Kemaslahatan Umum

Oleh: Mochamad Nur Rofiq 

blokTuban.com - Di dalam kitab Idhotun Nasyiin, sang pengarang Syekh Musthafa Al-Ghalayani menceritakan, ada seorang rakyat pedalaman menghadap kepada Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Orang pedalaman tersebut berkata: 

"Amirul Mukminin, kami telah berada dalam masa paceklik selama 3 tahun berturut-turut. Tahun pertama telah mencairkan lemak, tahun kedua telah menahan daging, dan tahun ketiga menyedot sumsum tulang belakang, (maksuknya selama 3 tahun berturut-turut rakyat dalam keadaan menderita atau terkena krisis ekonomi).

Sedangkan engkau memiliki kelebihan banyak harta. Apabila kelebihan harta itu untuk Allah, maka bagi-bagikan kepada hamba-hambaNya. Apabila untuk orang banyak, mengapa tidak diberikan kepada mereka dan apabila kelebihan harta tersebut untukmu, maka sedekahkanlah! Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersedekah,"

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menjawab: 
"Hai orang pedalaman, apakah ada keperluan lainnya?"

Orang pedalaman menjawab: 

"Saya datang kepadamu dari tempat yang jauh, di tengah terik matahari yang amat panas, dan kedinginan malam yang amat gelap. Sama sekali bukan karena kepentingan pribadi, tetapi demi kepentingan orang banyak,"

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik pun memerintahkan abdinya agar diambilkan harta untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang, dan beliau memerintahkan agar orang pedalaman itu diberi harta yang bisa dibagi bagikan kepada kabilahnya.

Perlu diketahui, sesungguhnya orang pedalaman ini memiliki jiwa yang besar, perasaan yang sehat, dan kecemburuan yang luar biasa terhadap bangsanya sendiri dan yang lainnya. 

Hal itulah yang menyebabkan dia tidak memiliki keinginan monopoli keuntungan, selain untuk umum. Dia benar-benar tahu pasti bahwa kehidupan dari pribadi yang mewah, sedangkan bangsanya hidup dalam keadaan sengsara, merupakan kehidupan yang hina, tidak terpuji dan merupakan kehidupan yang celaka.

Bagaimana mungkin orang berakal sehat bisa merasa senang dalam kehidupan yang mewah, sedangkan orang-orang di sekelilingnya dalam keadaan hidup sengsara? 

Bagaimana tidak gelisah melihat kesengsaraan telah melanda semua lapisan bangsa. Sementara dia tidak memedulikan penderitaan-penderitaan yang dirasakan bangsa, dan dia tidak takut merasakan sakit terhadap penderitaan yang mereka rasakan?

Sesungguhnya sikap seperti itu (dia hidup senang tanpa peduli terhadap bangsa yang sengsara) bagian dari kelemahan perasaan dan merupakan kematian perasaan, serta kebobrokan moral. 

Sesungguhnya orang yang merasa senang dengan kehidupan yang lemah, sementara umat sengsara, dan dia tidak mau merasakan apa yang menimpa kepada bangsa, berarti dia termasuk binatang. Mereka tidak mengerti arti hidup, kecuali bersenang-senang, makan dan minum belaka.

Masih ada lagi yang lebih besar sifat kebinatangannya dari orang yang telah disebutkan, dan lebih merusak terhadap kehidupan sosial, yaitu orang yang berusaha mencari keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa.

Dia juga sadar bahwa yang demikian ini membahayakan dan merugikan kepentingan orang banyak, ibarat anak panah menembus jantung, dan merupakan pukulan telak terhadap kehidupan bangsa.

Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai kepentingan seperti itu merupakan beban berat bagi masyarakat dan merupakan penyakit yang sangat berbahaya, yang bersarang di tubuh masyarakat.

Bukankah orang-orang seperti itu sadar, bahwa perbuatannya akan mendatangkan kerugian yang menimpa dirinya? 

Bukankah dia sadar bahwa dirinya adalah seorang anggota masyarakat yang berusaha menyelesaikan mereka?

Tidakkah dia mengerti bahwa, bencana yang melanda masyarakat ini akibatnya kembali kepada tiap-tiap individu? Ataukah dia menduga, bahwa dia akan selamat dari perbuatan jahatnya dan bebas dari akibat buruk yang ditimbulkannya?

Apabila orang yang berbuat sedemikian itu menyangka, bahwa dirinya akan selamat maka sangkaanya sangat keliru. Sebab kita belum pernah melihat seseorang yang membahayakan atau mengorbankan bangsa untuk mencari keuntungan dari diri pribadinya sendiri, melainkan bahaya perbuatannya itu pasti kembali atau mengenai dirinya sendiri.

Contoh-contoh yang demikian itu banyak sekali tiada terhitung jumlahnya.

Ingat di sana ada sekelompok orang yang di antara mereka dan kebenaran telah dipasang pagar pembatas oleh Allah, dari luar tampak terdapat rahmat di dalamnya, tetapi di dalamnya hanyalah siksaan atau penderitaan. Sebab mereka itu sebenarnya berusaha mematahkan bangsa melemahkan kekuatannya, menghilangkan haknya dan membiarkan bangsa dalam keadaan lemah dan hina. 

Sama sekali perbuatan dan sikap jahat mereka lakukan tidak berfaedah bagi diri mereka dan tidak membawa keuntungan, kecuali sekedar mendapat pujian penguasa. Muka manis dan simpati penguasa itu hanya sesaat di hadapan mereka.

Kalau toh mereka mendapat keuntungan materi, maka keuntungan itu tidak dapat menggemukkan dan tidak dapat menghilangkan kelaparan. Perbuatan mereka tersebut adalah kemunafikan dan pamer. 

Kemunafikan dan pamer itulah yang mendorong orang-orang seperti kelompok kaum diatas, memuji perbuatan-perbuatan orang-orang yang egois. Bahkan, mereka menganggap orang-orang yang egois atau kalangan penguasa itu telah bekerja dan berbuat dengan sebaik-baiknya.

Padahal, mereka benar-benar sadar bahwa mereka saling melakukan perbuatan yang mengakibatkan keruntuhan bangsa. Mengupayakan sesuatu yang melemahkan bangsa, dan melakukan tindakan yang menghancurkan bangsa.

Mereka itu sesat dan menyesatkan. mereka itu adalah makhluk yang paling buruk dan jahat.

Generasi muda dan pembaca setia blokTuban.com, menjauhlah kalian semua dari amal perbuatan yang mereka lakukan. Selamatkan dirimu dari kejelekan perbuatan mereka. 

Janganlah engkau seperti pengikut-pengikut abu Firas Alhamdani yang berkata: 

"Jadilah engkau seperti para pengikut Abu Al-A'la Al-Ma'arry yang menyerukan: "Mudah-mudahan tidak turun padaku dan tidak membasahi bumiku hujan deras, jika hujan itu tidak dapat memakmurkan tanah tumpah darahku,"

Tentu kalian semua akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. 

"Mengapa harus menghubungkan perbuatanku, bukankah kematian itu pasti datang kepadaku, tatkala aku mati karena kehausan, maka apakah ada nanti tetesan hujan yang turun?" katanya. [rof/ono]