah.
Seperti sepupu saya itu, yang saya yakin dia tidak tahu kalau saya anggota DP. Dia hanya curhat karena kerepotan mencarikan sekolah (SD) anaknya. Kebetulan dia tinggal di sebuah perumahan di pinggiran kota.
Tak sekali saya terlibat diskusi, bahkan sedikit debat dengan orang lain soal zonasi PPDB. Baik diskusi langsung maupun melalui grup-grup dunia maya yang saya menjadi anggotanya. Intinya; kebijakan zonasi dalam PPDB itu mengundang pro dan kontra. Setuju dan tidak setuju. Ah, biasa !
‘’Coba cek, yang tidak setuju zonasi itu adalah para orang tua yang anaknya gagal masuk sekolah yang diingkan. Jadi, protes zonasi itu berdasarkeinginan-keinginan dan kepentingan pribadi. Tidak memperjuangkan kepentingan yang luas,’’ komentar saya dalam sebuah diskusi di grup WA.
Maka banyak kemudian yang membalas komentar. Tak sedikit yang menyerang dan menyatakan tidak setuju. Pun tak sedikit pula yang mendukung. Sebab, sistem zonasi dalam satu sisi memenuhi nilai keadilan. Meski di sisi lain juga menyimpan kekurangan.
Polemik zonasi ini kemudian mengantar direvisinya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Yang terakhir peraturan itu menjadi nomor 20 tahun 2019 tentang PPDB yang menyempurnakan Permendikbud nomor 51 tahun 2018 tentang hal yang sama.
Semula, untuk sistem zonasi sekolah wajib menerima siswa dari jalur zonasi minimal 90 persen dan jalur prestasi serta perpindahan orang tua masing-masing 5 persen dari jumlah siswa yang akan diambil sesuai pagu.
Lalu berubah menjadi siswa dari jalur zonasi minimal 80 persen dan menambah jumlah siswa dari jalur prestasi menjadi 15 persen. Untuk jalur perpindahan orangtua tetap 5 persen. Perubahan ini untuk mengakomodasi siswa ‘pintar’yang tak kebagian sekolah yang dipersepsikan sebagai sekolah ‘favorit’.
Saat saya bilang bahwa sekolah favorit atau sekolah unggulan itu hanya persepsi masyarakat. Maka saya banyak diserang dengan komentar sanggahan. Saya bilang, sejak awal konsep sekolah unggulan atau sekolah favorit ini sudah menciptakan diskriminasi yang luar biasa. Karena itu, usai dilantik pada 2016 silam, rekomendasi DP yang pertama adalah ‘bubarkan sekolah unggulan’.
Sudah menjadi rahasia umum, bahka siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut adalah siswa pilihan atau siswa yang unggul. Baik itu unggul karena pintar dan nilainya bagus, unggul prestasi nonakademiknya sampai unggul karena orangtuanya pejabat, orang penting atau pintar lobi hehehe….
Nah, sistem zonasi memungkinkan seluruh siswa bisa masuki ke sekolah yang dipersepsikan favorit itu. Saya suka dengan kata persepsi, karena sekolah unggulan atau favorit itu memang ‘dicetak’ seperti itu.
Dalam hal rekrutmen siswapun berbeda. Dulu, sekolah favorit bisa menggelar tes lebih dulu. Mendahului sekolah-sekolah ‘biasa’ lainnya dengan menggelar tes masuk. Maka tak heran sekolah favorit itu bisa mendapat ‘bibit unggul’ siswa.
‘’Zonasi akan menjadi pembuktikan kualitas kepala sekolah dan guru. Jika di sekolah favorit bisa mencetak prestasi yang bagus. Coba buktikan nanti ketika siswa yang diterima heterogen. Ada yang pintar, biasa-biasa saja bahkan mungkin lemah,’’ seru salah satu kawan dalam diskusi.
Masuk akal, argumen kawan saya ini. Betapa sekolah favorit itu seluruh siswanya kemampuannya di atas rata-rata. Fasilitas sekolah mendukung, kebijakan pemerintah mendukung, termasuk urusan menggali dana dan lainnya.
Bandingkan dengan sekolah yang tidak favorit. Biaya sekolahnya hanya mengandalkan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Tidak bisa menggali dana dari orangtua siswa dan lainnya. Mau bersaing? Ngimpi….
Maka sekolah favorit itu gengsinya luar biasa. Klop dengan sebagian masyarakat kita yang suka ngejar gengsi. Sehingga berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit, bagaimanapun caranya. Bahkan terkadang menabrak rambu-rambu, menyiasati aturan sampai berbuat culas.
Ketika sudah masuk di sekolah favorit, maka dengan bangga bisa bercerita pada teman-teman arisan, teman kantor, kenalan sampai upload status di media sosial untuk pamer. Penahkah mereka memerhatikan kepentingan dan kemampuan anak?
Karena di sekolah favorit, siswanya rata-rata pintar, sehingga yang lemah sangat kelihatan. Maka orangtua pun berlomba ‘memaksa’ anaknya untuk berkompetisi. Dengan menambah jam les ini itu dan sebagainya. Woiiii….bapak ibuk..anakmu bukan robot..!!
Bukan rahasia, sebagian besar siswa di sekolah favorit adalah anak-anak orang kaya. Meski ada sebagian kecil, bahkan mungkin kecil sekali ada anak-anak orang miskin yang sekolah di sekolah favorit.
Tapi, sistem zonasi memungkinkan semua lapisan masyarakat bisa merasakan sekolah di sekolah yang berada di ‘menara gading’ tersebut. Maka proteslah orangtua yang anaknya tak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan karena terbentur zonasi.
Mau masuk jalur prestasi, prestasi tak nutut. Maka lalu menyalahkan kebijakan pemerintah. Protes berbasis keinginan pribadi ini banyak muncul. Meski demikian, pemerintah sudah merevisi kebijakannya. Mengurangi peserta didik dari jalur zonasi dan menambah jalur prestasi. Kalau anak-anak itu benar- benar hebat, kenapa tak masuk jalur prestasi saja?
Sebagian masyarakat masih kagetan. Dengan kebijakan baru lantas nyinyir dan berprasangka buruk. Lalu protes dan menolak kebijakan itu karena tak sesuai keinginan dan kepentingannya. Yakinlah, sebuah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti sudah melalui penelitian, kajian-kajian mendalam, diskusi yang panjang, pembahasan berkali-kali serta dihitung manfaat dan madaratnya.
Sikap kagetan itu membuat rata-rata kebijakan pemerintah tidak ada yang bisa diterima 100 persen. Selalu ada yang nggerundel, protes, mencibir waahlihi wasohbihi hehehe….
Tapi mbok yao jangan selalu berprasangka buruk pada pemerintah. Mana ada pemerintah yang bercita-cita menyengsarakan rakyatnya dan menghancurkan negerinya sendiri.
Bahwa masih ada kelemahan dalam sistem zonasi iya. Presiden Jokowi pun sudah menyatakan kebijakan itu harus ada revisi, karena belum bisa diterapkan di semua daerah, dengan berbagai alasan. Tapi, bukan berarti harus dibatalkan atau dihapus.
Maka harus diperbaiki sambil jalan. Ibarat mobil, dengan berjalan bisa diketahui kekurangannya. Misalnya remnya kurang paten, lampunya ada yang mati. Kaki-kakinya ada masalah dan sebagainya dan sebagainya. Maka kekurangan itu bisa dibenahi satu persatu.
Kebijakan sudah diterapkan. Pemerintah sudah menjalankan dan masyarakat harus menerima. Dijalani saja dulu, dilihat manfaatnya, dan menunggu perbaikan atas kekurangan. Tinggalkan dulu ego dan gengsi untuk sementara.
Yang kebagian sekolah yang dipersepsikan ‘pinggiran’ itu diterima saja. Yang orang tuanya mampu ya bantulah sekolah agar bisa lebih bagus, lebih maju, lebih keren dan menjadi favorit seperti yang diinginkan.
Bukankah pemerintah sudah memberi kesempatan masyarakat untuk berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan? Pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas), pasal 8 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Karena itu, pada pasal selanjutnya, pasal 9 disebutkan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaran pendidikan. Ingat kata-katanya ‘wajib’, bukan sunah apalagi mubah.
Ayo para orangtua beramai-ramai membenahi fasilitas di sekolah anaknya masing-masing dengan memberikan dukungan sumber daya. Agar pemerataan kualitas pendidikan bisa tercapai. Sehingga tak ada lagi perbedaan antarsekolah di kemudian hari.
Bisa tercapai? Bisa !!, kapan? Suatu saat nanti, ketika kesadaran masyarakat sudah tinggi dan kebijakan pemerintah mendukung. Bermimpi? Iya ! Karena mimpi adalah bagian dari rencana Tuhan membangun peradaban. Wallahua’lam.[*]