Oleh: Usman Roin *
Sudahkah perpustakaan sekolah kita optimal? Untuk menilainya, tentu kita harus melihat secara nyata keberadaan perpustakaan sekolah sebagai salah satu sarana prasarana pendukung pembelajaran dan penguatan literasi. Karena jangan sampai, keberadaan perpustakaan sekolah mati suri, yakni hanya dibangun fisiknya sedangkan dalamnya sepi aktifitas literasi.
Munculnya berbagai tawaran ide pengoptimalan perpustakaan sekolah, tidak lain agar keberadaannya menjadi bagian penting terciptanya budaya baca siswa. Sehingga sekolah menjadi tempat strategis menambah pengetahuan ditengah fungsi membaca yang zaman now nihil di keluarga apalagi di masyarakat. Merujuk penelitian Retno Susilowati, (2014:131), bahwa perpustakaan sekolah yang ada, menyisakan tatanan buku dengan bau menyengat, apek dan pengap. Hal itu diperparah dengan koleksi buku yang minim, kedaluarsa dan ruangan yang tak representatif.
Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya perpustakaan sekolah berbenah, agar jangan sampai siswa menjadi malas ke perpustakaan dikarenakan potret perpustakaannya tak ideal. Padahal bila perpustakaan sekolah dinamis, justru akan dapat mengundang minat baca siswa sebagai sumber belajar. Dikatakan demikian, karena perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli oleh peminatnya masing-masing.
Tersedianya aneka bahan pustaka, memungkinkan tiap siswa memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Alhasil bila masing-masing siswa menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihannya, maka bisa dipastikan merata pula peningkatan taraf kecerdasannya. Bila sebaliknya –perpustakaan sekolah tidak berfungsi– pertanyaannya, lalu optimalisasi budaya baca harus dari mana lagi ditempatkan? Oleh karena itu, agar perpustakaan sekolah menjadi bagian vital, ada beberapa hal yang kiranya diperhatikan:
Pertama, dimanajemen ulang. Adanya perpustakaan adalah tempat mencerdaskan diri dalam hal literasi. Hanya saja, untuk mengoptimalkan literasi di pustaka sekolah, keberadaan perpustakaan perlu dimanajeman (tata ulang), agar tidak hanya berfungsi administratif –meminjam dan mengembalikan buku bacaan– melainkan berkembang. Caranya, dengan membuat kegiatan literasi yang menarik dan bervariatif agar fungsi perpustakaan menjadi luas. Mulai dari membaca buku, sarana berdiskusi, membuat karya tulis hingga tempat meneliti. Selain itu, melalui perpustakaan juga bisa diciptakan kelompok kecil (peer group) pegiat/pecinta membaca, menulis hingga melahirkan karya tulis serta program kreatif lainnya berupa gerakan donator buku secara cuma-cuma.
Hal di atas bisa terwujud, bila pustakawan (petugas perpustakaan) memiliki wawasan luas, punya kesadaran tugas dan tanggung jawab pada upaya penggalakkan budaya baca stakeholder sekolah secara massal. Hal itu bisa ditempuh, dengan mempromosikan sarana yang dimiliki, kerjasama dengan guru mapel, utamanya saat outing class yang bisa dilihkan ke perpustakaan. Hanya saja, bila tidak ada greget dan kreatifitas format literasi di tingkat sekolah oleh pustakawan, maka keberadaannya akan selamanya mati suri. Kehadirannya tidak bisa menjadi penopang urgensi belajar sejak dini, hingga learning fun pada siswa sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. Padahal, sekolah adalah tempat belajar seutuhnya mulai dari tatap muka (transfer of knowledge) hingga secara mandiri siswa terbiasa belajar ke perpustakaan.
Ke dua, memperbarui koleksi buku. Pembaruan koleksi buku perpustakaan adalah hal utama yang harus dilakukan. Hasil penelitian Moch. Basit Aulia, (2012:122), menggambarkan, bahwa timbulnya selera membaca adalah karena faktor koleksi (collections) yang beragam dan bervariasi. Keragaman dan variasi koleksi, akan menimbulkan hasrat atau minat untuk membaca, selanjutnya lagi minat baca akan menghasilkan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca tidak bisa berkembang tanpa koleksi yang dapat menimbulkan selera untuk membaca serta minat dan kebiasaan membaca.
Jika demikian, alokasi pengadaan buku menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Guna mendapatkan koleksi buku yang diminati, tidak ada salahnya pustakawan menyebar questioner kepada siswa, prihal genre buku yang diminati. Sehingga pengadaan buku menjadi lebih tepat sasaran, dan sesuai dengan kebutuhan.
Ke tiga, optimalisasi layanan. Agar perpustakan semakin banyak peminat, pustakawan perlu mengembangkan program layanan sebagai penguat terhadap perpustakaan di sekolah. Mulai dengan mengintegrasi layanan perpustakaan ke dalam pembelajaran, meningkatan kemampuan siswa terhadap akses informasi, serta meningkatkan modernisasasi perpustakaan. Intinya pustakawa bukan hanya sebagai pelengkap dari lembaga pendidikan, melainkan juga menjadi bagian integral tumbuhnya minat baca siswa. Dan yang tidak kalah penting, dibutuhkan keteladan berbagai pihak agar membaca menjadi hal utama dalam proses belajar.
Sebagai penutup, mengutip pernyataan Darji Darmodiharjo, mantan Dirjen Disdakmen, Depdiknas, menarik untuk direnungkan, “Perpustakaan harus ada di setiap lembaga pendidikan. Kalau tidak ada ruang perpustakaan, maka gunakanlah satu ruang kelas. Kalau tidak ada ruang kelas, gunakanlah pojok kelas dengan raknya. Jika tidak ada pojok kelas, tutup saja sekolahnya!” Oleh karena itu, bila buku adalah jendela dunia, maka perpustakaan adalah rumahnya. Dan sekolah, harusnya, menjadi jalan yang membimbing manusia menuju rumah tersebut.
*Penulis adalah Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Bojonegoro asal Kecamatan Balen, serta Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang.