Oleh Sri Wiyono
‘’Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia’’
Begitu tulis salah satu kawan facebook saya menyitir kata-kata Bung Karno. Dia juga mengunggah foto dia sendiri yang memakai seragam sebuah parpol.
Tangan kirinya diangkat sambil mengepal. Semangat !! Tangan kanannya? Tentu saja tidak kelihatan karena dia berswafoto, alias memotret dirinya sendiri hehehe…
Semangat khas para pemuda. Saya senang, melihat para pemuda yang bersemangat seperti ini. Sebab, jika ingin tahu masa depan suatu bangsa, maka lihatlah para pemudanya hari ini. Jika para pemudanya nglokro, maka jangan harap bangsa dan negaranya akan maju kelak.
Para pemuda selain punya semangat yang meledak-ledak, juga punya keberanian. Dua modal itulah yang banyak mewarnai kehidupan mereka kelak kemudian. Meski terkadang keberanian itu ditunjukkan atau digunakan secara berlebihan dan ngawur. Tapi begitulah pemuda.
Saya jadi teringat dengan salah satu pesan ; ‘’Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian sama saja dengan ternak, karena fungsinya hanya beternak diri’’.
Itu ungkapan yang mencambuk dari Pram, sastrawan bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer, yang kelahiran Blora, Jawa Tengah. Ketika saya tugas di Blora, saya sering dolan ke rumah masa kecil Pram.
Juga banyak mendapat cerita bagaimana Pram hidup di masa kecil sampai masa tuanya. Cerita langsung dari sumber dan pelakunya. Karena yang bercerita adalah Soesilo Toer (Pak Soes), adik kandung Pram. Saya kemudian memaklumi dan bisa mengerti ketika Pram menjadi ‘sangat berani’. Tempaan hiduplah yang mengukir jiwanya untuk tidak menjadi pengecut.
Lalu saya kemudian merangkai-rangkai keping kejadian yang sudah berlalu beberapa hari. Mencoba menyambung dan mengulur benang merah di antaranya. Para pemuda saat ini bisa berasal dari golongan mana saja. Bisa mahasiswa, pemuda kampung, pengurus dan anggota organisasi atau jamaah ngopi sekalipun.
Dunia maya, facebook utamanya beberapa hari lalu begitu gaduhnya. Unggahan berita mengenai demo mahasiswa yang mewakili organisasi ekstra kampus begitu disambut gegap-gempita.
Ada yang mendukung. Namun, banyak yang mencibir, membully, menghujat dan tak bisa dihitung dengan jari yang menghina. Saya ngeri membacanya. Karena seolah-olah para mahasiswa yang demo itu layaknya ‘sampah masyarakat’ yang harus disingkirkan.
Pola menghujat dan menghina itu rata-rata seragam. Ketika ada satu akun yang mengangkat kejadian demo itu, tak lama kemudian serbuan komentar miring tiba-tiba datang. Seperti kondisi air sungai Bengawan Solo saat ini yang sedang siaga merah hehehe...
Miris melihat kejadian itu. Namun, mahasiswa tetaplah mahasiswa. Para pemuda yang kebetulan punya kesempatan untuk menimba ilmu yang lebih tinggi selepas SMA atau sederajat. Di sana mereka punya kesempatan untuk mencari jati diri, mengembangkan diri, termasuk memupuk keberanian.
‘’Saya dimarahi banyak senior Mas,’’ begitu salah satu aktivis mahasiswa yang ikut demo menolak Jokowi mengeluh pada saya.
Aktivis ini menceritakan kalau senior di organisasi mahasiswa yang dia ikuti marah. Sebab, aksi demo yang dia dan mahasiswa lain lakukan, dinilai memalukan senior-seniornya. Aksi itu tak semestinya dilakukan. Intinya demo yang digelar mahasiswa itu memalukan !
Saya berusaha untuk bersikap ‘bijak’ meski secara pribadi saya mendukung keberanian para mahasiswa ini. Saya katakan, para seniornya itu, saat ini berada di dalam sebuah sistem pemerintahan.
Sang senior, sekarang punya banyak tanggungjawab. ‘Maqom’ nya sudah berbeda. Dia sudah menjadi pejabat, atau orang penting dan punya dimensi yang lebih luas. Sehingga, dia harus menegur dan menilai aksi adik-adik seniornya itu keliru bagi kaca mata dia. Sekali lagi bagi kacamata senior yang sudah masuk dalam sistem tersebut.
Pada aktivis mahasiswa itu, juga saya beri pemahaman, bahwa ‘maqom’ nya para mahasiswa dan para pemuda memang seperti itu. Mengolah dan mempertahankan nalar kritis, terus memupuk keberanian dan berani menyuarakan kebenaran.
