Oleh Sri Wiyono
blokTuban.com -DRAMA belum berakhir. Ibarat kisah sinetron, penonton masih dibuat harap-harap cemas,. Sport jantung, dag dig dug tak karuan. Jika sebuah film atau sinetron, jika begini keadaannya, maka sutradaranya berhasil.
Karena bisa mengikat hati para penonton untuk menunggu dan menyaksikan sampai detik akhir ceritanya. Bahkan, ketika film usai pun, penonton masih belum sadar, masih terpaku dan duduk di bangku. Tak percaya dengan ending cerita yang diikuti.
Entah ending bahagia, sedih, mengenaskan, atau ending mengambang seperti yang sering terjadi pada film-film produksi Hollywood. Seolah-olah kisah yang telah usai itu tidak sepenuhnya selesai.
Namun, yang dihadapi masyarakat saat ini adalah kisah nyata. Bahwa perjalanan panjang pemilu sudah sampai pada puncaknya. Kalau dalam pewayangan goro-goro sudah terlaksanakan, tinggal menunggu akhir cerita.
Begitu juga dengan kisah panjang pemilu 2019 ini. Pernak-pernik sudah digelar sejak lama. Figuran-figuran sudah bertebaran mengisi slot-slot yang disediakan. Dan puncak dari cerita itu adalah coblosan 17 April lalu.
Banyak yang menyebut pemilu raya, karena baru kali ini pemilu dilaksanakan serentak. Untuk memilih di lima surat suara sekaligus. Memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPD, anggota DPR, anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Namun yang paling menarik nuansanya adalah pemilihan presiden. Tengok saja bagaimana media sosial dipenuhi dengan sampah-sampah hujatan antarpendukung pasangan capres. Berita-berita hoax dan lain sebagainya.
Bahkan saya harus menahan diri dan komitmen puasa komentar atau membuat status di media sosial terkait kontestasi tersebut. Saya risih, gemes dan tak sampai hati melihat tingkah para pendukung pasangan capres itu.
Namun, sehari menjelang coblosan, komitmen saya jebol hahaha. Kegemasan saya membuat saya menulis status yang intinya; apakah para pendukung pasangan capres tersebut masih berani membiarkan postingannya di media sosial atau tidak, andai calon yang mereka dukung kalah.
Apakah mereka masih berani menampilkan postingan yang banyak menyindir, menjelekkan bahkan menghujat pasangan calon lain dan mengunggul-unggulkan pasangan yang mereka dukung.
Dan postingan saya ini langsung diserbu, baik yang menghina, menyindir, biasa-biasa saja dan tak sedikit yang menyukai hehehe… Ya, itulah demokrasi.
Saya kira dengan berakhirnya coblosan, semua selesai. Tidak ada lagi perang hujatan, tidak ada lagi deretan postingan menghina dan sebagainya, ternyata episode baru justru dimulai. Hal ini terkait dengan hasil coblosan.
Lembaga survei dengan hitung cepatnya (quick count) langsung memajang hasilnya. Dan, hampir semua lembaga survei ini memenangkan salah satu pasangan dengan angka yang selisihnya cukup banyak.
Pengalaman yang ada, sejak ada hitung cepat tahun 2004, hasil hitung cepat lembaga survei tak pernah meleset. Artinya, siapa yang menang sesuai hitung cepat lembaga surve itu, sejalan dengan hasil real count atau angka riil hasil coblosan versi KPU.
Hanya, angkanya saja yang beda, namun garis besarnya, pemenang versi hitung cepat para lembaga survei sama dengan versi KPU.
Namun, saat ini hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang kedibilitasnya sudah tak diragukan itu digugat. Padahal, mereka adalah lembaga yang sudah diverifikasi KPU dan dinyatakan layak dan kompeten menggelar survei dan hitung cepat.
Satu pasangan calon tak percaya itu. Bahkan menuduh lembaga-lembaga survei tersebut memainkan data. Melakukan kecurangan sistematis dan partisan, sehingga mengarahkan dukungan dan menggiring opini untuk memenangkan salah satu pasangan.
Maka, kubu pasangan yang tak percaya dan tidak mau mengakui hitung cepat versi lembaga survei itu membuat deklarasi memenangi pilpres, dengan dasar laporan internal mereka sendiri.
