Takjil dan Tradisi Gotong Royong Masyarakat

Berbagi makanan untuk takjil adalah berbagi kegembiraan di bulan suci. Di Tuban, ada beragam cara yang dilakukan masyarakat untuk mengumpulkan dan membagikannya. Rata-rata semua itu dilakukan dengan gotong royong dan anggaran swadaya.

Reporter: Dwi Rahayu

blokTuban.com – Beragam cara dilakukan masyarakat supaya makanan pembatal puasa itu bisa dinikmati bersama. Musala dan masjid yang ada di wilayah pedesaan biasanya menggilir jemaahnya untuk menyediakan menu semampunya.

“Cukup gorengan dan teh hangat, biasanya warga di sini gantian menyediakan,” kata Rowi, seorang takmir musala di wilayah Desa Tasikmadu, Kecamatan Palang.

Baca juga [Takjil dan Eksistensi Komunitas Saat Ramadan]

Makanan takjil disediakan untuk orang yang biasa mengumandangkan adzan, ataupun warga dari luar desa yang kebetulan mampir di musala menjelang berbuka puasa. “Sudah kebiasaan dari dulu, kasihan kalau ada orang luar kebetulan melintas saat akan berbuka puasa,” katanya.

Kabupaten Tuban yang memiliki luas 1.905 km persegi ini memiliki banyak cerita tentang takjil. Dapat ditemui di setiap menjelang bedug maghrib, di jalan-jalan protokol dan pusat kerumunan nampak sesak. Dalam satu titik penjual dan pembeli berkumpul. Berbagai jenis makanan dan minuman dari gorengan, kue ringan, hingga bermacam es menggugah selera untuk dibawa pulang.

Lebih dari biasanya, di Tuban yang memiliki sebutan lain Bumi Wali ini terdapat tradisi melegenda yang melekat setiap Ramadhan. Seperti bubur Mudhor dan bubur Syuro yang diyakini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda menjadi makanan khas ketika Ramadan dari waktu ke waktu.

Keduanya merupakan makanan yang dibuat dari beras, sepintas identik namun terdapat perbedaan di dalamnya. Bahan pembuatan bubur sama-sama memerlukan puluhan kilogram beras, santan, bumbu, rempah, garam, kayu manis, pandan, serai. Pada bubur Syuro ada tambahan rasa yakni daging kambing yang memikat lidah masyarakat.

Pemandangan khas yakni antrean yang berjubel dengan tangan membawa mangkok acap ditemui di salah satu tempat ibadah yang menyediakan bubur itu. Bubur Mudhor yang pengolahan dan pembagiannya di Masjid Mudhor dapat ditemui tepatnya di Jalan Pemuda, Kelurahan Sidomulyo Kecamatan/Kabupaten Tuban. Sementara bubur Syuro adanya di Masjid Astana Sunan Bonang yang terletak di sekitar kompleks makam Sunan Bonang di Kelurahan Kutorejo, Kecamatan/Kabupaten Tuban.

Menurut Pengurus Masjid Mudhor, Agil Albunumay, Bubur Mudhor ini sudah ada sejak sekitar 85 tahun lalu. "Berarti keberadaannya sudah ada sejak tahun 1932," kata Agil sapaan akrabnya kepada blokTuban.com, saat ditemui di Masjid Mudhor.

Tidak dipungut biaya sepeser pun demi mencicipi kelezatan kedua bubur ini. Sebab sepenuhnya biaya untuk membuat bubur dari pihak pengelola masjid setempat. Hanya saja ada harga yang harus dibayar untuk semangkok bubur Mudhor ataupun Syuro ini. Antrean panjang rintangan yang wajib dilalui, bahkan berdesakan menjadi semacam kenikmatan sebelum mendapatkan bubur.

Asap mengepul dari wajan besar tempat pembuatan bubur yang saat memasak membutuhkan waktu relatif lama dari pukul 10.30 WIB hingga selesai pukul 15.00 WIB, sudah ratusan mangkok menanti untuk diisi.

"Setiap harinya pembagian Bubur Mudhor ini cukup untuk sekitar 400 hingga 500 orang," tambahnya.

Hingga kini, masih adanya bubur Syuro dan Mudhor, bukti eksistensi masyarakat. Bubur yang ada hanya ketika bulan Ramdhan ini rupanya diyakini mengandung berkah tiada tara. Sebab itu, tak lengkap rasanya melewatkan bulan puasa tanpa menikmati bubur membawa berkah ini.

Salah satunya seperti yang dilakukan Nur Hasan. Beberapa kali pada sore selepas waktu ibadah salat Ashar, ia bersama masyarakat lainnya sambil membawa mangkok mendatangi Masjid Astana Sunan Bonang. Menyantap makanan khas Ramadhan beraroma gurih akan daging kambingnya ini, diyakininya dapat membawa keberkahan pada hidupnya.

"Dengan memakan bubur Syuro untuk berbuka puasa, kami mengharapkan rezeki yang melimpah yang penuh berkah," tandasnya. [dwi/rom]