‘’Tidak apa-apa. Lanjutkan sikap kritismu. Maqommu memang di sana. Soal seniormu yang marah, itu hal biasa. Sebagai pejabat dia punya banyak tanggungjawab. Dia harus mengayomi seluruh warga, bukan hanya dari kelompoknya. Tidak usah surut langkah,’’ pesan saya untuk tetap membesarkan hatinya.
Saya tetap membela keberanian para mahasiswa itu. Itu adalah proses untuk menjadi dewasa. Itu proses untuk mengasah kepekaan sosial dan empati dengan kondisi yang ada. Jika kemudian kelak mereka jadi pemimpin, akan menjadi pemimpin yang berkarakter.
Interaksi dan kegiatan ekstra kampus itu justru bekal para mahasiswa ketika kembali ke masyarakat. Ilmu dari bangku kuliah, tak banyak menolong untuk menyelesaikan persoalan-persoaloan di masyarakat. Kematangan mereka di luar kampus itulah yang akan membuat mereka memenangi persaingan di masyarakat.
Setidaknya itu penilaian saya. Saya membayangkan mahasiswa yang hanya berkutat dengan buku kuliah. Setiap hari hanya pulang pergi dari rumah ke kampus, atau dari kostan ke kampus, tanpa mau melirik kegiatan lain di luar kampusnya. Kurang pergaulan alias kuper, lalu apa modal mereka terjun ke masyarakat?
Bukankah bangsa ini dibangun dengan peran besar pemudanya. Masih ingatkah bagaimana Proklamasi 17 Agustus 1945 itu berkumandang. Ada peran besar pemuda di sana. Sekali lagi, para pemuda memang sering ‘kemajon’ tak sabaran dan pengin semua cepat tuntas.
Begitu pula para pemuda jaman dulu. Saat tahu Jepang kalah oleh Sekutu, para pemuda mendesak Bung Karno yang saat itu yang mewakili golongan tua untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Hanya, Bung Karno terus menolak. Dia ingin proklamasi kemerdekaan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dia sendiri sebagai ketuanya. Sehingga desakan segera dari para pemuda itu diabaikan.
Sementara, para pemuda melihat kekalahan Jepang adalah momen, kesempatan yang harus dimanfaatkan secepat mungkin. Para pemuda tak menghendaki kemerdekaan Indonesia seolah hadiah dari Jepang. Sebab, faktanya kemerdekaan itu diperjuangkan dengan taruhan harta, benda, darah bahkan nyawa.
Karena usulannya tak segera dilaksanakan, bahkan para pemuda sampai harus menculik Bung Karno dan M. Hatta. Ya, benar-benar menculik. Ingat peristiwa Rengasdengklok? Bung Karno dan Bung Hatta harus diculik dan dibawa ke Rengasdengklok, sebuah kawasan di Karawang, Jawa Barat.
Bung Karno dipaksa untuk proklamasi kemerdekaan tanpa menunggu PPKI. Kelamaan! Begitu pandangan para pemuda. Saat itu tanggal 16 Agustus 1945. Soal lokasi proklamasi yang semula di lapangan IKADA, saat ini kawasan Monas diubah menjadi di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta. Di rumah Bung Karno itu soal teknis dan strategi.
Meski sempat alot, akhirnya Bung Karno mau menerima saran para pemuda itu. Naskah proklamasi diketik saat itu juga oleh Sayuti Melik, menggunakan mesin ketik hasil ‘ghasab’ dari kantor Angkatan Laut Jerman.
Setelah semua sepakat, persiapan tuntas, Bung Karno dan Bung Hatta dikembalikan ke Jakarta. Tanggal 16 Agusus 1945 malam nyampai Jakarta, dan paginya, 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan itu berkumandang. Menjadi titik awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebelum itu, peran pemuda juga sangat menonjol dalam sejarah. Sebut saja adanya Sumpah Pemuda, lahirnya Boedi Oetomo dan lain-lain. Jika saat itu, para pemudanya melempem, tidak kritis, berjiwa pengecut dan pasrah, mungkin lain cerita negeri ini.
Karena itu, marilah kita tetap menjaga sikap kritis, jiwa-jiwa pemberani dan tak takut mengemukakan pendapat di muka umum. Tetaplah berproses para pemuda. Ada yang sinis? Ah, biasa !
Bukankah pepatah Arab mengatakan; syubbanul yaum, rijalul ghad, pemuda hari ini adalah pemimpin yang akan datang. Wallahu a’lam.(*)