Kubu tersebut ngeklaim telah menerima data riil dari ribuan tempat pemungutan suara (TPS) yang mereka jadikan sampel. Sampai tiga kali deklarasi dilakukan, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Meski deklarasi menang, namun mereka menyatakan masih menunggu hasil hitung resmi KPU. Padahal, sejak awal muncul kabar-kabar di masyarakat, ada pihak tertentu yang menyudutkan KPU.
Ada banyak berita yang mengabarkan banyak kecurangan oleh penyelenggara, terutama KPU dan jajarannya. Dikabarkan, ada upaya untuk membuat KPU sebagai lembaga penyelenggara agar tidak dipercaya publik.
Ini berbahaya jika terus dikembangkan. Karena KPU adalah satu-satunya lembaga yang memegang hasil pemilu secara riil. KPU sejak awal membuka diri bahwa sebagai penyelenggara mereka netral dan berjalan sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada.
Pasal 3 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sangat tegas disebutkan, bahwa dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus memenuhi prinsip; mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Dan itu sudah dilakukan.
Kondisi yang ada saat ini, menjadi tantangan KPU untuk membuktikan bahwa lembaga tersebut layak dipercaya dan harus didukung. KPU lah yang punya bukti otentik C1 atau lembar rekapan hasil pemilu di TPS.
Suara yang dicantumkan dalam C1 inilah yang menjadi dasar menghitung hasil. Hanya, tidak sembarang lembar C1 bisa digunakan. Sebab, mekanismenya, C1 yang ditandatangani seluruh petugas KPPAS lah yang sah. Jika ada yang ngeklaim punya data dari C1, tinggal dilihat, ada tandatangan seluruh anggota KPPS atau tidak.
Dan sebagai warga negara, masyarakat harus yakin dengan lembaga KPU yang dibentuk dengan proses panjang dan seleksi yang ketat. Kredibilitasnya, tentu tak diragukan lagi. Hasil penghitungan versi KPU inilah yang nanti akan mengakhiri polemik. Semoga.
Jika masih ada yang belum menerima hasil. Masih punya kesempatan untuk memerkarakan dan mengggugat ke Mahkamah Konstitui (MK). Putusan MK mengikat dan harus diterima, karena tidak ada mekanisme lain lagi setelah dari MK.
Meski secara pribadi saya yakin bahwa lembaga survei tersebut tidak akan main-main dengan data. Kerja keras dan kerja besar mereka dalam pemilu tentu tidak akan dipertaruhkan dengan melakukan hitung cepat dan survei abal-abal.
Tentu lembaga survei itu tak akan mempertaruhkan nama lembaganya dengan bermain-main data. Nama baik lembaga pasti akan terus dijaga dengan melakukan pekerjaan yang benar dan melakukan survei sungguhan.
‘’Bunuh diri namanya kalau kami lembaga survei bermain-main dengan data,’’ ujar Buhanudin Muhtadi, salah satu pimpinan lembaga survei yang digandeng KPU.
Dalam pasal 7 ayat 1 UU Pemilu disebutkan, penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi pemilihai Umum (KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kemudian di pasal lainnya disebutkan, KPU, adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di Ibu Kota Negara. DKPP terdiri dari 7 orang unsur KPU, Bawaslu, DPR, dan dari pemerintah.
Semua sudah klop, ada yang menyelenggarakan, ada yang mengawasi, dan ada yang memroses jika yang menyelenggakan dan mengawasi berlaku curang, menyalahi ketentuan atau melanggar regulasi.
Saat ini hasil pemilu sudah dihitung secara manual berjenjang sejak dari TPS. Sesuai jadwal tanggal 19 April ini masih berada di tahap penghitungan tingkat kecamatan. Karena jadwalnya 18 April sampai 4 Mei masih di kecamatan. Kemudian mulai 22 April sampai 7 Mei penghitungan tingkat kabupaten/kota.
Lalu 22 April sampai 12 Mei penghitungan di tingkat provinsi, dan 25 April sampai 22 Mei jadwal penghitungan nasional. Dimungkinkan pada 25 April itu sudah diketahui siapa pemenang pilpres versi KPU.
Kita tunggu saja hasilnya. Kita percayakan kepada KPU untuk melaksanakan tugasnya sebaik mungkin. Kita dukung KPU dengan kinerjanya yang bagus tersebut, hingga menuai pujian internasional. Siapakah yang menang, calon yang semula unggul versi hitung cepat lembaga survei tersebut atau calon yang sudah deklarasi menang? Wallahua’lam.(*)