Oleh: M. Harun, SE, MM*.
Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sudah selesai dilaksanakan secara serentak di Indoensia pada hari rabu 17 April 2019, sebentar lagi akan dilaksnakan rekapitulasi perolehan suara di tingkat PPK dan KPU, yang patut ditunggu adalah perubahan sistem penghitungan perolehan suara ke kursi legeslatif, dari metode Kuota Here atau BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) menjadi Sainte Legue (Murni), siapa yang lebih diuntungkan dengan sistem baru ini.....?
Sebelum kita bicara siapa yang diuntungkan, lebih baik kita memahami dulu dua sistem penghitungan tersebut. Berdasarkan Naskah Akademik Rancangan UU Penyelenggaraan Pemilu (September 2016), disebutkan bahwa Kuota Hare (BPP) adalah metode konversi suara dengan cara dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (vote atau v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik/dapil (seat atau s).
Dalam hal ini, terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen melalui teknik penghitungan Kuota Hare, pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus v/s. Pada tahap kedua: menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu daerah pemilihan di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi.
Secara teknis, sistem kuota hare pada Pemilu 2014 mengonversikan suara ke kursi dengan menjumlah total perolehan suara sah parpol yang lolos threshold, kemudian dibagi dengan jumlah kursi. Hasil pembagian itu, terdapat angka yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP). Parpol yang suaranya melebihi atau sama dengan BPP secara berurutan akan mendapatkan kursi. Jika masih ada sisa kursi, suara yang diperhitungkan adalah suara parpol atau sisa suara terbesar di bawah nilai BPP secara berurutan hingga jumlah kursi habis.
Sedangkan Metode Sainte Lague masuk ke dalam kategori Metode Divisor, yaitu menggunakan nilai rata-rata tertinggi atau biasa disebut BP (Bilangan Pembagi). Artinya, kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun berdasarkan nilai bilangan pembagi. Prosedur ini akan terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis.
Pada prakteknya, dalam sistem sainte lague, tidak dilakukan penjumlahan atau pembagian untuk mendapatkan nilai BPP. Suara setiap parpol dibagi dalam bilangan angka ganjil mulai 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Nilai yang muncul dari semua pembagian itu kemudian di-ranking dari yang terbesar berturut-turut menjadi kursi tiap-tiap parpol. Setelah suara parpol d hitung dan diperoleh kursi, baru diberikan kepada calon legeslatif yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan.
Partai Besar dan Incumbent Lebih di Untungkan
Penggunaan Sistem Sainte Lague dalam penghitungan suara Pileg 2019 sangat menguntungkan bagi Partai Besar. Argumentasi yang pertama, dengan sitem ini Partai yang memiliki suara besar, setiap suaranya akan diperhitungkan, karena fokus dalam sistem ini adalah perolehan suara masing-masing partai politik, bukan pada sisa suara seperti sistem kuota here (BPP), sehingga suara yang dimiliki akan menjadi lebih berharga dan bernilai.
Semakin banyak suara yang dimiliki semakin banyak potensi mendapatkan banyak kursi. Kasus seperti Pemilu Legeslatif 2014 tidak akan terulang kembali, yang mana partai yang memiliki suara akumulatif lebih banyak ternyata memiliki kursi yang lebih sedikit dibandingkan dengan partai yang perolehan suara akumulasinya lebih sedikit. Pada Pemilu 2014, PKB mendapatkan suara akumulatif nasional 11. 298.957 suara atau sekitar 9,04 % mendapatkan 47 kursi, sedangkan PAN mendapatkan akumulasi suara 9.481.621 suara atau 7,59 % mendapatkan 49 Kursi.
Sedangkan bagi partai kecil, sistem ini akan menjadi petaka, ada yang mengatakan sistem Sainte Legue ini akan menjadi kuburan bagi partai kecil, karena sistem ini akan membagi habis perolehan suara dari partai besar tanpa mempertimbangkan sisa suara, perolehan partai kecil akan diadu atau dihitung ulang dengan sisa suara partai besar, apabila masih banyak sisa suara partai besar, maka kursi akan diambil oleh partai besar, sehingga kursi legeslatif akan didominasi oleh parti besar.
Argumentasi kedua, dalam sistem Sainte Legue lebih memberikan motifasi bagi calon legeslatif dari partai besar, karena potensi untuk menjadi anggota legeslatif lebih besar, bila dibandingkan dengan partai yang kecil, karena semua perolehan suara partai akan diperhitungkan dengan tidak meninggalkan sisa suara. Sehingga jangan kaget, dalam Pemilu 2019 partai politik besar banyak menjadi primadona bagi calon legeslatif yang menginginkan menjadi wakil rakyat.
Sedangkan bagi Incumbent atau Petahana terutama dari partai besar, Sistem Sainte Legue juga sangat menguntungkan. Para calon legeslatif yang incumbent atau petahana terutama yang dari partai besar, biasanya sudah punya basis massa yang cukup banyak di akar rumput, baik yang di jaga oleh jaringan atau yang mereka bangun saat melakukan reses, yang juga menjadi pertimbangan, para petahana ini juga mempunyai energi, dana dan ditambah popularitas, sehingga mudah diingat oleh pemilih, kondisi ini menjadikan para petahana akan lebih mudah melakukan mobilisasi massa, sehingga perolehan suaranya bisa maksimal, karena setiap perolehan suara akan sangat diperhitungkan dalam sistem Sainte Legue ini.
*Sekretaris Umum PC GP Ansor Tuban
Sistem Sainte Legue, Siapa yang Diuntungkan?
5 Comments
1.230x view