Oleh: Sri Wiyono
Selamat Hari AIDS se Dunia !!!
Suatu saat ketika saya masih aktif liputan, saya mendapat informasi ada seorang pasien kurang mampu dirawat di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Saya pun bergegas mendatangi. Pikiran saya simpel saat itu, mendapat berita dan bisa menolong.
Iya, karena beberapakali dari berita yang saya tulis, datang bantuan atau orang-orang yang bersimpati pada subyek yang saya tulis. Dan yang seperti itu, kepuasaan tersendiri bagi saya sebagai penulisnya.
Maka saya pun datang ke rumah sakit itu. Setelah bertanya di resepsionis, saya tahu kamar tempat pasien itu dirawat. Ketika saya datang, sudah ada petugas kesehatan dari pemerintah di kamar itu. Oh ya, saat itu datang bersama satu kawan wartawan lain.
Basa basi sejenak saya dengan petugas kesehatan yang memang kawan akrab. Jujur, sejak saya melihat fisik pasien itu saya kaget. Terlebih ketika saya tanya, dia sakit apa dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Oh ya, saya memang harus banyak bertanya, kan sedang wawancara hehehe…
Sebagian jawaban saya peroleh dari kawan saya yang petugas kesehatan tersebut. Pasien itu seorang perempuan. Punya anak balita laki-laki. Sebelumnya dia bekerja di luar kota, dan pulang kampong karena dalam kondisi sakit.
Kawan wartawan yang datang bersama saya juga wawancara, duduk di ranjang agar bisa mendengar ibu pasien itu menjawab pertanyaannya. Karena si ibu memang suaranya agak lirih.
Usai wawancara kami keluar kamar rawat, diikuti kawan petugas kesehatan tadi. Di luar kamar saya dan kawan saya berdialog.
‘’Pak, positif?’’ tanya saya pada petugas kesehatan yang sangat getol mengurus HIV/AIDS itu.
‘’Iya,’’ jawabnya singkat.
Saya dan kawan petugas kesehatan ini memang intens diskusi tentang HIV/AIDS. Kawan wartawan yang datang bersama saya tadi bingung.
‘’Positif apa?’’ tanya kawan wartawan saya.
‘’Positif AIDS,’’ jawab kami serempak.
‘’Hah…kenapa nggak bilang. Haduhh…!’’ kawan wartawan saya ini nampak kebingungan. Tangannya dia kibas-kibaskan. Baju dan celananya ditepuk, seolah banyak debu yang menempel. Mimik mukanya kontan berubah khawatir, bahkan mungkin menyesal dia ikut saya liputan kali ini.
Saya bersama kawan petugas kesehatan itu hanya tertawa melihat tingkahnya.
Ya, 1 Desember adalah peringatan Hari AIDS se Dunia. Maka, pagi-pagi aku bersemangat sekali untuk segera ke kantor. Menghadap layar komputer dan memainkan jari-jari di atas keyboard serta merangkai kata.
Lupakan sejenak ngopi. Karena ide ini harus segera dituangkan dalam rangkaian kata-kata. Karena tiba-tiba saja, rangkaian kata-kata tentang HIV/AIDS memenuhi kepala saya. Biasanya sebelum ngantor, saya mampir dulu ke warung kopi langganan. Berakrab-akrab dengan jamaah ngopi lainnya, baru beranjak ngantor. Meski sebenarnya kantor saya bisa di mana saja hehehe….
Tiba-tiba aku ingin menulis sesuatu tentang penyakit yang disebut Human Immunodefiieny Virus atau Acquired Immuno Deficiency Syndroms (HIV/AIDS) ini. Karena saya secara pribadi pernah bersinggungan dan pernah sedikit banyak berkecimpung dengan persoalan ini. Saya pernah hampir tiap bukan sekali berkumpul dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yakni orang yang sudah positif terinfeksi HIV atau bahkan sudah AIDS.
Berkumpul dengan mereka yang secara fisik masih segar bugar, cantik dan mulus bagi yang perempuan. Sampai mereka yang kondisinya (maaf) sudah tak sempurna lagi secara fisik. Dan, saya tidak jengah jika harus makan bareng satu meja bersama mereka. Ngobrol dan diskusi tentang banyak hal.
Mengapa bisa demikian? Alhamdulillah saya pernah tuntas mengikuti pelatihan wartawan untuk liputan HIV/AIDS yang disokong UNICEF. Ada beberapa tahapan pelatihan yang harus dilalui, dan alhamdulillah saya menyelesaikannya.
Di sana diajari bukan hanya bagaimana cara menulis dan menyebut ODHA agar lebih manusiawi. Namun, diajari bagaimana berempati, sampai diajari mengenai tanda-tanda fisik seseorang yang positif HIV/AIDS. Juga bagaimana penularannya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Berbekal ilmu itu, insyaallah saya masih bisa mengenali orang dengan HIV/AIDS dengan memerhatikan fisiknya. Tapi, tentu saja ini hanya untuk kondisi-kondisi tertentu. Tidak sembarang orang bisa dilihat. Untuk memastikannya, harus melalui pemeriksaan. Dan karena itu pula, saya lebih ‘ramah’ dengan para ODHA. Setidaknya, pandangan saya luas, tidak sempit, apalagi mencibir dan menganggap ODHA itu harus dijauhi.
Bagi yang belum memahami, pasti sikap sinis itu yang ditunjukkan. Menganggap ODHA itu menjijikkan dan harus dijauhi. Ya, setidaknya akan bersikap seperti kawan wartawan saya seperti cerita di atas itu. Namun, kalau sudah memahami, apalagi berkecimpung di persoalan-persoalan HIV/AIDS cara pandang pasti berbeda.
Sekadar tahu, jumlah ODHA di Indonesia sesuai laporan Kementerian Kesehatan sangat tinggi. Penyakit yang di Indonesia ditemukan kali pertama tahun 1987 di Provinsi Bali itu, pada 2017 tercatat 19.365 orang. Jumlah ini dirinci orang yang terinfeksi HIV sebanyak 14.640 orang. HIV belum sampai AIDS dengan kemungkinan bisa ditangani.
Dari jumlah itu, yang paling banyak adalah usia 25-49 tahun sebanyak 69,2 persen. Kemudian usia 20-24 tahun 16,7 persen dan sisanya usia 50 tahun ke atas. Rasio yang terinfeksi laki-laki dan perempuan 2:1.
Lalu yang sudah AIDS berjumlah 4.725 orang. Usia 30-39 tahun paling banyak yakni 35,2 persen, lalu usia 20-29 tahun 24,5 persen, usia 40-49 tahun 17,7 persen dengan rasio antara laki-laki dan perempuan juga 2:1. Dari seluruh jumlah ODHA tersebut, paling banyak adalah kalangan ibi rumah tangga sebanyak 14.721 orang.
Provinsi Jawa Timur menempati peringkat kedua di Indonesia baik dari yang terinfeksi HIV maupun AIDS. Untuk HIV peringkat pertama DKI Jakarta dengan jumlah 51.981 orang, Jawa Timur 39.633 orang dan Papua 29.083 orang. Sedang Jawa Barat 28.969 orang dan Jawa Tengah 22.292 orang. Sedang untuk AIDS peringkat pertama Papua dengan jumlah 19.729 orang, Jawa Timur 18.243 orang, DKI Jakarta 9.215 orang, Jawa Tengah 8.170 orang dan Jawa Barat 6.502 orang.
Bagaimana di Kabupaten Tuban? Data tahun 2017 menyebutkan jumlah ODHA sebanyak 713 orang. Jumlah ini memang masih lebih sedikit dibanding Kabupaten Bojonegoro misalnya yang tahun 2017 sudah terdapat 1.060 ODHA.
Dari 713 ODHA di Tuban tahun 2017 itu, sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Sementara data di untuk tahun 2018 ini, pada bulan September lalu sudah ada 93 yang positif ODHA.
Di Bojonegoro tahun 2018 sudah tercatat 1.159 ODHA dan 222 orang di antaranya sudah meninggal. Dan ibu rumah tangga banyak yang ODHA menilik dari data tersebut.
Eitt…jangan senang dulu, karena fenomena ODHA itu ibarat gunung es di lautan. Hanya permukaannya yang kecil saja yang Nampak, padahal di bawah lebih besar. Sehingga, jumlah yang tercatat itu hanya sebagian kecil saja, karena yang besar belum ditemukan, atau bahkan tidak mau melapor.
Kenapa ibu rumah tangga banyak yang menjadi ODHA? Saya mau bercerita lagi tentang pengalaman nyata. Penularan HIV/AIDS di antaranya melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan, transfusi darah, penggunaan jarum suntik tak steril dan bergantian, ibu hamil pada anaknya yang dikandung dan lain sebagainya.
Berkecimpungnya saya pada persoalan HIV/AIDS banyak menambah pengalaman. Suatu saat para ODHA itu berkumpul untuk berembuk ingin membuat sebuah perkumpulan. Saya datang bersama kawan saya yang petugas kesehatan itu. Datang juga pegiat perkumpulan ODHA dari luar kota.
Dari musyawarah, disepakati dipilih salah seorang perempuan di antara mereka untuk menjadi ketua perkumpulan mereka. Lalu menangislah sejadi-jadinya perempuan yang masih terlihat muda. Secara fisik dia masih menarik. Dia janda, karena suaminya meninggal.
Dia menangis bukan lantaran tak mau menerima tugas sebagai ketua, namun dia memikirkan banyak hal. Terutama keluarga besarnya. Perempuan itu terlahir dari keluarga berada, dari keturunan tokoh masyarakat yang disegani. Sebelumnya dia tinggal di luar kota ikut suaminya, dan setelah suaminya meninggal dia pulang ke tanah kelahirannya. Dan di kemudian hari diketahui dia ODHA.
‘’Bagaimana nanti jika keluarga besar saya tahu kondisi saya yang seperti ini,’’ ratapnya.
Memang, perkumpulan itu ada beragam latar belakang, profesi dan tentu status sosial. Ada pedagang, penjaja sayur keliling, pemilik warung, pengusaha dan masyarakat biasa. Beragam cerita juga mengalir dari mereka, bagaimana sampai menjadi ODHA, yang rata-rata memang karena pilihan hidupnya.
Kecuali si perempuan yang didaulat menjadi ketua perkumpulan itu. Kemungkinan dia tertular oleh suaminya, atau mungkin faktor lain?
Sebab, ada cerita yang lebih perih lagi di perkumpulan itu. Tentang sepasang suami istri yang bertahun-tahun merindukan momongan, namun tak kunjung datang. Lalu memutuskan untuk adopsi anak. Maka ketemulah dengan perempuan hamil yang bersedia menyerahkan anaknya pada pasangan suami istri ini.
Selama mengandung, perempuan hamil itu dirumat, sampai kemudian lahir bayi laki-laki yang terlihat sehat dan lucu. Setelah semua dibereskan, si ibu bayi kemudian pergi.
Suka cita pasangan suami istri itu merawat buah hatinya itu. Hingga pada usia sekitar 2 tahun, bocah laki-laki yang sedang lucu-lucunya itu dinyatakan positif HIV.
Remuk hati kedua orang tua angkatnya itu. Namun kasih sayangnya tak berubah. Bahkan, setiap pertemuan ODHA, pasangan suami istri itu selalu datang, mengantarkan anaknya. Keduanya ikut diskusi dan melakukan banyak hal untuk anaknya.
Mau yang lebih miris? Ada. Masih dari anggota perkumpulan ODHA yang juga perempuan. Secara fisik dan masih menarik. Sebelumnya dia bekerja di luar kota. Begitu tahu dia positif HIV/AIDS dia tobat dan pulang kampung. Perempuan ini pula yang sering dijadikan motivator dalam sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS.
Perempuan itu bercerita, kawan akrabnya seprofesi juga dinyatakan positif HIV/AIDS. Bukannya tobat, dia justru dendam dan ingin menyebarkan sebanyak-banyaknya. Karena dia merasakan sikap sinis masyarakat pada mereka yang disebut ODHA.
Maka dia terus beroperasi, sasarannya anak-anak muda. Betapa mengerikan, dan ini bukan hoaks namun kisah yang benar-benar terjadi. Bagaimana ujung kisah itu? Wallahu a’lam.[*]