Malam Jumat Kelabu

Penulis: Sri Wiyono 

blokTuban.com – Ini masih kisah tentang Zaid, sebut saja begitu santri agak mbeling dari salah satu pondok pesantren di Tuban. Lazimnya, pondok pesantren, setiap Kamis malam, atau malam Jumat biasa disebut, kegiatan ngaji libur. Dan, bermula dari sinilah kisah ini terjadi. 

Zaid, santri yang berasa dari kecamatan pinggiran begitu semangat menatap hidup di kota sebagai santri. Kebetulan, pesantren tempatnya nyantri berada di wilayah kota, meski tidak di pusat kota. 

Selain nyantri, Zaid ini sekolah di semua sekolah umum. Hingga pagi dia sekolah, malamnya dia ngaji. Bahkan, sebelum sekolah dia juga ngaji, karena setiap usai salat Subuh ada kitan yang harus dikaji di pondok. 

Karena sekolah umum, pergaulan Zaid juga luas. Dan, dia banyak menerima cerita tentang ramainya suasana kota. Termasuk banyaknya tempat hiburan seperti video game dan bioskop.

 Dari sekian cerita itu, Zaid sangat tertarik dengam bioskop. Dia penasaran denga cerita teman-temannya, tentang melihat film dengan layar lebar. Maka, di hatinya sangat ingin melihat langsung bioskop seperti yang dilakukan teman-temannya.

 Namun, aturan ketat di pondok yang melarang santri keluar pondok sembarangan membuat dia gundanh. Hingga, akhirnya dia menemukan ide untuk memanfaatkan malam Jumat. Sebelumnya dia sudah mengajak beberapa santri lain untuk nonton bioskop.

 Zaid tak sabar menunggu malam Jumat tiba. Dia sudah membayangkan bagaimana asyiknya nonton bioskop. Lalu pulangnya mampir makan mie ayam kesukaannya. Sungguh sesuatu yang sangat istimewa. 

Malam Jumat yang dinanti tiba. Terlebih, Zaid baru saja menerima kiriman bekal dari orangtuanya. Sakunya agak tebal. Dia bisa nraktir santri lain yang dia ajak untuk makan mie ayam. 

Maka sejak usai salat Magrib rencana itu dijalankan. Zaid dan tiga temannya sudah kasak kusuk. Keputusannya, mereka berempat akan nonton dan berangkat dengan naik sepeda onthel. Satu sepeda dinaiki berdua.

 Untuk mengelabuhi pengurus, keempat santri ini memakai sarung, lengkap dengan pecinya. Mereka pamit pada pengurus pondok akan ziarah ke makam wali. Padahal dibalik sarung itu mereka sudah memakai celana panjang. Masing-masing santri sudah membawa tas kresek untuk membungkus sarung dan peci saat mereka nonton.

Rencana tahap pertama lancar. Pengurus mengizinkan mereka pergi. Dengan semangat, empat santri ini menuju parkiran dan mencomot dua sepeda onthel. Mereka berjalan beriringan keluar pondok. Namun, mereka harus melalui halaman ndalem yang ditinggali Kiai pengasuh pesantren.

 Aman. Karena Mbah Kiai tidak ada. Sampai di depan masjid, empat santri ini kaget, karena dia melihat Mbah Kiai sedang duduk santai di teras depan masjid. Empat santri inipun balik kanan sebelum Sang Kiai tahu kehadiran mereka.

 Empat santri ini pun memilih memutar. Mereka ingin keluar pondok dari pintu belakang. Pelan-pelan mereka jalan di belakang pesantren. Namun, mereka melihat di teras belakang ndalem Mbah Kiai sedang duduk di atas kursi kayu.

 Karena posisinya membelakangi, sehingga Mbah Kiai tidak tahu empat santrinya ini mau keluar. Akhirnya mereka kembali balik kanan.

 Tak patah arang, Zaid dan kawan-kawan tetap ingin keluar pondok. Mereka kembali mau lewat jalan depan, seperti sebelumnya. Namun, mereka menjadi heran karena di teras depan masjid, Mbah Kiai masih duduk santai. Lalu, yang di teras ndalem belakang tadi siapa.

 Masih tak terima, empat santri itu kembali mau lewat jalan belakang. Namun, lagi-lagi ada Mbah Kiai di sana. Akhirnya mereka sadar, bahwa mereka tidak boleh keluar pondok dengan tujuan nonton bioskop dan berbohong pada pengurus.

 ‘’Sudah kita balik ke kamar saja, Mbah gak kerso,’’ ujar Zaid.

 Dan mereka berempat pun kembali ke kamar. Celana panjang yang sudah dipakai mereka lepas lagi. Lalu mereka mengambil kitab masing-masing, lalu nderes barengan. Ah, malam Jumat yang kelabu. Begitu batin mereka.(*)